Oleh: Irfan S. Awwas dan Tim Ahli Majelis Mujahidin
بسم الله الرحمن الرحيم
(Arrahmah.com) – Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah berkenan menjaga keimanan kita sehingga tidak terjerumus pada paham sesat. Shalawat dan salam pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, keluarga dan kaum muslimin yang mengikuti jejak beliau.
Penolakan mayoritas umat Islam terhadap eksistensi Daulah Baghdadi (ISIS) di Indonesia, mengundang reaksi marah Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Sekalipun hampir semua gerakan Islam mengeluarkan pernyataan menolak ISIS karena kejahatan kemanusiaan dan paham sesatnya. Tapi yang disorot keras JAT hanya pernyataan Majelis Mujahidin yang secara tegas menyatakan Daulah Khilafah Al-Baghdadi Sesat dan Menyesatkan.
Majelis Mujahidin mengeritik ISIS dari sudut pandang syari’at Islam, bukan kebencian. Tapi aneh, mengapa JAT yang marah dan membantah pernyataan Majelis Mujahidin secara membabi buta? Bantahannya pun ditujukan pada pimpinan Majelis Mujahidin secara personal. Apakah sikap ini membuktikan bahwa JAT adalah perwakilan ISIS di Indonesia, dan karena itu pula menyebabkan mayoritas jamaahnya memisahkan diri dan membentuk JAS (Jamaah Ansharus Syariah)?
Pernyataan dan bantahan yang dikeluarkan oleh Imarah Markaziyah JAT dan dipublikasikan melalui situs resminya berjudul: “Pernyataan Sikap Jamaah Anshorut Tauhid Terhadap Umat Islam yang Menolak Khilafah Islamiyah yang Baru di Tegakkan,” sangat tendensius. Bahkan secara serampangan memungut potongan dalil dari perkataan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah guna mendukung kesesatan Daulah Al-Baghdadi alias ISIS.
Pada mulanya, Majelis Mujahidin menganggap tidak penting untuk direspons; bukan saja pernyataan itu tidak diawali basmalah, tanpa alamat, juga tanpa kop surat. Tetapi juga, secara ilmiah sama sekali tidak berbobot. Pernyataan Majelis Mujahidin dikeluarkan berdasarkan hasil investigasi; sedangkan JAT hanya persepsi. Mereka belum pernah ke Suriah, apalagi bertemu Baghdadi, jauh panggang dari api. Akan tetapi yang lebih penting lagi, setelah diklarifikasi pada Amir JAT, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang bertanda tangan dalam pernyataan tersebut, melalui putranya yang bezuk ke Lapas Nusakambangan, ternyata tidak mengakui sebagai penulisnya. Begitupun, ketika markaz JAT di Solo dikontak, semuanya bungkam. Adakah misi terselubung di balik pernyataan tersebut?
Namun, karena persoalan yang dibicarakan perkara khilafah dan takfir yang menyangkut kemaslahatan umat Islam, dan dalam kondisi penuh fitnah. Maka Majelis Mujahidin memutuskan untuk menjawab bantahan-bantahan sesat JAT, secara obyektif, menggunakan akal sehat dan hujjah syar’i, insyaAllah.
Dari jawaban ini akan nampak jelas bagi mereka yang berfikir sehat dan cerdas, perbedaan antara Majelis Mujahidin dan JAT, terkait pemahaman keagamaan, kerangka berfikir, manhaj perjuangan, termasuk menyikapi problema kaum muslimin. Oleh karena itu, menjawab bantahan JAT menjadi penting, agar masyarakat memperoleh pencerahan dan tidak tertipu oleh propaganda sesat.
1. Mengingkari musyawarah seluruh kaum Muslimin dalam memilih Khilafah
JAT mengatakan: “Irfan S. Awwas dalam tulisannya yang dimuat dalam Arrahmah.com menolak keberadaan Khilafah Islamiyah yang baru ditegakkan dengan alasan: “Mengangkat kholifah wajib berdasarkan musyawarah kaum muslimin secara keseluruhan”.
Dia berdalil dengan kisah pembaiatan Abu Bakar dengan berdasar pernyataan Umar Bin Khotob sbb: “Siapa saja yang mengajak Umat untuk mengangkat dirinya atau orang lain menjadi Imam tanpa musyawarah kaum muslimin maka dihalalkan bagi kalian membunuh orang itu.”
Keterangan itu adalah merupakan kedustaan terhadap para sahabat dan terhadap Umar Bin Khotob, karena tidak ada satupun ulama yang menyatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Irfan S. Awwas seperti yang tersebut diatas. Maka jelas ini adalah pendapat bathil yang wajib di tolak.
Pendapat ini tertolak dengan peristiwa pembaiatan Abu Bakar yakni dengan pembaiatan yang hadir saja. Adapun Ucapan Umar Bin Khotob yang dikutib oleh Irfan S. Awwas sebagaimana tersebut diatas bukanlah dimaksudkan seluruh kaum muslimin akan tetapi, yang dimaksud adalah musyawarah orang-orang yang memiliki kemampuan dan kekuatan. Oleh karena itu ketika menjelang wafat Khalifah Umar Bin Khotob hanya menunjuk beberapa sahabat Rosullullah untuk bermusyawarah memilih khalifah pengganti setelah beliau wafat, mereka itu adalah: Ali Bin Abi Thalib, Utsman Bin Affan, Tholhah, Zubair Bin Awam, Abdurrohman Bin Auf & Sa’ad Bin Abi Waqqos. Sama sekali beliau tidak menyuruh untuk mengumpulkan seluruh kaum muslimin. Karena para sahabat adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dan kekuatan.”
Meluruskan bantahan JAT
Bantahan JAT merupakan bantahan orang yang pendek akal, tidak mampu memahami dalil secara benar. Inilah salah satu dari dua landasan Majelis Mujahidin terkait ucapan Khalifah Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu mengenai pengangkatan khalifah berdasarkan musyawarah kaum muslimin.
“Dari Ibnu ‘Abbas, … Umar berkata, “Demi Allah, tidaklah kami temui urusan kami yang jauh lebih sulit daripada pembai’atan Abu Bakar. Karena ketika itu kami khawatir, sekiranya ada suatu kaum yang kami tinggalkan dalam pembai’atan Abu Bakar, kemudian mereka membai’at orang lain yang tidak kami ridhai atau kami yang menyalahi keinginan mereka, sehingga terjadi bentrokan. Oleh karena itu, siapa saja yang membai’at seseorang tanpa musyawarah kaum muslimin, maka orang yang membai’at dan yang dibai’at tidak boleh diikuti. Sebab dikhawatirkan kedua orang itu akan dibunuh orang lain.”(HR. Bukhari, no. 6328)
Namun JAT memahami perkataan Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu di atas dengan pemahaman yang dangkal, sehingga dapat membuka pintu kesesatan di atas kesesatan yang sudah ada. Mengatakan tidak ada ulama yang berpendapat seperti pernyataan Majelis Mujahidin itu, jelas dusta dan manipulasi fakta sejarah. Berapa banyak kitab ulama yang sudah dibaca, sehingga berani berkesimpulan bahwa, “tidak ada ulama yang berpendapat demikian?” Pernyataan itu juga bertentangan dengan ucapan Imam Ahmad, yang menegaskan pentingnya ijma’ kaum muslimin dalam pemilihan khalifah. Imam Ahmad mengatakan:
وَمَنْ خَرَجَ عَلَى إِمَامٍ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَقَدِ اجْتَمَعَ عَلَيْهِ النَّاسُ فَأَقَرُّوا لَهُ بِالْخِلَافَةِ بِأَيِّ وَجْهٍ كَانَتْ بِرِضًا كَانَتْ أَوْ بِغَلَبَةٍ فَهُوَ شَاقٌّ هَذَا الْخَارِجُ عَلَيْهِ الْعَصَا ، وَخَالَفَ الْآثَارَ عَنْ رَسُولِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنْ مَاتَ الْخَارِجُ عَلَيْهِ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً .
“Barangsiapa yang memberontak kepada salah seorang pemimpin kaum muslimin, padahal manusia telah berkumpul di bawah kepemimpinannya, mereka pun mengakui kepemimpinannya, dengan cara apa saja ia mendapati kepemimpinan itu, apakah dengan kerelaan atau dengan paksa, maka orang yang memberontak itu telah merusak persatuan kaum muslimin dan menyelisihi hadits-hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, jika pemberontak ini mati maka matinya mati jahiliyah.” (Syarhul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah lil Laalikaai, 1/313)
Keabsahan seorang khalifah hanya bila dipilih berdasarkan musyawarah dan dikukuhkan atas kesepakatan (ijma’) kaum muslimin. Apakah melibatkan seluruh kaum muslimin berarti memberatkan? Memilih khalifah memang bukan perkara ringan dan gampang, tapi perkara berat yang menyangkut kemaslahatan seluruh kaum muslimin sedunia. Karena itu diperlukan partisipasi seluruh kaum muslimin, bukan hanya sekelompok tertentu saja seperti dilakukan ISIS, supaya tidak ada peluang bagi kaum oportunis untuk memanipulasi sistem khilafah hanya sekadar proyek murahan.
Rahmat Allah semoga terlimpah kepada Al-Faruq yang telah membimbing kaum muslimin dengan perangkat nilai yang jelas, yaitu dalam memilih khalifah harus berdasarkan musyawarah seluruh kaum muslimin. Pemilihan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah dilakukan secara syar’i berdasarkan musyawarah, dipilih langsung secara aklamasi. Adanya penolakan seseorang sama sekali tidak mengurangi keabsahan kepemimpinannya. Pengangkatan Umar radhiyallahu ‘anhu dilakukan melalui penunjukan ahlul halli wal ‘aqdi oleh khalifah sebelumnya, sebagai representasi kaum muslimin kala itu.
Di zaman modern ini, mekanisme pemilihan khalifah berdasarkan musyawarah dengan melibatkan partisipasi kaum muslimin lebih mudah dipraktikkan. Mekanisme pemilihan bisa melalui refrendum, pemilihan umum, atau sistem perwakilan negara-negara Islam.
Upaya mengembalikan kekhalifahan mengikuti tradisi pemilihan khalifah yang telah dirintis para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditempuh oleh ulama dan para tokoh Islam, tidak lama setelah Kemal Ataturk melikwidasi kekhalifahan Islam Turki, 3 Maret 1924. Pada April 1924, sebulan setelah khilafah jatuh, Amir Makkah Syarif Husein membentuk Dewan Khilafah yang terdiri dari 9 orang sayyid dan 19 perwakilan dari daerah lain termasuk dua orang perwakilan dari Jawa.
Pada tahun yang sama, di bawah pimpinan Syaikh Al-Azhar kala itu, para ulama menyelenggarakan pertemuan di Kairo, yang kemudian menyepakati bahwa adanya khilafah untuk memimpin umat Islam merupakan keniscayaan. Adapun siapa yang layak dipilih menjadi khalifah, pertemuan itu memutuskan akan mengadakan muktamar pada Maret 1925 di Kairo, Mesir dengan mengundang wakil-wakil umat Islam seluruh dunia.
Ulama dan tokoh pergerakan Islam di Indonesia juga ikut mensponsori bangkitnya kekhalifahan Islam. Pada Mei 1924, diadakan kongres Islam II yang diselenggarakan oleh Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Kongres yang diketuai Haji Agus Salim ini menyepakati pentingnya meningkatkan persatuan umat Islam maka kongres harus ikut aktif dalam usaha menyelesaikan persoalan Khalifah karena menyangkut kepentingan seluruh umat Islam. Keputusan itu dipertegas lagi dalam Kongres Nasional Central Comite Chilafah pada Agustus 1924 di Surabaya, dan diputuskan akan mengirim utusan ke muktamar dewan khilafah pada 1925 di Kairo. Sekalipun usaha tersebut belum berhasil hingga sekarang, bukan berarti menganggap enteng prinsip musyawarah, lalu memaksakan diri untuk membentuk khilafah seperti dilakukan ISIS.
Apabila khalifah hanya dipilih oleh sebagian kaum muslimin dan meninggalkan sebagian lainnya, niscaya akan memicu perang saudara dan munculnya pemberontakan. Perjalanan sejarah kekhalifahan Islam membuktikan kebenaran ucapan Umar bin Khatthab di atas. Peperangan yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Gubernur Syam, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma adalah contohnya. Selain menuntut balas atas terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, pemberontakan Mu’awiyah juga dipicu adanya anggapan bahwa pengangkatan Ali radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah tidak berdasarkan ijma’ kaum muslimin.
Begitupun, dengan alasan yang sama Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memprotes penunjukan Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah, sehingga terbunuhnya Husein di Padang Karbala. Namun demikian, prinsip yang harus dipedomani, sekalipun mereka berperang tapi masing-masing pihak tidak saling mengafirkan. Berbeda dengan ISIS dan JAT yang seenaknya mengafirkan orang Islam yang tidak sepaham dengan kelompoknya.
Jika khalifah rasyidah yang sah, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu saja digugat bahkan diperangi, apalagi Daulah Al-Baghdadi. Siapa yang membaiatnya sebagai khalifah? Jangankan dipilih berdasarkan ijma’ kaum muslimin, bahkan tidak seorang pun ulama yang representative, baik di Irak maupun Suriah yang mendukung mimpi dan ambisi Baghdadi jadi khalifah. Anehnya, sejumlah kecil kaum muslim Indonesia justru bersemangat mendukung Khilafah Baghdadi, padahal mereka tidak mengenal Baghdadi kecuali lewat internet dan ilusi pendukungnya.
Oleh karena itu, menentang prinsip musyawarah berdasarkan ijma’ kaum muslimin dalam pemilihan khalifah berarti menentang syari’at Islam. Apabila mereka yang tidak memiliki kapasitas dan kredibilitas menyelesaikan problem umat, hanya sekadar bernostalgia tentang khilafah, lalu memaksakan diri menjadi khalifah dengan pengikut ala kadarnya, niscaya akan memicu fitnah yang besar.
Kondisi penuh fitnah ini telah dinubuwahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« سَيَأتِي عَلَى النَّاس سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤتَمَنُ فِيهَا الخَائِنُ وَيَخُوَّنُ فِيهَا الأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبَضَةُ . قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبَضَةُ قَالَ : الرَّجُلُ التَّافِهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ العَامَّةِ » .
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah)
2. Melecehkan para sahabat Nabi Shallalahu alaihi wa sallam mengamalkan dakwah takfir
JAT mengatakan: “Irfan berkata: Doktrin Takfir muncul dari Idiologi Khawarij.” Ucapan ini adalah keluar dari ketidakpahaman ajaran syariat islam. Takfir adalah ajaran islam yang sah selama diamalkan memenuhi syarat-syarat syariat. Kalau Irfan S. Awwas mengatakan Takfir adalah idiologi khawarij berarti dia menuduh para sahabat nabi dan para ulama sunnah yang telah mengamalkan dakwah takfir sebagai kaum khawarij. Sungguh ini pernyataan yang tidak didasari ilmu, hanya keluar karena kebencian.
Para sahabat telah mentakfir para pengikut nabi palsu dan orang yang menolak membayar zakat, padahal mereka yang ditakfir oleh para sahabat itu aktif mendirikan sholat.”
Meluruskan bantahan JAT
Paham takfir sangat berbahaya, terutama bagi ukhuwah dan kemaslahatan kaum muslimin. Mengafirkan orang yang dikafirkan Allah dan Rasul-Nya; dan mengafirkan orang Islam adalah dua hal yang berbeda. Menyatakan bahwa para sahabat Nabi dan para ulama Ahlussunnah telah mengamalkan dakwah takfir, merupakan pelecehan terhadap kemuliaan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ulama salafus shalih.
Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ulama Ahlussunnah mendakwahkan tauhid, menyeru orang kafir supaya beriman, bukan mendakwahkan takfir, seperti termaktub dalam Qs. An-Nahl ayat 125:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Wahai Muhammad, ajaklah manusia kepada Islam, agama Tuhanmu, dengan hujjah yang kuat, nasehat yang baik, dan sanggahlah hujah lawanmu dengan hujah yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui siapa yang menyimpang dari agama-Nya, dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang mendapat hidayah.”
Betapa lancangnya JAT menuduh para sahabat Nabi sebagai takfiri. Sehingga mereka sibuk mentakfir orang Islam, berdasarkan anggapan dusta seolah-olah sahabat Rasulullah pun melakukan dakwah takfir. Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, belum pernah terjadi orang Islam yang melakukan shalat dan ibadah lainnya divonis kafir. Adakah orang kafir melakukan shalat, lalu mengapa orang shalat malah dituduh kafir? Karena itu, tunjukkan, siapa di antara sahabat Nabi, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in yang mengamalkan dakwah takfir?
Kelompok yang pertama kali mengumbar vonis kafir terhadap kaum muslimin adalah kelompok sesat Khawarij dari kalangan Syi’ah. Pada waktu Khalifah Ali bin Abi Thalib mengadakan perdamaian dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menolak pembaiatan Ali sebagai khalifah setelah terbunuhnya Utsman bin Affan yang digerakkan oleh gerombolan Abdullah bin Saba’, seorang Rabbi Yahudi keturunan Yaman yang masuk Islam di masa khalifah Utsman bin Affan.
Menurut Ibnu Taimiyyah rahimahullah Khawarij mempunyai dua ciri khas yang popular, dan yang membedakannya dengan jama’ah kaum muslimin. Pertama, mereka keluar dari Sunnah, sehingga menganggap sesuatu yang bukan kejelekan sebagai kejelekan, atau yang bukan kebaikan sebagai kebaikan.
Kedua, Khawarij dan para pelaku bid’ah mengafirkan seseorang dengan sebab dosa dan kesalahan. Akibat dari pengafiran mereka dengan sebab dosa tersebut, mereka menghalalkan darah dan harta kaum muslimin. Mereka anggap negeri Islam (Darul Islam) sebagai negeri yang mesti diperangi (Darul Harb), dan hanya negeri yang mereka tinggali sebagai negeri iman (Darul Iman).” (Majmu’ Al-Fatawa, 19/71-73)
Alasan bahwa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu memerangi pengikut nabi palsu dan kaum muslim yang menolak membayar zakat, sebagai indikasi takfiri, jelas anggapan dusta akibat kebodohan. Kedua peristiwa itu hukumnya berbeda, dan sama sekali tidak membuktikan sikap takfiri.
Mempercayai dan mengikuti nabi palsu jelas perbuatan murtad dari Islam. Tidak perlu ditakfir, sudah otomatis kafir. Sedangkan kelompok yang menolak membayar zakat diperangi, disebabkan mereka menganggap zakat bukan kewajiban syari’at, melainkan sekadar upeti atau pajak pada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat maka selesailah pembayaran upeti. Karena itulah mereka diperangi, tapi tidak ditakfir.
Maka penting bagi kaum Muslimin, terutama JAT, untuk memahami dan meneladani bagaimana Abu Bakar Ash-Shiddiq radliyallahu ‘anhu telah melakukan pengorbanan luar biasa membela Dienul Islam dalam menyikapi sekelompok orang yang menolak membayar zakat. Beliau mengucapkan kalimat monumental dan yang menentukan keberlangsungan Dienul Islam, sebagaimana diceritakan dalam Tarikh Al-Khulafa’ hal. 67:
“Manakala berita wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebar di berbagai daerah, banyak kelompok-kelompok di kawasan Arab yang murtad dan tidak mau membayar zakat. Maka Abu Bakar Ash-Shiddiq radliyallahu ‘anhu bertekad untuk memerangi mereka, dan Umar serta sahabat lainnya berusaha untuk menenangkannya. Namun Abu Bakar berkata, ‘Demi Allah, jika mereka enggan menyerahkan kepadaku satu ekor saja yang biasa mereka berikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, niscaya aku perangi mereka karena enggan membayar zakat.’ Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Bagaimana engkau akan memerangi orang-orang, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Aku diperintahkan memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka melakukan hal tersebut, maka darah dan harta mereka terlindungi dariku, kecuali dengan hak Islam dan hisab (pehitungan) mereka pada Allah Ta’ala?” Abu Bakar pun berkata, ‘Demi Allah, saya akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat; karena sesungguhnya zakat itu adalah hak (kewajiban) pada harta benda.’ Kemudian Umar berkata, ‘Maka demi Allah, yang terjadi atas dia tiada lain kecuali aku mengetahui bahwa Allah ‘Azza wa jalla telah melapangkan dada Abu Bakar untuk berperang, lalu aku pun tahu bahwa dia memang benar.” (HR Bukhari-Muslim dan lainnya)
Kita berlindung pada Allah subhanahu wa ta’ala dari bahaya paham sesat. Karena paham sesat akan melahirkan amal yang sesat, dan amal sesat akan melahirkan ideologi serta gerak perjuangan yang juga sesat.
JAT mengatakan: “Irfan S Awwas juga berkata: Kini alasan yang sama juga digunakan oleh kelompok Al-Baghdadi alias ISIS untuk mengkafirkan kaum muslimin yang menolak kekhalifahan yang dideklarasikan secara sepihak. Dan mengkafirkan kaum muslimin yang ada didalam pemerintahan yang didominasi oleh hukum-hukum selain syariat Islam.”
Ucapan Irfan S. Awwas yang menyatakan bahwa khilafah mengkafirkan umat islam yang tidak berbaiat, adalah ucapan bohong tanpa memberikan bukti dan saksi. Padahal kenyataanya adalah sebaliknya, bahwa khilafah islamiyah sama sekali tidak mengkafirkan mereka yang tidak mau berbaiat. Buktinya Khilafah tidak mengkafirkan Syaikh Az-Dzawahiri, Abu Qotadah dan Syaikh Al Maqdisi yang menolak berbaiat kepada Khilafah, bahkan Al-Jaulani yang telah membatalkan baiat secara sepihak juga tidak dikafirkan oleh khilafah.
Meluruskan bantahan JAT
Benarkah Khilafah Baghdadi tidak mengkafirkan Syaikh Az-Zhawahiri, Abu Qotadah dan Syaikh Al-Maqdisi yang menolak berbaiat kepada khilafah, termasuk Al-Jaulani yang telah membatalkan baiat secara sepihak?
Apabila benar demikian, maka patut dipertanyakan. Mengapa Khilafah Baghdadi tidak mengafirkan mereka, sementara ribuan umat Islam lainnya dibunuh oleh Khilafah Baghdadi karena tidak mau berbaiat? Dan mengapa pula tokoh-tokoh yang disebutkan itu tidak mau berbaiat dan tidak mendukung Daulah Baghdadi?
Jika para ulama dan mujahid di Suriah saja tidak mendukung Baghdadi karena kesesatannya, lalu atas dasar apa orang-orang JAT di Indonesia mendukung Khilafah Baghdadi, bahkan membuka perwakilan ISIS, padahal kalian tidak pernah bertemu Baghdadi, tidak pernah juga mampir ke Raqqah walau sedetik? Apakah kalian merasa lebih pintar dan lebih paham siapa dan apa Daulah Baghdadi daripada para ulama dan tokoh di atas, sementara kalian mengenalnya hanya lewat internet atau qila wa qala? Maka sadarilah kesalahan dan kelemahan diri kalian.
JAT mengatakan: “Meskipun Irfan pernah ke Syiria, tetapi dia hanya mendapat keterangan tentang khilafah dari kelompok/orang-orang yang anti khilafah, meskipun kelompok tersebut bertujuan memerangi Basyar Asyad, Maka Irfan hanya menilai khilafah dari luar tidak masuk ke wilayah khilafah sehingga bisa melihat keadaan khilafah yang sebenarnya, dan mendapat keterangan dari mujahidin khilafah sehingga dia dapat memahami keadaan khilafah yang sebenarnya. Karena dia melihat khilafah dari luar dan mendapat keterangan dari kelompok yang anti khilafah baik orang islam/ulama maupun kaum sekuler. Maka semua tuduhannya terhadap khilafah tidak boleh dipercaya, pasti banyak kebohongannya.”
Meluruskan bantahan JAT
Dari manakah JAT tahu, apa yang dilakukan Majelis Mujahidin di Syria? Adalah mustahil seseorang mengetahui sesuatu padahal dia tidak berada di tempat kejadian. Bukankah hal ini adalah sikap sok tahu dan kesaksian imajinatif? Ataukah JAT mengirim jasus untuk mematai-matai aktivitas Majelis Mujahidin disana?
Jangan kalian membayangkan, situasi dan kondisi di wilayah yang dikuasai ISIS seperti sebuah Negara yang normal, negeri yang stabil secara politik dan militer, berlaku syari’at Islam, dan tertib administrasi. Anggapan ini telah menipu sebagian generasi muda Islam, padahal itu hanyalah ilusi, bukan fakta. Datanglah kesana, saksikan sendiri situasi perang, pembunuhan dan kondisi yang mengerikan, atau tanyakan pada sohibnya yang sudah terjebak disana.
Untuk mengenal kesesatan aqidah Daulah Bagdhadi, dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan, tidak harus bertandang ke wilayah Raqqah. Bukankah untuk mengenal kesesatan paham Syi’ah, tidak harus ke Iran atau mendapat informasi dari orang Iran? Tetapi bisa juga diperoleh melalui buku-buku yang dipublikasikan, melalui video dan segala macam teknologi informasi yang sekarang betapa mudah diakses. Bisa juga melalui pelajar Indonesia yang ke Iran, kemudian pulang menjadi propagandis Syi’ah.
Misalnya, opini dan paham sesat ISIS dapat didengar melalui pidato rekaman dan tulisan “Amirul Mukminin Abu Umar Al-Husainiy Al-Quraisiy Al-Baghdadiy.” Rekaman ini dengan bangga diterjemahkan oleh seorang terpidana kasus teroris yang menyebut dirinya Abu Yusuf Al-Indunisiy, 2 Mei 2014, yang kini mendekam di LP Pasir Putih Nusakambangan, Cilacap. Hasil terjemahan itu selanjutnya dipublikasikan melalui situs online Almustaqbal.net dan bulletin pendukung Daulah Islamiyah yang terbit di Solo dengan judul gagah: Inilah Aqidah Kami, Daulah Islamiyyah.
“Kami meyakini bahwa negeri-negeri bila yang berlaku di dalamnya adalah syiar-syiar kekafiran dan yang mendominasi di dalamnya adalah hukum-hukum kekafiran bukan hukum-hukum Islam, maka negeri-negeri ini disebut negeri kafir. Konsekwensinya, kita mengkafirkan penduduk yang mendiami negeri-negeri tersebut, kecuali ada udzur yang mu’tabar (dianggap) secara syar’i. Dan karena hukum-hukum yang berlaku di seluruh negeri-negeri Islam hari ini adalah hukum-hukum thaghut dan syariat kufurnya, maka sesungguhnya kami meyakini kafir dan murtadnya seluruh pemerintah tipe ini dan bala tentaranya. Dan memerangi mereka hukumnya lebih wajib dari memerangi pemerintah salibis,..”
Inilah di antara doktrin paham sesat takfiri yang dianut Daulah Baghdadi dan pendukungnya. Dengan ideologi dan pemahaman jahat seperti ini, mereka sibuk mentakfir dan membunuh kaum muslimin. Pertanyaannya, tunjukkan fakta, adakah di antara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in, dan tabi’ut tabi’in yang memiliki dan menyebarkan paham sesat seperti ini?
Bandingkan paham Al-Baghdadi di atas dengan definisi negara Islam menurut imam mazhab:
Menurut mazhab Hanafi, negara Islam adalah sebuah wilayah yang diperintah oleh penguasa-penguasa muslim. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, negara Islam adalah sebuah wilayah di mana syi’ar-syi’ar Islam dominan di bawah kendali kaum muslimin. (Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Fard wa Ad-Daulah fi Syari’atil Islam)
Oleh karena itu, kembalilah pada pemahaman Islam yang benar. Apabila dengan keterangan yang jelas, tidak mauruju’ ilal haq, maka benarlah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Tidakkah mereka mau berkelana di muka bumi agar hati mereka terbuka untuk berpikir, dan telinga mereka terbuka untuk mendengar? Sesungguhnya yang buta pada diri mereka bukanlah matanya, tetapi hati yang ada di dada merekalah yang buta.” (Qs. Al-Hajj, 22: 46)
Wallahu a’lam bish shawab!
Jogjakarta, 17 Dzulqa’dah 1435 H / 12 September 2014 M
(majelismujahidin.com/arrahmah.com)