GAZA (Arrahmah.id) – Beberapa jam setelah Hamas, menyerang “Israel” pada Sabtu (7/10/2023), X, jejaring sosial milik orang terkaya di dunia Elon Musk dibanjiri dengan video, foto, dan informasi menyesatkan terkait serangan tersebut.
“Bayangkan jika hal ini terjadi di lingkungan kita, pada keluarga Anda,” tulis Ian Miles Cheong, komentator sayap kanan yang sering berinteraksi dengan Musk, bersama dengan video yang menurutnya menunjukkan pejuang Palestina membunuh warga “Israel”.
Catatan Komunitas, fitur X yang memungkinkan pengguna menambahkan konteks ke dalam unggahan, menyatakan bahwa orang-orang dalam klip tersebut adalah anggota penegak hukum “Israel”, bukan Hamas.
Namun videonya masih tayang dan telah mengumpulkan jutaan tayangan. Dan ratusan akun X lainnya telah membagikan klip tersebut, beberapa di antaranya dengan tanda centang terverifikasi, menurut penelusuran Al Jazeera.
Disinformasi – berita palsu yang disebarkan dengan sengaja – tentang perang dan konflik “Israel”-Palestina secara umum juga tersebar di jejaring sosial lain seperti Facebook, Instagram, dan TikTok. PHK besar-besaran di tim Trust and Safety X, platform tersebut tampaknya mengalami dampak terburuk.
X, Meta, pemilik Facebook, Instagram dan Threads, TikTok, dan BlueSky, tidak menanggapi permintaan komentar Al Jazeera.
Pada Senin (9/10), X menyatakan ada lebih dari 50 juta unggahan di platform tersebut selama akhir pekan tentang konflik tersebut.
Sebagai tanggapan, perusahaan tersebut mengatakan bahwa mereka telah menghapus akun-akun baru yang berafiliasi dengan Hamas, karena berbagi media grafis dan ujaran kebencian, dan memperbarui kebijakannya yang mendefinisikan apa yang dianggap “layak diberitakan” oleh platform tersebut.
“Perusahaan-perusahaan besar ini masih bingung dengan penyebaran disinformasi, meski tidak ada seorang pun yang terkejut dengan hal tersebut,” kata Irina Raicu, direktur Program Etika Internet di Santa Clara University.
“Mereka mengeluarkan angka – berapa banyak unggahan yang mereka hapus, berapa banyak akun yang mereka blokir, pengaturan apa yang mungkin ingin Anda ubah jika Anda tidak ingin melihat pembantaian. Apa yang tidak mereka keluarkan adalah metrik kegagalan mereka: berapa banyak distorsi yang tidak disertai dengan ‘Catatan Komunitas’ atau diberi label lain, dan untuk berapa lama. Jurnalis dan peneliti harus mendokumentasikan kegagalan mereka setelah hal itu terjadi.”
‘Rekaman lama dan daur ulang’
Selama beberapa tahun terakhir, pelaku kejahatan telah berulang kali menggunakan platform media sosial untuk menyebarkan disinformasi sebagai respons terhadap konflik di dunia nyata. Pada 2019, misalnya, Twitter dan Facebook dibanjiri rumor dan hoaks setelah India dan Pakistan, dua kekuatan nuklir, berada di ambang perang setelah Pakistan menembak jatuh dua pesawat tempur India dan menangkap seorang pilot India.
Pekan ini, di X, seorang pengguna bernama The Indian Muslim membagikan video dengan judul “Lebih banyak kekuatan untuk Anda #Hamas” dan mengklaim bahwa klip tersebut menunjukkan seorang pejuang bersenjata Hamas menembakkan meriam roket besar yang dipasang di bahu dan menjatuhkan sebuah helikopter “Israel”.
Berbagai peneliti disinformasi, baik di media sosial maupun dalam wawancara dengan Al Jazeera, menunjukkan bahwa rekaman tersebut berasal dari video game bernama Arma 3. Unggahan tersebut, yang memiliki Catatan Komunitas, masih aktif dan telah ditonton lebih dari setengah juta kali.
Pada Senin (9/10), sebuah akun bernama Ansaree dengan 5.000 pengikut mengunggah video Presiden Rusia, Vladimir Putin dengan subtitle berbahasa Inggris tengah berpidato bahwasanya Putin memperingatkan Amerika untuk tidak ikut campur dalam konflik “Israel”-Palestina, jika hal tersebut dilakukan maka Rusia akan turun tangan membantu Palestina. Unggahan tersebut telah dibagikan sebanyak hampir 3.000 kali dan mendapat lebih dari 17.000 like.
Faktanya potongan klip tersebut diambil beberapa bulan lalu di mana Putin berbicara terkait ancaman bom nuklir, tanpa sedikit pun menyebut Amerika, Palestina apalagi Gaza. Terjadi misleading pada subtitle yang diberikan. Potongan klip tersebut bisa diakses di Youtube dengan subtitle yang benar.
Framing Jahat
Unggahan lain oleh Jim Ferguson, seorang influencer media sosial asal Inggris, mengklaim menunjukkan tentara Hamas menggunakan senjata AS yang “ditinggalkan di Afghanistan untuk menyerang Israel”.
Namun menurut Catatan Komunitas, foto tersebut menunjukkan tentara Taliban 2021, bukan Hamas. Unggahan Fergusson, yang masih tersedia di platform tersebut, telah ditonton lebih dari 10 juta kali.
Tak ketinggalan, gambar yang dikatakan sebagai Shani Louk, influencer keturunan “Israel”-Jerman yang tengah menghadiri festival musik Supernova, diklaim telah ditelanjangi, diperkosa, lalu dibunuh oleh Hamas viral di X, dibagikan jutaan kali oleh berbagai akun, yang mana narasi dan gambar tentang Louk dijadikan framing untuk menunjukkan betapa tidak manusiawinya Hamas.
Setelah diliat di akun media sosial yang bersangkutan, tampak jika Shani Louk memang terbiasa berpakaian setengah telanjang, termasuk pakaian yang dia kenakan ketika menghadiri festival, hanya mengenakan bra dan short. Hal ini menampik bahwa Louk telah ditelanjangi oleh pejuang Hamas.
Dan fakta terbaru telah diungkapkan oleh Ibu Louk bahwa putrinya masih hidup dan tengah dirawat di salah satu rumah sakit di Gaza.
Dina Sadek, peneliti Timur Tengah di DFRLab Dewan Atlantik, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa narasi palsu lainnya yang dilihat timnya tersebar di platform adalah bahwa Hamas telah menerima bantuan dari dalam “Israel” untuk merencanakan serangan itu.
“Ada rekaman lama dan daur ulang yang beredar secara online yang jumlahnya sangat banyak dan menyulitkan pengguna untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak,” kata Sadek.
Disinformasi seputar serangan itu juga menyebar antar platform, tambah Sadek. “Beberapa video TikTok masuk ke X, dan beberapa rekaman yang pertama kali muncul di Telegram kemudian dilihat di X,” katanya.
“Banjirnya orang-orang yang menyebarkan kebohongan dan kebencian mengenai krisis “Israel”-Gaza dalam beberapa hari terakhir, dikombinasikan dengan algoritma yang secara agresif mempromosikan konten ekstrem dan meresahkan, adalah alasan mengapa media sosial menjadi tempat yang buruk untuk mengakses informasi yang dapat dipercaya,” Imran Ahmed, CEO Pusat Penanggulangan Kebencian Digital, mengatakan kepada Al Jazeera.
“Perusahaan teknologi telah membuktikan diri mereka tidak tertarik, bahkan sepenuhnya terlibat, dalam penyebaran propaganda berbahaya.” (zarahamala/arrahmah.id)