(Arrahmah.com) – Tafsir At Tanwir Juz 1 yang dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada halaman 29 memuat uraian: “Adam yang diciptakan dari tanah juga melalui proses. Mungkin akan muncul pertanyaan, kalau begitu berarti Adam bukan manusia pertama? Allah menjelaskan bahwa penciptaan Adam sama seperti penciptaan Isa (QS. Ali ‘Imran [3]: 59). Bagaimana penciptaan Isa? Apakah Isa tidak mempunyai ibu? Ternyata Isa mempunyai ibu, yakni Maryam. Lantas, siapa orang tua Adam? Adam adalah manusia pertama yang paling sempurna dalam ciptaan (ahsan al-taqwim), paling cerdas dari makhluk sebelumnya (homo sapien), ciptaan paling beradab dan berbudaya (homo ludens) dari makhluk sebelumnya. Oleh karena itu, orang tua Adam adalah manusia yang belum sampai derajat kecerdasan tinggi sebagaimana “keinginan” Allah untuk dijadikan khalifah di bumi. Lantas, siapa manusia pertama yang menjadi leluhur Adam meskipun belum derajat kecerdasan sempurna? Al-Qur’an tidak menginformasikan hal itu, dan manusia dengan ilmu pengetahuannya pun juga belum bisa mengungkap leluhur Adam (manusia yang belum sempurna). Adam adalah genus homo pertama kali yang menjadi asal-usul manusia modern (homo) sehingga manusia disebut anak-cucu Adam.”
1. Bahwa Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran [3]: 59 yang ditunjuk penyusun buku di atas, teks, bunyi dan terjemahannya adalah sebagai berikut:
إِنَّ مَثَلَ عِيسَىٰ عِندَ ٱللَّهِ كَمَثَلِ ءَادَمَۖ خَلَقَهُۥ مِن تُرَابٖ ثُمَّ قَالَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ ٥٩
Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia.(Terjemahan Kementerian Agama RI).
Dari arti dan makna sebenarnya yaitu “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam”, dibalik arti dan maknanyamenjadi:“Allah menjelaskan bahwa penciptaan Adam sama seperti penciptaan Isa (QS. Ali ‘Imran [3]: 59).”Cara penafsiran ini merupakan pemutarbalikan ayat Al-Qur’an, tahriiful kalima ‘an mawaadhii’ihi (merubah susunan kalimat dari yang sebenarnya) yang berakibat merubah dan membalikkan dari arti dan makna ayat yang sebenarnya. Dengan alasan apapun hal ini sama-sekali tidak dapat dibenarkan, bahkan kwalifikasi bagi pelaku perbuatan tahriif (pemutarbalikan ayat Al-Qur’an) itu sendiritegas dinyatakan dan dihukumi sebagai perbuatan yang terkutuk berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah [3]: 13:
فَبِمَا نَقۡضِهِم مِّيثَٰقَهُمۡ لَعَنَّٰهُمۡ وَجَعَلۡنَا قُلُوبَهُمۡ قَٰسِيَةٗۖ يُحَرِّفُونَ ٱلۡكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦ وَنَسُواْ حَظّٗا مِّمَّا ذُكِّرُواْ بِهِۦۚوَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَىٰ خَآئِنَةٖ مِّنۡهُمۡ إِلَّا قَلِيلٗا مِّنۡهُمۡۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱصۡفَحۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣
(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”(Terjemahan Kementerian Agama RI).
Disadari atau tidak uraian tafsir dengan cara sedemikian itu telah mengarah pada penyesatan akidah umat Islam,yang pada tingkattertentu bahkan dapat berimplikasi memurtadkan.
2.Bahwa pemutarbalikan ayat Al-Qur’an dengan membalikkan dari arti dan makna ayat yang sebenarnya sehingga menjadi “Allah menjelaskan bahwa penciptaan Adam sama seperti penciptaan Isa (QS. Ali ‘Imran [3]: 59)” tersebut dikehendaki oleh penyusunnya untuk menguraikan proses penciptaan Adam AS. Padahal Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran[3]: 59 ini konteksnya tidak berbicara tentang Adam ASakan tetapi berbicara tentang Isa AS, yang proses kejadiannya serupa dengan proses kejadian Adam. Isa diciptakan melalui seorang ibu tanpa ayah, sedangkan Adam diciptakan tanpa melalui ibu dan ayah. Titik keserupaan penciptaan Isa dan Adam adalah keduanya diciptakan tanpa melalui proses pertemuan sel telur dengan sperma, sebagaimana proses kejadian manusia pada umumnya.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirmandalam QS. Al-A’raf [7]: 189:
۞هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَجَعَلَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا لِيَسۡكُنَ إِلَيۡهَاۖ فَلَمَّا تَغَشَّىٰهَا حَمَلَتۡ حَمۡلًا خَفِيفٗا فَمَرَّتۡ بِهِۦۖ فَلَمَّآ أَثۡقَلَت دَّعَوَا ٱللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنۡ ءَاتَيۡتَنَا صَٰلِحٗا لَّنَكُونَنَّ مِنَ ٱلشَّٰكِرِينَ ١٨٩
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: “Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.
Dengan demikian memaksakan cara penafsiran dengan memutarbalikkan Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran[3]: 59 tersebut semata-mata hanya upaya untuk menjustifikasi anggapan penyusun yang terlanjur dikuasai anggapan dan pemikiran bahwa Adam bukan manusia pertama.
3.Bahwa anggapan penyusun Adam AS bukan manusia pertama ini merupakan pengingkaran terang-terangan terhadap hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بِلَحْمٍ فَرُفِعَ إِلَيْهِ الذِّرَاعُ وَكَانَتْ تُعْجِبُهُ فَنَهَسَ مِنْهَا نَهْسَةً فَقَالَ أَنَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهَلْ تَدْرُونَ بِمَ ذَاكَ يَجْمَعُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَيُسْمِعُهُمْ الدَّاعِي وَيَنْفُذُهُمْ الْبَصَرُ وَتَدْنُو الشَّمْسُ فَيَبْلُغُ النَّاسَ مِنْ الْغَمِّ وَالْكَرْبِ مَا لَا يُطِيقُونَ وَمَا لَا يَحْتَمِلُونَ فَيَقُولُ بَعْضُ النَّاسِ لِبَعْضٍ أَلَا تَرَوْنَ مَا أَنْتُمْ فِيهِ أَلَا تَرَوْنَ مَا قَدْ بَلَغَكُمْ أَلَا تَنْظُرُونَ مَنْ يَشْفَعُ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ فَيَقُولُ بَعْضُ النَّاسِ لِبَعْضٍ ائْتُوا آدَمَ فَيَأْتُونَ آدَمَ فَيَقُولُونَ يَا آدَمُ أَنْتَ أَبُو الْبَشَرِ خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ وَنَفَخَ فِيكَ مِنْ رُوحِهِ وَأَمَرَ الْمَلَائِكَةَ فَسَجَدُوا لَكَ …
Dari Abu Hurairah dia berkata, “(Kami berada bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam satu undangan), lalu dipersilahkan kepada beliau daging lengan (kambing) -dulu daging ini sangat disukainya- lalu beliau menggigit darinya satu gigitan dan bersabda: “Aku adalah penghulu seluruh manusia pada Hari Kiamat, tahukah kalian kenapa demikian? Allah mengumpulkan seluruh manusia yang terdahulu sampai yang akan datang pada satu dataran tanah, sehingga penyeru dapat memperdengarkan (suaranya) kepada mereka semuanya, dan pandangan dapat melihat mereka, serta matahari mendekat mereka. (Lalu manusia mengalami kesedihan dan kengerian pada batas yang mereka tidak mampu dan sabar menanggungnya), lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, ‘Apakah kalian tidak memiliki pendapat tentang keadaan yang kalian hadapi dan yang menimpa kalian ini?! ‘ Tidakkah kalian memiliki pendapat, siapa yang dapat memberikan syafa’at untuk kalian kepada Rabb kalian? Sebagian lainnya menyatakan (kepada sebagian yang lain), ‘Datanglah kepada bapak kalian Adam’, Lalu mereka mendatanginya dan berkata, ‘Wahai Adam! Engkau adalah bapaknya seluruh manusia, Allah menciptakanmu dengan tangan-Nya dan meniupkan dari ruh-Nya kepadamu, serta memerintahkan para malaikat lalu mereka sujud padamu. …’ (HR. Muslim)
Mengingkari sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang Adam AS sebagai manusia pertama, padahakekatnya juga merupakan pengingkaran terhadap wahyu, oleh karena Kitab Suci Al Qur’an, Surat Al-Najm [53] :3-4 menegaskan bahwa:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ ٤
Dan dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Bahwa uraian penyusun buku tafsir yang beranggapan Adam Alaihissalam bukan manusia pertama, yang mengingkari pengetahuan yang telas jelas berdasarkan hadits Nabi Shallalahu alaihi wa sallam yang tersebut pada ad. 3.3 di atas bertentangan dengan uraiannya sendiriyang termuat dalam buku tafsir itu pula pada halaman 96 alinea ke-2 yang menyebutkan:
“Dengan demikian, beriman berarti meyakini adanya sesuatu atau zat yang di luar jangkauan indra, apabila ada petunjuk dari dalil yang kuat atau akal yang sehat. Orang yang mempunyai keyakinan seperti itu, akan mudah baginya membenarkan adanya Pencipta alam semesta. Apabila Rasul menjelaskan adanya sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah, seperti, Malaikat atau hari kiamat, maka tidaklah sulit baginya membenarkannya, karena telah meyakini kebenaran Nabi Muhammad Shallalahu alaihi wa sallam.”
Majelis Mujahidin, Jl. Karanglo No.94, Kotagede, Yogyakarta
(azmuttaqin/*/arrahmah.com)