Oleh Ari Farouq
Ketua Gerakan Mahasiswa Pembebasan kota Surabaya
(Arrahmah.com) – Isu radikalisme kembali mencuat, kini yang menjadi sorotan adalah dunia kampus. Seperti apa yang disampaikan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius, menurutnya paham radikalisme sudah menyusup ke sejumlah perguruan tinggi ternama di Indonesia. Ia pun meminta pengelola perguruan tinggi untuk semakin meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas mahasiswa, terutama organisasi kemahasiswaan yang bersifat eksklusif. (CNN/3/09/16). Dan langkah inipun di buktikan BNPT yang bekerjasama dengan Kemristekdikti untuk memberantas paham yang dianggapapnya sebagai tindakan radikalisme.
Apa yang dikatakan oleh BNPT tentang isu radikalisme yang beredar di kampus dan upaya deradikalisasi kampus sebenarnya terlalu berlebihan dan tidak mendasar. karena selama ini dalam konteks isu radikalisme menururt BNPT pemaknaannya sangat stereotif dan subyektif. Belajar dari kasus-kasus sebelumya bisa dilihat arah dari proyek deradikalisasi kampus ini, kita bisa melihat siapa yang disasar, nanti Label radikal ini akan ditujukan kepada mahasiswa Muslim yang memiliki cara padang serta sikap keberagamaan dan politik yang kontradiksi dengan mainstream. Dengan spesifikasi individu atau kelompok mahasiswa muslim yang kritis terhadap pemerintah, yang ingin menerapkan syariah islam secara kaafah, memperjuangkan formalisasi syariah dalam negara, menggangap Amerika Serikat sebagai aktor kezaliman global, dan sebagainya. Maka dari itu, yang dimaksud deradikalisasi ala BNPT adalah upaya untuk mengubah sikap dan cara pandang di atas yang dianggap keras (dengan julukan lain;fundamentalis) menjadi lunak; toleran, pluralis, moderat dan liberal.
Karena itu, tentu umat khususnya mahasiswa muslim harus selalu waspada atas berbagai propaganda busuk yang ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam yang selama ini getol memperjuangkan islam. Sebab, jika umat termakan propaganda mereka, alamat umat Islam akan terus berada dalam jebakan dan skenario yang dibuat amerika dengan menggunakan bonekanya.
Memaknai radikalisme sacara objektif
Sebenarnya definisi radikal di atas masih abu-abu, Hal ini sama biasnya saat Barat mendefinisikan terorisme. Terorisme adalah labelisasi kepada kelompok atau individu Muslim yang secara fisik atau non fisik mengancam kepentingan global imperialisme Barat. Di Indonesia, dengan asumsi definisi terorisme no global concencus (tidak ada kesepakatan global), akhirnya pemaknaan dan implementasi kontraterorisme melahirkan banyak korban dan umat Islam menjadi obyek sasaran.
Kata radikal sendiri berasal dari kata radix yang didalam pengertian bahasa Latin bermakna akar. Sedangkan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata radikal memiliki arti: mendasar (sampai pada hal yang prinsip). sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak (KBBI, ed-4, cet.I.2008).
Jika dikembalikan pada pengertian asalnya, maka radikal adalah istilah yang bersifat ‘netral’, artinya tidak condong pada sesuatu yang bermakna positif atau negatif. Jadi defenisi itu menjadi positif atau negatif bergantung dengan apa kata radikal itu dipasangkan dan tergantung siapa yang memaknainya. dan kalau kita lihat dalam pengertian diatas, sebuah sikap “radikal” bisa tumbuh dalam entitas apapun; tidak mengenal agama, batas teritorial negara, ras, suku dan sekat lainya.
Namun sayang redikalisme sering bahkan selalau di arahkan kepada islam dan pemeluknya, sedangkan orang atau kelompok yang melaukan tindakan kekerasaan yang sama tidak pernah di labeli dengan label Radikal, dari sini bisa kita lihat ketidakadilan pemaknaan yang menunjukan untuk siapa isu ini di ungkap lagi ke permukaan.
Lalu jika proyek deradikalisasi ini ditujukan kekampus, maka yang dituju adalah mahasiswa muslim yang berpegang teguh pada syariat dan senantiasa mendakwahkanya di tengah-tengah kehidupan kampus. Padahal Kalau kita mengartikan Secara bahasa, radikal bermakna sesuatu yang bersifat mendasar. maka bisa diakatakan Islam adalah ajaran yang radikal, karena Islam terdiri dari akidah dan syariah, Akidah islam membahas sampai pada hal yang prinsip dan mendasar, sedangkan syariah islam mengatur seluruh aspek kehidupan, tidak ada satupun perkara yang tidak diatur dalam islam, jadi Islam bukan sekadar ritual, adat, budaya, apalagi sekedar status di KTP. Disinilah berbahayanya istilah redikal ala BNPT yang masih bias pemaknaanya.
Deradikalisadi untuk siapa ?
Makna radikal yang masih bias, menjadikanya bisa ditarik kemana saja istilah tersebut, tergantung siapa pemegang kekuasaan, maka istilah yang masih sangatlah berbahaya dan akan merugikan kelompok tertentu yang dianggap bersebrangan dengan kebijakan penguasa.
Selama ini Istilah radikal digunakan untuk menyasar orang atau kelompok tertentu, yang dianggap mengancam oleh kelompok status quo. Mereka ketakutan akan kelompok yang di anggap akan menggoyangkan kekuasaan mererka, Isu radikalisme juga selalu dijadikan alat oleh orang-orang yeng mempunyai kepentingan untuk menyudutkan siapa saja yang dianggapnya sengagai penghalang dan mengancam eksistensi kekuasaanya.
Islam selama ini selalu menjadi korban dari deradikalisasi, islam selalu dituduh sebagai kelompok agama yang mengajarkan radiaklisme, padahal kalau ada agama atau kelompokdi luar islam yang melakuakan hal yang serupa , istilah radikal seakan tidak pernah ada. Maka berangkat dari sini wajarlah kalau para Mahasiswa Muslim yang selama ini aktif mendalami dan mendakwahkan islam di kampus, karena bukan tidak mungkin akan menjadi korban dari proyek deradikalisasi kampus ini.
Padahal para aktivis Islam, khususnya yang memperjuangkan syariah dan Khilafah, jelas tak pernah dan tak akan pernah melakukan tindakan kriminal apalagi terorisme, sebab hal itu jelas dilarang oleh syariah Islam. Mereka mendakwahkan Islam secara damai melalui interaksi pemikiran terhadap masyarakat. Mereka sama sekali tak pernah menggunakan kekerasan karena seperti itulah perjuangan yang mereka teladani dari Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam. Namun demikian, para pejuang syariah dan Khilafah dianggap sebagai orang atau kelompok yang sangat berbahaya oleh kelompok status quo, yang selama ini mengail di air keruh demokrasi. Karena itu mereka berusaha membungkam para aktivis dakwah, namun upaya mereka selalu menemui jalan buntu. Mereka menuduh aktivis dakwah bersembunyi di balik “kebaikan-hati” demokrasi.
Tentu berbagai kegagalan itu membuat frustasi kelompok status quo. Karena itu mereka terus berupaya mencari berbagai cara untuk membungkam aktivis dakwah Islam. Dan kini kampus menjadi target sasaranya. Kalau kita telaan sebenarnya, tidak ada cara legal untuk membungkam aktivis dakwah yang menyuarakan kebenaran. Satu-satunya cara untuk membungkan kebenaran adalah dengan cara yang licik dan ilegal. Yang dapat mereka lakukan hanyalah berupaya mencari justifikasi dan bermain-main dengan istilah yang masih bias, yang dapat ditafsirkan sesuai keinginan mereka. Radikalisme termasuk istilah abu-abu yang dapat dimainkan dan dapat dicarikan justifikasi (pembenaran, bukan kebenaran). Dari istilah radikalisme yang masih bias ini, mereka kemudian menyusun program deradikalisasi dengan sasaran tembak individu atau kelompok mahasiswa islam yang selama ini getol memperjuangkan syariah islam, maka mahasiswa muslim harus sadar dan bangkit dengan menjelaskan kepada mahaiswa yag lain tentang syariah islam dan upaya dari orang-orang barat dalam skenario menghauncarkan islam.
(*/arrahmah.com)