NOUAKCHOTT (arrahmah.com) – Parlemen Mauritania mendesak Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menuntut para pejabat “Israel” atas serangan terbaru ke Jalur Gaza. Mereka menilai, aksi itu merupakan kejahatan genosida terburuk.
Mohamed Ould Rzeizime, seorang anggota parlemen dari partai Union for the Republic yang berkuasa, mengatakan, majelis nasional beranggotakan 157 orang dengan suara bulat mengadopsi resolusi tidak mengikat tersebut.
“Majelis nasional menganggap agresi Zionis yang sedang berlangsung terhadap rakyat Palestina sebagai salah satu kejahatan genosida terburuk,” demikian bunyi resolusi yang dirilis Al Arabiya News pada Sabtu (22/5/2021).
Rzeizme mengungkapkan, ICC harus menuntut para pejabat Israel yang terlibat dalam agresi ke Gaza. Mauritania memutuskan hubungan diplomatik dengan “Israel” pada 2009.
Jaksa ICC Fatou Bensouda telah menyuarakan keprihatinan atas meningkatnya aksi kekerasan terbaru yang dilakukan “Israel” dan kelompok perlawanan Palestina di Gaza.
Dia menyebut, kejahatan mungkin telah dilakukan dalam serangkaian kejadian tersebut.
“Saya sangat prihatin dengan meningkatnya kekerasan di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, serta di dalam dan sekitar Gaza, dan kemungkinan terjadinya kejahatan berdasarkan Statuta Roma,” kata Bensouda lewat akun Twitter pribadinya pada 12 Mei lalu.
Dia mengungkapkan, ICC akan menyelidiki semua sisi, fakta, dan bukti yang relevan dengan penilaian apakah ada tanggung jawab pidana individu berdasarkan Statuta Roma.
“Kantor saya akan terus memantau perkembangan di lapangan dan akan memperhitungkan masalah apa pun yang berada dalam yurisdiksinya,” ujarnya.
Pada awal Maret lalu, Bensouda mengumumkan, ICC akan membuka penyelidikan resmi atas dugaan kejahatan perang yang terjadi di wilayah Palestina. Selain “Israel”, kelompok perlawanan Palestina bakal turut diinvestigasi.
Penyelidikan terutama akan fokus pada perang Gaza tahun 2014. Selain itu, tewasnya para demonstran Palestina yang mengikuti aksi Great March of Return di perbatasan Gaza-“Israel” pada 2018 juga menjadi fokus ICC.
Bensouda mengatakan, keputusan membuka penyelidikan diambil setelah adanya pemeriksaan pendahuluan oleh kantornya selama hampir lima tahun.
“Selama periode itu, dan sesuai dengan praktik normal kami, kantor (jaksa penuntut ICC) terlibat dengan beragam pemangku kepentingan, termasuk dalam pertemuan rutin serta produktif dengan masing-masing perwakilan dari Pemerintah Palestina dan Israel,” ucapnya pada 3 Maret lalu.
Bensouda berjanji, penyelidikan bakal dilakukan secara independen, tidak memihak, dan objektif.
“Kami tidak memiliki agenda selain untuk memenuhi kewajiban hukum kami di bawah Statuta Roma dengan integritas profesional,” ujarnya. (hanoum/arrahmah.com)