(Arrahmah.com) – Agama sering mengartikulasikan worldview (cara pandang hidup) secara tajam dengan membedakan antara tatanan sosial yang rusak secara moral dengan tatanan yang lebih murni. Dalam tradisi Islam, khususnya Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah), Nabi Muhammad SAW diutus pada era korupsi terhadap pokok-pokok ajaran agama tersebut untuk menyampaikan pesan-pesan Allah terakhir (Al-Qur`an), mengubah tatanan tua paganisme di Jazirah Arab, dan mewujudkan suatu tatanan sosial yang berdasarkan hukum dan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Masa sebelum diangkatnya Nabi Muhammad Shallalahu alaihi wa sallam sebagai seorang nabi dan rasul inilah yang disebut era jahiliah.
Terma jahiliah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu ja-ha-la, yang berarti tidak mengetahui (not knowing) atau tidak memiliki ilmu pengetahuan (not having knowledge). Paling tidak, secara terminologi jahiliah dapat dimaknai dengan dua arti: pertama, jahiliah sebagai suatu periode waktu, dan kedua, jahiliah yang sebagai suatu worldview, karakter, atau sistem.
Dalam arti suatu periode waktu, kebanyakan ulama menjelaskan bahwa setelah datangnya Islam, maka tidak boleh berpendapat bahwa ada zaman jahiliah lagi secara mutlak. Sementara dalam arti yang kedua, jahiliah secara singkat dapat diartikan sebagai setiap sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam, baik pelanggaran besar yang berakibat kekafiran atau pelanggaran kecil yang tidak berakibat kekafiran. Jahiliah yang kedua inilah, selain ada sudah sejak dahulu, juga akan dan terus ada hingga hari akhir kelak. Rupa dan bentuknya bisa saja berbeda, namun semuanya memiliki substansi yang sama.
Dalam Al-Quran, kata jahiliah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebanyak empat kali. Masing-masing disebutkan dalam arti sebuah keyakinan, sistem hukum, prilaku dan watak. Jahiliah dalam arti suatu keyakinan yaitu zhann al-jahiliah (prasangka jahiliah) terdapat dalam QS. Ali ‘Imran 154. Untuk jahiliah dalam arti suatu sistem hukum, hukm al-jahiliyyah (hukum jahiliah), terdapat dalam QS. Al-Maidah 49-50. Sedangkan jahiliah dalam arti suatu perilaku dan gaya hidup (life style) yaitu dalam bentuk tabarruj al-jahiliyyah (bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah) tercantum dalam QS. Al-Ahzab 33. Dan jahiliah dalam arti suatu watak dan karakter—di antaranya dalam rupa hamiyyah al-jahiliyyah (kesombongan jahiliah)—yang biasanya terlihat dalam kehidupan sosial tercantum dalam QS. Al-Fath 26.
Pada era modern, di antara cendikiawan Islam yang menteorikan dan mengkonsepkan tentang jahiliah adalah Al-Maududi, Sayyid Qutb dan Muhammad Qutb. Menurut Al-Maududi, jahiliah setiap cara pandang yang tidak sesuai dengan cara pandang Islam, yang dari cara pandang yang tidak islami tersebut lahirlah perbuatan-perbuatan jahiliah.
Sayyid Qutb kemudian mempertajam konsep jahiliah yang diutarakan Al-Maududi. Sayyid Qutb menegaskan bahwa jahiliah adalah segala sesuatu yang merenggut dan mengambil hak prerogatif Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam membuat dan menetapkan suatu hukum, aturan, dan undang-undang. Dalam pandangan Sayyid Qutb masyarakat Islam bukanlah sebuah perkumpulan atau kelompok manusia yang menamakan diri mereka ‘Muslim’ sedangkan syariat Islam tidak dijadikan undang-undang masyarakat tersebut, walaupun mereka patuh melaksanakan shalat, mengerjakan puasa, dan menunaikan haji ke Mekah. Masyarakat Islam juga bukan perkumpulan atau kelompok manusia yang membuat ‘Islam’ versi mereka sendiri; bukan Islam yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam.
Hampir sama dengan Sayyid Qutb, Muhammad Qutb menekankan bahwa jahiliah adalah menolak untuk menjadikan syariat Allah sebagai pedoman hidup, dan membuat suatu aturan, adat, tradisi dan undang-undang yang menolak hukum Allah.
Ibarat air dan minyak, Islam dan jahiliah tidak akan pernah bisa menyatu dan hidup rukun berdampingan. Islam tetaplah Islam; yang tidak boleh tercampur sedikitpun dengan kejahiliahan. Dan jahiliah tetaplah jahiliah. meski ia diberi label keislaman apa pun yang dilekatkan padanya. Hanya ada satu penyelesaiannya, Islam yang menang dan jahiliah yang hancur berkecai; atau sebaliknya. Tidak ada penyelesaian yang setengah-setengah; setengah Islam dan setengah jahiliah. Pilihan yang ada hanyalah: Islam saja; atau jahiliah. Oleh itu, agar bisa mengarungi hidup secara islami, seorang Muislim—mau tidak mau—dituntut untuk melawan sistem jahiliah yang senantiasa menghalangi kokoh dan kembalinya sistem Islam yang dijunjung tinggi olehnya.
Penulis: Ali Sadikin
Executive summary Laporan Khusus Lembaga Kajian Syamina Edisi 7/Mei 2017
(*/arrahmah.com)