Oleh: Abdullah Al-Jirani
Lembaga Dakwah dan Bimbingan Islam Darul Hikmah
(Arrahmah.com) – Niat termasuk salah satu syarat sahnya puasa Ramadhan. Seorang yang menjalankan puasa Ramadhan tanpa niat, maka puasanya tidak sah dengan ijma’ (konsensus) ulama’. Imam Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata :
وجملته أنه لا يصح صوم إلا بنية إجماعا فرضا كان أو تطوعا لأنه عبادة محضة فافتقر إلى النية كالصلاة
“Secara garis besar, sesungguhnya suatu puasa tidak sah kecuali dengan niat berdasarkan ijma’ ulama’, baik yang wajib atau yang sunnah. Karena ia termasuk ibadah mahdhoh (murni) maka membutuhkan kepada niat seperti sholat”. [Al-Mughni : 3/17].
Imam Nawawi –rahimahullah- berkata :
مَذْهَبُنَا أَنَّهُ لَا يَصِحُّ صَوْمٌ إلَّا بِنِيَّةٍ سَوَاءٌ الصَّوْمُ الْوَاجِبُ مِنْ رَمَضَانَ وَغَيْرُهُ وَالتَّطَوُّعُ وَبِهِ قَالَ الْعُلَمَاءُ كافة
“Pendapat kami, sesungguhnya suatu puasa tidak sah kecuali dengan niat, baik puasa wajib berupa puasa Ramadhan dan selainnya dan puasa sunnah. Ini merupakan pendapat seluruh ulama’.” [ Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 6/300 ].
Dalilnya sabda Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- :
إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Amalan-amalan itu tergantung pada niat”.
Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda :
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فلَا صِيَامَ لَهُ
“Barang siapa yang belum meniatkan puasa pada malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.”[HR. Abu Dawud : 2454, At-Tirmidzi : 730, An-Nasa’i : 2332,dan selainnya. Hadits dishohihkan oleh syaikh Al-Albani –rahimahullah-].
Tidak ada perselisihan (ijma’/kesepakatan) di kalangan ulama’, bahwa niat tempatnya di hati dan tidak disyaratkan untuk melafadzkannya dengan lisan. Apabila seorang berniat dengan lisannya tanpa hatinya, maka puasanya tidak sah.
Imam Nawawi –rahimahullah- berkata :
وَمَحَلُّ النِّيَّةِ الْقَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ نُطْقُ اللِّسَانِ بِلَا خِلَافٍ وَلَا يَكْفِي عَنْ نِيَّةِ الْقَلْبِ بِلَا خِلَافٍ
“Tempat niat di dalam hati. Tidak disyaratkan untuk mengucapkan, dan tidak mencukupi (mengucapkan dengan lisan) dari niat di dalam hati tanpa ada perselisihan di kalangan ulama’.” [Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 6/289].
Akan tetapi menurut jumhur ulama’ (mayoritas ulama’) dari Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, dianjurkan untuk melafadzkan niat dalam rangka untuk menguatkan niat yang ada di dalam hati. Adapun Malikiyyah, mereka berpendapat lebih utama untuk meninggalkan. Asy-Syaikh Prof.Dr. Wahbah Az-Zuhaili –rahimahullah- berkata :
ومحل النية: القلب، ولا تكفي باللسان قطعاً، ولا يشترط التلفظ بها قطعاً. لكن يسن عند الجمهور (غير المالكية) التلفظ بها، والأولى عند المالكية ترك التلفظ بها.
“Tempat niat di dalam hati. Tidak cukup dengan lisan saja secara pasti. Tidak disyaratkan melafadzkannya secara pasti. Akan tetapi menurut jumhur (selain Malikiyyah) disunnahkan/dianjurkan untuk melafadzkannya (dalam rangka menguatkan apa yang ada di dalam hati). Adapun menurut Malikiyyah, maka meninggalkan melafadzkannya lebih utama”. [ Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu : 3/1571 ].
Istidlal (sisi pengambilan dalil ) jumhur ulama’ dalam masalah ini, adalah dengan mengqiyaskan kepada pelafadzan niat dalam ibadah haji. Telah diriwayatkan, sesungguhnya Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- ketika “tahallul” berkata :
لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا
“Aku memenuhi panggilan-Mu (ya Alloh) untuk umroh dan haji”.[ HR. Muslim : 1232 dari Anas bin Malik].
Jadi kalau ada yang bertanya : apakah melafadzkan niat dalam puasa ada dalilnya ? maka jawabnya : ada, yaitu qiyas. Dan yang melakukan qiyas di sini adalah para imam madzahib yang telah mencapai derajat mujtahid. Artinya, qiyas yang mereka lakukan di dalam masalah ini, adalah qiyas mu’tabar.
Saat kami dalam proses membahasa masalah ini, tanpa sengaja kami mendapatkan sebuah faidah, dimana faidah ini belum pernah kami dapatkan sebelumnya. Ternyata Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- juga melafadzkan niat. Walaupun beliau melakukannya dalam sholat, namun hal ini menjadi faidah bagi kita sekalian bahwa melafadzkan niat telah ma’ruf menjadi amaliah para imam madzhab, terkhusus imam Asy-Syafi’i-rahimahullah-.
Sebagaimana disebutkan oleh Imam Abu Bakar bin Muqri’ –rahimahullah- (wafat : 381 H) beliau berkata :
أَخْبَرَنَا ابْنُ خُزَيْمَةَ، ثنا الرَّبِيعُ قَالَ: ” كَانَ الشَّافِعِيُّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ فِي الصَّلَاةَ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ، مُوَجِّهًا لَبَيْتِ اللَّهِ مُؤْدِيًا لِفَرْضِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ اللَّهُ أَكْبَرُ
“Ibnu Khuzaimah telah mengabarkan kepada kami, (dia berkata) Ar-Rabi’ telah menceritakan kepada kami : Adalah Asy-Syafi’i apabila hendak masuk ke dalam sholat, beliau berkata : “Dengan menyebut nama Alloh, dalam kondisi menghadap kiblat, dalam rangka menunaikan kewajiban yang Alloh perintahkan..kemudian membaca takbir”. [ Al-Mu’jam karya Ibnu Muqri’ no : 317 halaman : 121 ].
Imam Nawawi –rahimahullah-berkata :
وَلَكِنْ يُسْتَحَبُّ التَّلَفُّظُ مَعَ الْقَلْبِ
“Akan tetapi dianjurkan untuk melafadzkan (niat puasa ) mengiringi hati”. [ Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 6/289].
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al Hambali –rahimahullah- berkata :
ومعنى النية القصد ومحلها القلب وإن لفظ بما نواه كان تأكيدا
“Makna niat adalah kehendak dan tempatnya di dalam hati. Jika seorang melafadzkan apa yang dia niatkan, maka hal itu sebagai penguat (niat yang ada di dalam hati)”. [ Al-Mughni : 1/544].
Pendapat ulama’ besar Nusantarapun, ternyata mencocoki pendapat jumhur ulama’. Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi –rahimahullah- berkata :
ومحلها القلب….ولا تكفي النية باللسان دون القلب، كما لا يشترط التلفظ بها قطعاً لكنه يندب ليعاون اللسان القلب
“(Niat) tempatnya di hati….tidak cukup niat di lisan tanpa hati. Sebagaimana tidak disyaratkan melafadzkannya secara pasti. Akan tetapi dianjurkan (melafadzkannya) agar lisan bisa membantu (memantapkan apa yang diniatkan di dalam) hati”. [ Kasyifatus Saja Syarhu Safinatun Naja : 280 ].
Bagaimana bunyi niat puasanya ? tidak ada ketentuan pasti harus demikian dan demikian. Akan tetapi, sebagai contoh bisa ditiru apa yang disebutkan oleh Imam Muhammad bin Qosim Al-Ghozzi –rahimahullah- (wafat :918 H) :
ويجب التعيين في صوم الفرض كرمضان؛ وأكمل نية صومه أن يقول الشخص: «نَوَيتُ صَوْمَ غَدٍ عَن أدَاء فَرْضِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنةِ لِلّهِ تعالى»
“Wajib untuk menentukan (niat) dalam puasa wajib seperti puasa Ramadhan. Dan menyempurnakan niat puasanya dengan seorang mengucapkan (malafadzkan niatnya) : “Aku niat puasa besok dari menunaikan kewajiban (puasa) Ramadhan di tahun ini karena Alloh Ta’ala”. [Fathul Qorib Al-Mujib fi Syarhi Alfadzi At-Taqrib : 137 ].
Jika kita perhatikan, para ulama’ yang tidak sependapat dengan jumhur dalam masalah ini, seperti Malikiyyah, mereka ternyata hanya menyatakan bahwa melafadzkan niat itu “khilaful aula”(kurang utama) saja atau dalam ungkapan lain “tidak dianjurkan”. Tidak sampai menghukumi bid’ah atau haram. Lihat ungkapan Syaikh Wahbah Az-Zuhaili –rahimahullah- di atas.
Bahkan Ibnu Taimiyyah –rahimahullah-, walaupun beliau tidak berpendapat dengan pendapat jumhur, beliau mengakui dengan jujur bahwa masalah ini (melafadzkan niat), adalah masalah khilafiyyah ijtihadiyyah, dan ulama’ madzhab yang lainnya juga tidak menghukumi sebagai perkara bid’ah atau haram. Syaikhul Islam –rahimahullah- berkata :
وَلَكِنْ تَنَازَعَ الْعُلَمَاءُ هَلْ يُسْتَحَبُّ اللَّفْظُ بِالنِّيَّةِ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: فَقَالَ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ: يُسْتَحَبُّ التَّلَفُّظُ بِهَا لِكَوْنِهِ أَوْكَدَ. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ، وَأَحْمَدَ، وَغَيْرِهِمَا: لَا يُسْتَحَبُّ التَّلَفُّظُ بِهَا
“Akan tetapi para ulama’ telah berselisih, apakah dianjurkan untuk melafadzkan niat ? ada dua pendapat : Sebagian sahabat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat dianjurkan untuk melafadzkannya karena hal itu lebih mantap. Sekelompok dari sahabat Malik, Ahmad dan selain keduanya berpendapat : tidak dianjurkan untuk melafadzkannya”. [ Majmu’ Fatawa : 1/214 ].
Terakhir, perlu kami sampaikan. Bahwa terkadang seorang mengalami berbagai perubahan pendapat dalam perjalanannya menuntut ilmu seiring dengan berjalannya waktu. Maka ada istilah “qoul qodim”(pendapat lama) dan istilah “qoul jadid” (pendapat baru). Orang seperti ini bukanlah seorang yang inkonsisten.
Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata :
فَإِنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَزَالُ يَطْلُبُ الْعِلْمَ وَالْإِيمَانَ. فَإِذَا تَبَيَّنَ لَهُ مِنْ الْعِلْمِ مَا كَانَ خَافِيًا عَلَيْهِ اتَّبَعَهُ، وَلَيْسَ هَذَا مُذَبْذَبًا؛ بَلْ هَذَا مُهْتَدٍ زَادَهُ اللَّهُ هُدًى.
“Sesungguhnya manusia senantiasa mencari ilmu dan iman. Apabila telah jelas sesuatu ilmu yang belum dia ketahui sebelumnya, hendaknya dia mengikutinya. Orang seperti ini bukan orang yang inkonsisten, melainkan dia seorang yang mendapatkan hidayah yang Alloh tambahkan petunjuk baginya”. [ Majmu’ Fatawa : 2/108 ].
Kami pribadi tidak melafadzkan niat(karena sudah merasa mantap dengan niat yang ada dalam hati). Akan tetapi, kami menghormati mereka yang melafadzkannya. Terlebih ini merupakan pendapat jumhur ulama’ umat. Masalah ini masalah khilafiyyah ijtihadiyyah. Sehingga kita harus saling menghargai dan berlapang dada. Tidak boleh menjadikan perbedaan pendapat dalam masalah ini sebagai sebab permusuhan dan kebencian serta sebab untuk saling menyesatkan atau menvonis ahli bid’ah. Dan sikap seperti ini adalah manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah As-Salafiyyah.
Kesimpulan :
- Niat puasa letaknya di hati, dan ini perkara yang disepakati ulama’.
- Tidak disyaratkan untuk melafadzkan niat, dan ini perkara yang disepakati ulama’.
- Seorang yang melafadzkan niat puasanya, akan tetapi tidak berniat dengan hatinya, maka puasanya tidak sah.
- Seorang yang meniatkan puasa dengan hatinya tanpa melafadzkan niatnya, maka puasanya telah sah.
- Menurut jumhur ulama’ (Hanafiyyah, Syafiyyah, dan Hanaabillah) melafadzkan niat puasa untuk memantapkan niat yang sudah ada di dalam hati adalah perkara yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Jadi bukan hanya Syafiiyyah yang membolehkan hal ini sebagaimana dipahami sebagian orang.
(ameera/arrahmah.com)