(Arrahmah.com) – Sebagai corong propaganda, media massa kerapkali memunculkan isu yang “biasa” dan kemudian memolesnya menjadi sebuah isu yang “tak biasa”. Kaidah bad news is the good news benar-benar telah mendarah daging pada sebagian besar jurnalis. Bahkan mereka-mereka adalah sebagian yang mengatakan dirinya sebagai jurnalis independen yang berorientasi pada pemberitaan masalah secara objektif. Sensitivisme para jurnalis ini akan keobjektivan berita serentak mati total ketika berhubungan dengan beberapa sisi Islam yang fundamental. Yah, dengan Islam. Rasa sensitivitas semu itu seketika berubah menjadi rasa sensitif yang dimuati rasa agitasi dan kebencian tingkat tinggi. Jika Islam sebagai objek masalah, berkali-kali berita yang muncul adalah berita yang jauh dari fakta, dikemas secara berlebihan, tendensitas tingkat tinggi dan bermacam prasangka argumentatif yang dikumpulkan sedemikian rupa sebelum akhirnya dimuntahkan dalam bentuk berita aktual sampah. Berita yang kemudian ditelan mentah-mentah oleh lebih dari 100 Juta penduduk Indonesia.
Media mampu menggiring sebuah opini menjadi sebuah berita besar demi keberlangsungan berbagai macam kepentingan tertentu, dan tentu saja untuk Islam, media massa memiliki sebuah misi ekslusif yang senantiasa tak pernah pudar dalam rangka merakit sebuah pemahaman baru mengenai Ontologi Islam dalam berbagai versi pengertiannya. Hal-hal substansif mendasar kerapkali menjadi objek sasaran empuk untuk meruntuhkan eksistensi sebuah objek yang dituju. Dalam kaitannya dengan hal ini, media massa selalu berupaya bertindak over reactive demi keberhasilan misinya. Satu hal yang secara sadar atau tidak, media selalu memiliki satu hal substantive primary yaitu tentang keberpihakan media (stand of view). Sejatinya, tidak ada media yang benar-benar netral. Sisi objektivisme sebuah media maupun seorang jurnalis hanya berdasarkan kebenaran relatif dari sisi sudut pandang kebenaran yang ia yakini. Inipun juga menunjukkan keberadaan objektivitas menjadi rapuh sebelum melakukan komparasi menyeluruh pada dua pihak maupun berbagai data yang saling bertaut diametral, yaitu pro dan kontra.
Islam sebagai sebuah Din, keseluruhan sempurna berbagai aspek yang menyangkup falsafah hidup, interaksi sosial, keterikatan religi terhadap Tuhan, sistem politik dan hukum pemerintahan membuat berbagai pihak menyerukan perlawanan intens kepada agama ini. Melihat sisi efektivitas media massa sebagai alat propaganda yang memberikan efek maksimal, sudah tentu media massa menjadi alat penopang utama ide-ide penghancuran agama Islam (deislamisasi). Sejak masa orde baru hingga masa transisi saat ini, Islam tak pernah luput dari berbagai macam serangan media massa. Berbagai aspek Islam mulai dibesar-besarkan menjadi sebuah berita buruk dan berproses menjadi pencitraan yang negatif kepada agama ini. Lihat kembali media-media sekuler yang ada di Indonesia. Hampir semuanya saling berlomba mendiskreditkan sisi-sisi terkecil maupun sisi-sisi terbesar Islam. Penerapan Huddud dalam perda syari’ah di Aceh, penafsiran kata I’dad-Jihad-Fa’i-Khilafah-amar ma’ruf nahi munkar, toleransi dan keberagaman serta hal-hal lain diselewengkan dari pengertian dan arti yang sebenarnya. Lihat bagaimana pelaku syari’at poligami menjadi lebih hina daripada pelaku zina dan lain sebagainya. Aspek-aspek yang memiliki kekuatan dan “Ruh” Islam dijadikan seakan menjadi momok yang menakutkan bagi setiap orang, tak terkecuali bagi muslim itu sendiri secara komunal.
Tak berlebihan jika pengangkatan suatu Isu didasari oleh suatu kepentingan, bisa jadi merupakan pengalihan Isu, proyek sistematis stigmatisasi maupun yang lain. Namun yang pasti, semua pena itu tidak tergores kecuali untuk menyayat kebenaran Islam. Jauh ke belakang, Yahudi sendiri telah mencanangkan program untuk mengaburkan Al Haq. Dalam Protocol of The Learned Elders of Zion, bab ke-12, tokoh-tokoh zionisme mencantumkan program besar mereka untuk mengendalikan media massa. Hal ini bukan hanya milik Yahudi semata, melainkan juga dimiliki oleh agama-agama lain diluar Islam. Malcom X (1925-1965), seorang tokoh muslim Afro-American dan aktivis HAM mengatakan pandangannya tentang media, “If you’re not careful, the newspaper will have you hating the people who are being oppressed and love the people who are doing the oppressing“. (Jika kamu tak berhati-hati, media massa akan membuatmu membenci orang yang ditindas dan mencintai orang-orang yang melakukan penindasan). Maka jangan heran jika pada akhirnya para mujahidin di setiap tempat yang berjuang membela kehormatan agama dan saudaranya menjadi dibenci sementara disisi lain para pemimpin Thawagit seperti Obama, Nixon, maupun Ansyad disanjung dan di idolakan oleh muslim sekalipun.
Inilah yang membuat kaum muslimin perlu untuk mengurai kembali “keberpihakan”nya selama ini terhadap berita yang ia terima dan terhadap media yang memberitakannya. Kebenaran itu sejatinya bukan tergantung dari siapa yang membawanya, melainkan dari nilai orisinalitas kebenaran itu sendiri. Namun bisa saja orisinalitas kebenaran itu tak berharga jika tak pernah di angkat. Adolf Hitler (1889-1945), mengatakan bahwa kebohongan yang di ulang-ulang secara otomatis akan berubah menjadi sebuah kebenaran yang diyakini. Dari penjabaran di atas, bukan berarti kita harus membenci semua media sekuler dan bersikap antipati terhadap media massa yang ada. Dengan media, seorang yang cerdas pun bisa menjadi bodoh terhadap fakta dan realita yang terjadi terutama dalam menghadapi makar-makar yang dilontarkan ke khalayak umum. Sementara itu, bagaimana mungkin jika ia memutuskan untuk tidak menyentuh media sama sekali? Tentu yang demikian merupakan tindakan yang bisa dibilang lebih dungu. Kesimpulannya, yang kita perlukan hanya satu rangkaian kalimat, “dimana kita berpihak, dimana kita mengambil sudut pandang, dan bagaimana kita bersikap”. Cobalah selalu berfikir Out of The Box. Wallahu a’lam bis showwab
Oleh: Afandi Satya .K
Publikasi Kajian Divisi KASTRAD (Kajian Strategis Dakwah)
Lembaga Dakwah Fakultas – FORMASI #23
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya – Universitas Indonesia