GAZA (Arrahmah.id) – Sejumlah media internasional membahas perang ‘Israel’ di Gaza, dengan beberapa menyebutkan bahwa memberantas Hamas membutuhkan waktu setahun atau bahkan bertahun-tahun, sementara warga sipil terus berjuang untuk mendapatkan makanan.
Koran ‘Israel’ The Jerusalem Post mengutip sumber militer yang menyatakan bahwa menghancurkan Hamas sepenuhnya “mungkin membutuhkan waktu satu tahun atau lebih”. Sumber tersebut menambahkan bahwa fokus saat ini adalah “para pejuang yang tersisa di kota Rafah”, dengan perkiraan Hamas masih memiliki “hingga 25.000 pejuang”, yang memperpanjang proses penghancuran mereka.
Di Yedioth Ahronoth, penulis Michael Milstein menyatakan bahwa pencapaian militer ‘Israel’ di Gaza “terkikis karena keteguhan mereka berperang tanpa strategi yang jelas”. Menurutnya, hal ini sebagian disebabkan karena membahas strategi perang “akan menimbulkan dilema sulit dan memaksa keputusan yang bisa menggoyang stabilitas pemerintahan Benjamin Netanyahu”. Dia menekankan bahwa “tidak ada tanda-tanda Hamas akan menyerah”.
Perjuangan untuk Makanan
The Washington Post memfokuskan pada pernyataan Sekjen PBB Antonio Guterres yang menolak kontrol ‘Israel’ atas bantuan ke Gaza. Koran itu menyebut pidato Guterres tentang Gaza yang berubah menjadi “ladang pembunuhan” sebagai “kritik keras”, dan melaporkan bahwa warga Gaza “berjuang untuk menemukan makanan”. Dokter-dokter juga terpaksa menolak merawat pasien karena kurangnya pasokan medis.
Guterres menegaskan bahwa ‘Israel’ harus memikul tanggung jawabnya sebagai negara pendudukan, dan PBB tidak akan terlibat dalam pengaturan apa pun yang tidak menghormati hukum internasional dan hak asasi manusia.
Dilema Yaman
Dalam analisis tentang operasi militer AS terhadap Ansarullah (Houtsi) di Yaman, Ramon Marks di The National Interest menulis bahwa Houtsi “telah menjerumuskan AS ke dalam dilema strategis, meninggalkan mereka tanpa pilihan yang efektif”. Artikel itu menyatakan bahwa konflik yang berkepanjangan merusak kredibilitas Washington, yang “bisa mencapai titik di mana mereka hanya memiliki dua pilihan: eskalasi lebih lanjut atau menghadapi kekalahan seperti di Afghanistan”.
Kubangan Tarif Dagang
Foreign Affairs mempublikasikan artikel Adam Posen yang menyatakan bahwa kekalahan dalam perang dagang lebih mudah ditelan, dan ekonomi AS akan menderita lebih besar daripada Cina. Posen menilai kebijakan tarif Trump sebagai “eksperimen ekonomi yang akan segera berubah menjadi kubangan”, merusak kepercayaan terhadap kredibilitas dan kompetensi AS.
The Guardian dalam editorialnya menyatakan “tidak ada pemenang dalam perang dagang Trump”, menggambarkannya sebagai “permainan bertahan siapa yang bisa menahan lebih banyak penderitaan”. Koran itu menambahkan bahwa Cina “akan terganggu oleh tarif tinggi, tetapi tidak akan sepenuhnya sedih menyaksikan kemunduran hegemoni AS”.
Sementara itu, The Washington Times melaporkan bahwa pemimpin Partai Demokrat sebelumnya pernah mendukung tarif balasan terhadap Cina karena kebijakan dagangnya yang tidak adil, termasuk Nancy Pelosi (1999) dan Bernie Sanders (2008). (zarahamala/arrahmah.id)