(Arrahmah.com) – Penyusun buku Tafsir At-Tanwir juz 1 yang dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pada halaman 439 alinea 1, memberikan tafsir yang menyesatkan tentang kepemimpinan dalam Islam, dengan mengemukakan:
“Dalam konteks keindonesiaan, pemimpin niscaya dipilih dengan seksama dari anak bangsa yang terbaik ditinjau dari berbagai aspeknya. Tidak pada tempatnya seorang dipilih menjadi pemimpin karena faktor kesamaan golongan, suku, agama, organisasi massa, dan partai politik semata. Dalam memilih pemimpin janganlah seperti membeli kucing dalam karung.”
dan mengaitkannya dengan surah Al Baqarah [2] ayat 124 pada halaman 435-436:
۞وَإِذِ ٱبۡتَلَىٰٓ إِبۡرَٰهِۧمَ رَبُّهُۥ بِكَلِمَٰتٖ فَأَتَمَّهُنَّۖ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامٗاۖ قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِيۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهۡدِي ٱلظَّٰلِمِينَ ١٢٤
- Ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata, “Dan saya mohon juga dari keturunanku”. Allah berfirman, “Janji-Ku ini tidak mengenai orang yang zalim.”
1 Bahwa uraian penyusun buku tersebut mengaburkan pokok pembahasan dan cenderung menyesatkan umat. Pertama, ayat tersebut menjelaskan dengan karunia Allah kepada Nabi Ibrahim yang berupa jabatan kerasulan dan kenabian yang merupakan ketetapan Allah semata, yang sama sekali bukan jabatan duniawiyah hasil dari ikhtiar manusia. Kedua, makna imam pada ayat tersebut mempunyai pengertian khusus yaitu tokoh yang oleh Allah dijadikan teladan bagi seluruh umat manusia dalam melaksanakan ketaatannya secara total kepada Allah. Keimaman Nabi Ibrahim as. bukan hanya berlaku pada zamannya, tetapi berlaku sampai hari kiamat, sebagaimana firman Allah (QS. Ash-Shaffat [37]: 108):
Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.
2 Bahwa bangsa Indonesia bukanlah keturunan Nabi Ibrahim AS, maka mengkaitkan bangsa Indonesia maupun negaranya kepada Nabi Ibrahim merupakan pikiran yang menyesatkan, karena ayat itu hanya berbicara khusus keturunan Nabi Ibrahim. Proses seseorang yang Allah jadikan imam sebagaimana dimaksud ayat tersebut bukanlah suatu proses yang dapat diturunkan apalagi disejajarkan pada pemahaman tentang proses pemilihan oleh rakyat atau demokrasi, baik domokrasi liberal maupun demokrasi terpimpin. Maka mengkaitkan konteks pemilihan pemimpin di Indonesia dengan surat Al Baqarah ayat 124 di atas merupakan penyesatan pemahamanpublik atas masalah tersebut. Penyesatkan pemahaman publik ini termasuk kategori talbisul haqqa bil baatil(mencampur adukkan yang haq dengan yang batil)yang dengan tegas dilarang oleh Allahdengan firman-Nya(QS. Al-Baqarah: 42)
وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٤٢
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.
Upaya memperalat ayat Al-Qur’an untuk membenarkan hal-hal yang batil tergolong orang fasik dan berdosa besar.
3.Bahwa kalimat penyusun buku “Tidak pada tempatnya seorang dipilih menjadi pemimpin karena faktor kesamaan golongan, suku, agama, organisasi massa, dan partai politik semata”,mengecoh publik dengan menghalalkan hal yang diharamkan oleh Allah yaitu umat Islam boleh memilih pemimpin non muslim, padahal telah tegas adanya larangan tersebut sebagaimana tercantum dalam QS. Ali ‘Imran: 28,
لَّا يَتَّخِذِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلۡكَٰفِرِينَ أَوۡلِيَآءَ مِن دُونِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ فَلَيۡسَ مِنَ ٱللَّهِ فِي شَيۡءٍ إِلَّآ أَن تَتَّقُواْ مِنۡهُمۡ تُقَىٰةٗۗ وَيُحَذِّرُكُمُ ٱللَّهُ نَفۡسَهُۥۗ وَإِلَى ٱللَّهِ ٱلۡمَصِيرُ ٢٨
Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin,melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya dan hanya kepada Allah tempat kembali.
Apabila dihubungkan dengan uraian penyusun sendiri yang pada halaman 375 alinea pertamayang menyebutkan:
“Di masa sekarang, cukup banyak orang yang memusuhi kebenaran, misalnya tidak mau secara konsisten melaksanakan kebenaran ajaran agama Islam, padahal mereka mengakui kebenaran Islam. Dengan demikian, orang yang seperti itu, disebut dengan orang-orang yang ingkar. Allah memusuhi orang-orang yang ingkar tersebut, baik yang berada di luar Islam, maupun yang menyatakan dirinya seorang muslim, akan tetapi tidak melaksanakan ajaran agama yang dianutnya”,
Maka konsekuensinya termasuk pihak yang menghalalkan umat Islam untuk memilih pemimpin non muslim yang secara tegas diharamkan oleh Allah. Dan orang Islam yang melakukannya berarti mengingikari kebenaran yang ditetapkan oleh Allah.
***
Majelis Mujahidin Jl. Karanglo No.94, Kotagede, Yogyakarta
(azmuttaqin/arrahmah.com)