(Arrahmah.com) – Dunia Islam dan Barat bereaksi atas peristiwa bom bunuh diri meledak di dekat Masjid Nabawi di Madinah serta Masjid Qatif. Insiden beruntun ini membuat Arab Saudi diguncang tiga kali ledakan dalam sehari. Pada mulanya, Senin (4/7/16) subuh beberapa jam sebelumnya, ledakan terjadi di Kota Jeddah. Sejak 2014 Saudi mengalami rentetan kasus bom bunuh diri. Masyarakat harus secara kritis memeriksa apa yang terjadi, bukan dengan membabi buta menerima apa yang diberitahu oleh media, pemerintah dan badan-badan keamanan.
Ingat, rekayasa politik Barat mampu membuat 100 bahkan seribu pelaku teror dengan berbagai versi bila itu menguntungkan mereka. Politik juga mampu menciptakan gerakan garis keras yang dikehendaki untuk dihancurkan sendiri hanya sebagai pembuktian bahwa Garis keras itu ada. Telah banyak terungkap doktrin sesat yang dilakukan kekuatan politik melalui operasi intelijen dengan memanfaatkan nama al Qaeda, ISIS, dsb.
Ingat, kejanggalan yang kontras ketika menabraknya pesawat ke Menara kembar WTC, yang menghanguskan seluruh isi gedung tapi sama sekali tidak akan melelehkan konstruksi baja penyangganya. Apa lagi hanya dalam waktu kurang dari 10 menit. Lalu dijadikan dalil dan dalih bagi AS untuk menyerang Afghanistan dan Irak.
Profesor Robert Pape dari Universitas Chicago yang bekerja di bagian Proyek Untuk Keamanan dan Terorisme telah menerbitkan hasil penelitiannya yang luas yang menganalisa setiap kasus dari 2200 bom bunuh diri yang terjadi sejak tahun 1980. Penelitiannya itu dilakukan berdasarkan riset terdahulu yang dilakukannya sendiri pada bukunya terdahulu yang terbit pada tahun 2005 yang berjudul “Mati Untuk Menang”. Penelitiannya menemukan bahwa:
- Bom bunuh diri meningkat secara drastis menyusul dilakukannya invasi atas Irak dan Afghanistan, dari yang awalnya berjumlah 300 kasus pada tahun 1980 hingga tahun 2003, menjadi 1800 kasus pada tahun 2004 hingga 2009.
- Lebih dari 90 % serangan bunuh diri di seluruh dunia adalah yang berkaitan dengan anti-Amerika.
- Bertentangan dengan keyakinan bahwa serangan-serangan tersebut dilakukan oleh “orang asing”, mayoritas kasus yang terjadi dilakukan oleh penduduk setempat suatu wilayah: contohnya 90% dari serangan bunuh diri di Afghanistan dilakukan oleh orang Afghan.
- Serangan bunuh diri lebih mungkin terjadi ketika”jarak sosial” antara pihak yang diduduki dan menduduki menjai lebih lebar dan bahwa agaman bukanlah faktor satu-satunya yang menentukan hal ini terjadi karena dia juga menunjuk pada kelompok-kelompok sekuler yang juga melakukan serangan-serangan bunuh diri seperti LTTE (Macan Tamil-yang bergama Hindu) melawan orang yang beragama Budha.
- Serangan bunuh diri merupakan upaya terakhir yang dilakukan manakalah semua usaha non-bunuh diri telah gagal.
Penelitiannya menunjukkan bahwa ada korelasi antara pendudukan dan kekerasan pada wilayah-wilayah yang diduduki pada saat penduduk lokal berusaha mengusir kontrol luar negeri: 95% dari semua bom bunuh diri yang dianalisa adalah merupakan respon dari pendudukan yang dilakukan pihak asing.
Perlu disadari, naturalisasi merupakan tahapan propaganda media Barat untuk menciptakan Islamophobia. “Ketakutan berlebihan kepada Islam.” Contoh Filem Zero Dark Thirty, sasarannya stigmasisasi ‘kejahatan Pakistan’ dimana AS akhirnya turun tangan selaku pahlawan dalam film memberantas tindakan-tindakan ‘jahat’ yang dilakukan Pakistan.
Lazimnya pola Barat – AS menjatuhkan negara target via pengglobalan doktrin-doktrin terlebih dulu. Perkembangan di era kini polanya melalui per-UU-an. Sebagai ilustrasi pembanding, Monroe Doctrine misalnya, adalah (software) piranti lunak guna membendung komunisme, kendati kenyataannya Paman Sam sendiri kerap bertindak ofensif bahkan overeach sewaktu menerapkan doktrin tersebut.
Doktrin Preemtive Strike pun demikian. Doktrin tersebut dijadikan prasarana dalam rangka menginvasi secara militer ke negara lain hanya berbasis asumsi (tanpa bekal resolusi PBB). Itulah modus serangan dini. “Terjang dulu sebelum kamu diserang.” Afghanistan (2001) adalah korban pertama Preemtive Strike Doctrine yang dibidani oleh Samuel Huntington, korban berikutnya adalah Irak melalui stigma ‘Saddam menyimpan senjata pemusnah massal’ (2003), dan lain-lain.
Modus terbaru AS untuk menjatuhkan negara target tidak lagi dengan memagari fahamnya, atau membendung ideologi, dll sebagaimana cara (containment strategy) yang kerap dilakukan Paman Sam sebelumnya. Tatkala Bush yunior (Jr) naik di kursi Presiden AS era 2001-an, maka perang di dunia muslim hasil kreasi Bush Sr, ayahnya dibuka kembali. Tragedi World Trade Center (WTC), 11 September 2001 adalah pintu bagi AS dan NATO memasuki Afghanistan secara militer melalui isue al Qaeda. Doktrin Preemtive Strike yang dibidani oleh Samuel P Huntington pun diglobalkan, walau kurang berhasil karena banyak negara menolak. Ketika invasi militer Barat di Afghanistan dinilai sukses, Barat melanjutkan penyerbuan ke Irak (2003) melalui stigma (pintu) ‘senjata pemusnah massal’. Hingga Saddam Hussein digantung oleh Bush ternyata dalih senjata pemusnah massal yang tidak terbukti sama sekali, namun Irak terlanjur porak poranda.
Sampai hari kini, Negeri 1001 Malam, Irak mengalamai kekosongan politik dan selanjutnya dikendalikan Barat. Kriminal, kemiskinan, dan konflik horizontal merebak dimana-mana. Dalam praktek tata sosial ekonomi di Timur Tengah sendiri secara umum, terutama pengamalan nilai-nilai Islam manakala AS dalam kuasa Bush Jr, sepertinya terabaikan. Inilah ujud de-Islamisasi oleh kekuatan asing di Timur Tengah. Nilai-nilai Islam disingkirkan diganti nilai luar, local wisdom dihancurkan dan sudah barang tentu, nilai Islam tidak lagi mendominasi sistem politik dan ekonomi melainkan hanya sekedar tradisi, budaya, dan lain-lain. Sungguh terlalu.
Membaca bom Arab, masyarakat harus secara kritis memeriksa apa yang terjadi, bukan dengan membabi buta menerima apa yang diberitahu oleh media, pemerintah dan badan-badan keamanan. Monsterisasi Islam dan jihad menjadi skema jangka panjang adalah cara tertua bagi banyak pemerintah diktator untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Dari Bom Arab lalu terbitlah UU dan kebijakan kontra terorisme settingan Barat (yang merugikan Islam dan umatnya) hanyalah penipuan yang halus dan licik.
Umar Syarifudin, Syabab HTI, praktisi politik
(*/arrahmah.com)