(Arrahmah.id) – Ketika “Israel” melanjutkan perang mematikannya di Gaza, meninggalkan jejak kehancuran dan meningkatnya jumlah korban jiwa warga Palestina yang mendekati 23.000 jiwa, perhatian internasional beralih ke tuntutan keadilan dan akuntabilitas.
Seruan semakin keras untuk melibatkan badan-badan hukum internasional utama, seperti Mahkamah Internasional (ICJ) dan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) untuk menangani dan menyelidiki tuduhan kejahatan perang dan genosida.
Afrika Selatan telah mengajukan kasus terhadap “Israel” di ICJ, dengan tuduhan melakukan “genosida” di Gaza, dan sidang dijadwalkan akan dimulai Kamis depan, 11 Januari 2024.
Pertanyaan krusial yang muncul adalah bagaimana sebenarnya fungsi ICJ dan ICC, dan bagaimana keduanya berbeda satu sama lain dalam hal mandat dan kewenangan hukumnya.
Apa itu ICJ?
ICJ juga disebut sebagai Pengadilan Dunia, adalah pengadilan tertinggi di PBB, dan dianggap sebagai “organ peradilan utama.” Didirikan pada Juni 1945 berdasarkan piagam PBB, organisasi ini mulai berfungsi pada April 1946.
Berkedudukan di Den Haag, Belanda, ICJ adalah pengadilan sipil yang menyelesaikan perselisihan antar negara, bukan perseorangan.
Pengadilan tersebut bertujuan untuk menyelesaikan sengketa hukum sesuai dengan hukum internasional antar negara serta memberikan pendapat penasehat mengenai permasalahan hukum yang dirujuk oleh badan-badan PBB.
Pengadilan ini beroperasi berdasarkan Statuta ICJ, Piagam PBB 1945, dan Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida 1951 (Konvensi Genosida 1951).
Apa itu ICC?
Didirikan pada 2002, ICC ditetapkan sebagai satu-satunya pengadilan pidana internasional permanen di dunia. Juga berbasis di Den Haag, Belanda, organisasi ini berupaya menyelidiki dan mengadili individu atas empat serangan seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, genosida, dan kejahatan agresi.
Hal ini diatur oleh perjanjian internasional yang disebut Statuta Roma.
ICC dalam situs webnya menyatakan bahwa pengadilan ini adalah “pengadilan pilihan terakhir” dan berupaya untuk melengkapi dan bukan menggantikan pengadilan nasional.
Bagaimana fungsi pengadilan?
ICJ terdiri dari 15 hakim, termasuk seorang presiden dan seorang wakil presiden, yang dipilih oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB.
Dipilih untuk masa jabatan 9 tahun, para hakim ini berhak untuk dipilih kembali.
ICC, sebaliknya, memiliki 18 hakim, yang dipilih oleh negara-negara anggota.
Pengadilan melakukan penyelidikan atas kasus-kasus tersebut melalui kantor kejaksaan, yang saat ini dipimpin oleh pengacara Karim Khan.
Siapa saja anggota ICJ?
Bagi ICJ, hanya negara-negara anggota PBB yang berhak hadir di hadapan pengadilan.
Saat ini, sekitar 193 negara menjadi anggota PBB, sebagaimana pasal 93, paragraf 1, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa semua “anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa secara ipso facto adalah pihak dalam Statuta.”
ICJ berupaya menyelesaikan perselisihan antar negara, jika mereka secara sukarela berpartisipasi dalam proses persidangan, dan kemudian terikat untuk mengikuti keputusan pengadilan.
ICJ mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai yurisdiksi untuk menerima permintaan dari individu, LSM, perusahaan, atau badan swasta.
Siapa saja anggota ICC?
ICC mempunyai 123 anggota, yang merupakan negara pihak Statuta Roma. Dari jumlah tersebut, 33 negara berasal dari Afrika, 19 negara di Asia Pasifik, 18 negara dari Eropa Timur, 28 negara dari Amerika Latin dan Karibia, dan 25 negara dari Eropa Barat dan negara lainnya.
Negara-negara seperti Amerika, “Israel”, dan Rusia bukan anggota ICC.
ICC menyelidiki kejahatan yang dilakukan pada atau setelah 1 Juli 2002, hari ketika kejahatan tersebut ditetapkan.
Negara-negara anggota dapat merujuk kasus-kasus dalam yurisdiksi mereka sendiri ke pengadilan, atau Dewan Keamanan PBB dapat merujuk atau jaksa dapat meluncurkan “inisiatifnya sendiri.”
ICC memiliki yurisdiksi untuk menyelidiki negara-negara non-anggota jika serangan terjadi di wilayah negara pihak.
Kasus apa saja yang pernah ditangani ICJ?
ICJ telah menyelidiki lebih dari 190 kasus, menurut situs resminya.
Beberapa kasus penting termasuk Nikaragua v. Amerika Serikat, ketika pada 1986, ICJ memutuskan bahwa AS telah melanggar hukum internasional dan mendukung kelompok pemberontak melawan pemerintah Nikaragua. AS menolak keputusan pengadilan tersebut, dan memveto “tindakan penegakan hukum” ketika keputusan tersebut dikirim ke Dewan Keamanan.
Kasus menonjol lainnya adalah ketika pada 1993, Republik Bosnia dan Herzegovina memulai proses hukum terhadap Yugoslavia atas kejahatan genosida.
Negara-negara tetangga juga telah mengajukan permohonan ke ICJ terkait sengketa perbatasan mereka. Pada 2021, ICJ menetapkan batas maritim antara Somalia dan Kenya.
Kasus apa saja yang pernah ditangani ICC?
Menurut situs ICC, sejauh ini “ada 31 kasus yang diajukan ke Pengadilan, dan beberapa kasus mempunyai lebih dari satu tersangka.”
Hakim ICC telah mengeluarkan 40 surat perintah penangkapan, kata situs web tersebut. Kebanyakan dari mereka yang didakwa berasal dari negara-negara Afrika.
Sekitar 21 orang telah ditahan di pusat penahanan ICC dan diadili, termasuk Charles Taylor, mantan presiden Liberia.
15 orang lainnya masih buron. Tuduhan terhadap tujuh orang telah dibatalkan karena kematian mereka.
Pada 2023, ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin, yang menyatakan bahwa ia bertanggung jawab atas kejahatan perang berupa deportasi paksa dan pemindahan anak-anak dari wilayah pendudukan Ukraina ke Rusia.
Pemerintah Rusia menolak menerima keputusan tersebut, dengan mengatakan bahwa mereka tidak mengakui yurisdiksi ICC.
Kasus menonjol yang dirujuk ke ICC oleh Dewan Keamanan PBB adalah kasus Muammar Gaddafi, yang dituduh membunuh warga sipil selama aksi Arab Spring.
Surat perintah penangkapan dikeluarkan namun ditarik setelah mantan orang kuat Libya itu terbunuh pada 2011.
ICC juga telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap mantan Presiden Sudan Omar al-Bashir atas tuduhan “genosida dan kejahatan perang.”
Mantan presiden lainnya, Laurent Gbagbo dari Pantai Gading, ditangkap berdasarkan surat perintah ICC pada 2011 atas tuduhan pembunuhan, pemerkosaan, dan kejahatan lainnya, tetapi dibebaskan oleh pengadilan pada 2019.
Lalu, bagaimana dengan “Israel”? Akankah negara Zionis tersebut berhasil diseret sebagai terdakwa di ICJ? We will see. (zarahamala/arrahmah.id)