JAKARTA (Arrahmah.com) – Rencana pemerintah untuk memungut pajak dari jasa pendidikan atau instansi sekolah mendapat penolakan dari mayoritas anggota DPR RI. Hingga kini, sebanyak tujuh dari sembilan fraksi yang ada di DPR menolak rencana tersebut.
Adapun ketujuh fraksi tersebut berasal dari Partai Gerindra, PKS, PKB, Partai Golkar, PDIP, Partai NasDem, dan Partai Demokrat
Menurut para anggota dewan, rencana pemerintah memungut PPN dari jasa pendidikan atau sekolah tidak konstitusional atau tidak sesuai dengan amanat Pasal 31 Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
Hal ini diungkapkan oleh Himmatul Aliyah, salah seorang anggota Komisi X DPR dari fraksi Partai Gerindra. “Ini tentu tidak etis sekaligus tidak konstitusional,” kata Aliyah, sebagaimana dilansir CNNIndonesia.com.
Senada dengan Aliyah, Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi PKS Abdul Fikri Faqih mengaku heran wacana tersebut bisa muncul. Menurutnya, konstitusi menekankan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara, sesuai pasal 31 UUD 1945.
“Jadi tugas negara membiayai Pendidikan rakyat, bukan sebaliknya rakyat membiayai Pendidikan dan dipajaki pula,” kata Fikri.
“Wacana ini telah mencederai cita-cita pendiri bangsa kita, yang tertulis jelas dalam preambule UUD 1945, yakni tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” imbuhnya.
Adapun Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda dari Fraksi PKB menyatakan bahwa rencana pemerintah mengenakan PPN terhadap jasa pendidikan berpotensi memberikan dampak serius bagi masa depan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, salah satunya biaya pendidikan akan semakin mahal.
Menurutnya, sektor pendidikan masih membutuhkan uluran tangan pemerintah karena keterbatasan sarana prasarana serta potensi ekonomi. Ia pun menyarankan penerapan sistem subsidi silang seperti universal service obligation (USO) di dunia pendidikan untuk memeratakan akses pendidikan.
“Dengan sistem ini sekolah-sekolah yang dipandang mapan akan membantu sekolah yang kurang mapan. Dengan demikian kalau pun ada potensi pendapatan negara yang didapatkan dari sektor pendidikan maka output-nya juga untuk pendidikan. Istilahnya dari pendidikan untuk pendidikan juga,” kata Huda.
Selanjutnya, Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar Hetifah Sjaifudian menilai rencana pemerintah memungut PPN dari jasa pendidikan atau sekolah tidak tepat.
“Kalau menurut saya memang kurang tepat. Memang mungkin pemerintah ingin menambah pemasukan untuk membiayai pembangunan, tapi sebaiknya jangan dari sektor pendidikan,” ujarnya.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP Putra Nababan juga menolak wacana pemerintah memungut PPN dari jasa pendidikan atau sekolah.
Ia menjelaskan bahwa sekolah bukan sebuah objek usaha yang harus dipungut pajak. Oleh sebab itu, ia menentang wacana pemerintah memungut pajak dari sekolah.
“Institusi sekolah itu kan bukan objek usaha, justru adalah satu institusi kawah candradimuka untuk menghasilkan anak bangsa yang berkualitas,” ungkap Putra.
Wakil Ketua Fraksi NasDem DPR Willy Aditya menyebut rencana pemerintah memungut PPN dari jasa pendidikan atau sekolah sangat tidak bijak karena dilakukan di tengah situasi masyarakat sedang berjuang menghadapi situasi ekonomi yang masih terdampak pandemi Covid-19.
“Perbaikan regulasi itu untuk menaikan kepatuhan dan kemudahan menunaikan pajak. Sangat tidak bijak menaikan tarif pajak di saat masyarakat sedang berjuang keras untuk mempertahankan sumber dan nilai pendapatannya,” kata Willy.
Adapun Wakil Ketua Komisi X DPR Fraksi Demokrat Dede Yusuf mengatakan bahwa belum ada keputusan terkait wacana PPN jasa pendidikan. Namun, ia menyebut pimpinan Komisi X dan XI sepakat akan menolak wacana itu.
“Belum [semua anggota menolak] karena kami sedang rapat anggaran dengan beberapa kementerian dan lembaga, tapi pimpinan sih sepakat ini kita tolak,” ucap Dede, pada Jumat (11/6/2021).
Sebelumnya, pemerintah berencana untuk mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk beberapa barang dan jasa. Wacana tersebut tertuang dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Dalam draf tersebut beberapa barang yang akan dikenakan pajak adalah sembako, seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, hingga gula konsumsi.
Kemudian, pemerintah juga menambah objek jasa baru yang akan dikenai PPN. Di antara jasa tersebut adalah jasa pendidikan atau sekolah, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, dan jasa asuransi.
Selain itu, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa angkutan udara dalam dan luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos juga akan dikenakan PPN. (rafa/arrahmah.com)