Arrahmah.com – Pertolongan, ampunan serta taubat kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan dari kejelekan amal perbuatan kami. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, niscaya tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan-Nya. Sesungguhnya segenap pujian hanyalah milik Allah, Segala puji bagiNya…
Wa ba’du:
Sesungguhnya seutama-utama kewajiban atas seorang mu’min adalah keyakinannya, yaitu beriman secara mantap bahwa Allah telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita dan mencukupkan nikmat-Nya atas kita dengan dibangkitkannya serta diutusnya seorang rasul yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (Q.S. Al-Maidah 3).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Aku telah meninggalkan kalian atas hujjah yang terang, malamnya seperti siangnya, maka orang yang menyimpang dari hujjah (keterangan) tersebut setelahku pasti akan binasa.” (H.S.R. Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, hadits no. 5). Oleh karena itu bagi seorang mu’min yang menginginkan dan sedang mencari jalan keselamatan harus membatasi tingkah laku dan ibadahnya sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuknya melalui lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta tidak boleh ridha terhadap dirinya atau orang lain siapapun dia jika ada yang membuat syariat dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala atau menganggap sesuatu itu baik berdasarkan akalnya semata dan hawa nafsunya apa-apa yang tidak diizinkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Maka orang yang mencari kebenaran dan mencintai As-Sunnah dia tidak akan beramal dengan suatu amalan yang tidak diperbolehkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala baik perupa perayaan, atau peringatan, atau ibadah lainnya, dia hanya akan beramal dengan amalan yang ada keterangannya, lebih-lebih lagi jika perbuatan tersebut dilakukan dengan niat ibadah dan mendapatkan pahala. Dari sini kita dapat memahami ucapan ulama yang berbunyi : ” Segala macam ibadah dilakukan harus dengan tauqifiyyah”, yaitu harus berdasarkan nash dari Al-Qur’an atau As-Sunnah, tidak ada tempat bagi akal untuk membuat syariat atau mengatakan baik buruknya suatu perbuatan. Apabila engkau menginginkan dalil-dalil maka tidak terhitung banyaknya, di antaranya :
-
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (Q.S. Asy-Syura 10)
-
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikuti aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Q.S. Ali Imran 31)
-
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam agama kami ini, sesuatu yang tidak ada dasar daripadanya, maka dia itu pasti tertolak.” (H.S.R. Bukhari dan Muslim)
-
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Janganlah kalian mengada-adakan perkara-perkara yang baru dalam agama, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (H.S.R. Abu Daud dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud, hadits no. 3851).
Saya mohon agar anda berhenti sejenak memperhatikan ucapan yang sangat teliti, diucapkan bukan berdasarkan hawa nafsu tetapi berasal dari wahyu, yaitu ….. (karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat), sungguh jelas bagimu bahwa kata “setiap” termasuk dari ucapan-ucapan yang mempunyai arti umum, mencakup segala macam bid’ah tanpa terkecuali.
-
Ucapan Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu: “Ikutilah kalian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan janganlah kalian berbuat bid’ah, maka itu cukup bagimu.”
Akhi Mu’min…
Apabila dalil-dalil di atas yang merupakan pemahaman aqidah telah engkau yakini secara mantap dan diterima dengan benar maka engkau dapat menilai setiap ibadah baik dalam bentuk perkataan atau amalan berdasarkan standar ini, apakah dia itu disyariatkan atau merupakan suatu hal yang diada-adakan apakah dia itu sunnah atau bid’ah. Kita ambil contoh perayaan memperingati maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kecintaan kita, imam, teladan, dan pemimpin kita ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala yang lurus, penutup para nabi dan tuan para rasul, pemimpin orang-orang yang mempunyai wajah cemerlang (merupakan keistimewaan umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa wajah-wajah mereka cemerlang di hari akhir dikarenakan bekas air wudhu’) yang diutus sebagai imam dan rahmat bagi seru sekalian alam.
Dan kami akan bahas masalah ini dengan adil dan jujur terlepas dari hawa nafsu dan segala ketetapan yang dibuat manusia pada masa lalu dan menimbangnya dengan timbangan syariat serta menilainya berdasarkan kitab Allah subhanahu wa ta’ala dan sunnah nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda: “Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang diada-adakan, dan setiap sesuatu yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Hadits shahih riwayat Muslim)
Beliau juga telah mewasiatkan kepada kita melalui haditsnya agar kita berpegang teguh dengan petunjuk sebaik-baik generasi dan sebersih-bersihnya, beliau bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka.” (H.S.R Bukhari dan Muslim). Dan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala kita memohon agar memperlihatkan kepada kami bahwa yang haq itu haq dan memberinya kemampuan untuk mengikutinya dan memperlihatkan kepada kami bahwa yang batil itu batil dan memberinya kemampuan kepada kami untuk menjauhinya.
Awal Mula Berkembangnya Peringatan Maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah (11\172) bahwa Daulah Fathimiyyah ‘Ubaidiyyah nisbah kepada ‘Ubaidullah bin Maimun Alqadah Alyahudi yang memerintah Mesir dari tahun 357 H-567 H. Merekalah yang pertama-tama merayakan perayaan-perayaan yang banyak sekali diantaranya perayaan Maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Keterangan ini ditulis juga oleh Al-Maqrizy dalam kitabnya Al- Mawa’idz wal I’tibaar (1\490), dan Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i mufti Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam fiima Yata’allaqu bissunnah wal Bid’ah minal Ahkam [halaman 44- 45], dan Syaikh ‘Ali Mahfudz menyetujui mereka dalam kitabnya yang baik Al-Ibdaa’ fii Madhaarr Al-Ibtidaa’ [halaman 251] dan selain mereka masih banyak lagi. Jadi yang pertama-tama mensyariatkan perayaan ini mereka adalah orang-orang Zindiq (menampakkan keislaman untuk menyembunyikan kekafiran) Al-‘Ubaidiyyun dari Syi’ah Rafidhah keturunan Abdullah bin Saba Al-Yahudi. Mereka tidak mungkin melakukan yang demikian karena cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi karena ada maksud lain yang tersembunyi.
Hukum Islam Dalam Peringatan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Sebagaimana kita ketahui bahwa segala kebaikan didapat dengan mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tiga generasi terbaik (Shahabat, tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in) dan barangsiapa yang mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara beribadah yang belum pernah dilakukan pada masa yang terbaik tersebut maka ibadahnya tertolak, ia menanggung dosanya meskipun dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. Dan peringatan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana engkau ketahui wahai saudaraku:
Belum pernah dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga Khulafa Ar-Rasyidin dan selain mereka dari para shahabat serta para Tabi’in yang mengikuti para shahabat dengan kebaikan yang merupakan generasi terbaik, dan mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang As-Sunnah dan paling sempurna cintanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan paling depan dalam mengikuti syariatnya, seandainya peringatan maulid itu baik niscaya mereka akan mendahului kita untuk memperingatinya.
Sebagaimana engkau ketahui yang pertama-tama melaksanakannya orang-orang Zindiq masa pemerintahan Fathimiyyah di abad ke-empat hijriyyah.
Menyerupai orang-orang Nashrani yang memperingati kelahiran Al-Masih ‘Alaihis Salam, padahal kita telah dilarang untuk menyerupai mereka dan meniru mereka dalam hari raya mereka.
Sesungguhnya merayakan Maulid Nabi dan yang semisalnya dapat dipahami bahwa Allah subhanahu wa ta’ala belum menyempurnakan dien kepada umat ini, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam belum menyampaikan apa yang seharusnya dilakukan oleh umat, dan generasi yang utama-belum sampai kepada pengagungan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mencintainya, dan memuliakannya dengan sebenar-benarnya, berbeda dengan orang-orang belakangan ini. Pasti tidak ada yang mengatakan atau meyakini yang demikian kecuali orang Zindiq yang keluar dari dien Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah Allah membangkitkan suatu nabi kecuali pasti atasnya untuk menunjukkan umatnya tentang kebaikan apa yang beliau ketahui kepada mereka.” (H.S.R. Muslim).
Dan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seutama-utama dan sesempurna-sempurna serta penutup para nabi, jika perayaan Maulid Nabi merupakan bagian dari dien niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan menjelaskannya kepada umat atau melakukannya semasa hidupnya atau para shahabat radliyallahu ‘anhu akan melakukannya. Tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya karena kerendahan hati beliau, ini menghujat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam karena konsekuensinya bahwa beliau telah mengurangi dan menyembunyikan sesuatu dari kebaikan, hal ini mustahil terjadi pada diri beliau, juga berarti menghujat para shahabat radliyallahu ‘anhum yang telah Allah subhanahu wa ta’ala puji, karena konsekuensinya bahwa mereka mengurangi suatu amalan yang penuh berkah, berbeda dengan orang sekarang yang lebih pintar dari mereka.
Hudzaifah ibnul Yaman radliyallahu ‘anhu berkata: “Setiap ibadah yang belum pernah dilakukan oleh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka janganlah kalian kerjakan, sesungguhnya generasi awal tidak me ninggalkan bagi generasi yang akhir perkataanpun, maka bertakwalah kepada Allah wahai para qurraa’ dan ambillah jalan orang-orang sebelum kamu.
Memeriahkan malam maulid bukan merupakan bukti kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berapa banyak yang engkau lihat dan dengar tentang orang yang memeriahkan malam perayaan tersebut, mereka adalah sejauh-jauh orang dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang fasiq dan sering berbuat dosa seperti bermuamalah dengan riba,mengentengkan sholat, menyia-nyiakan sunnah-sunnah yang zhahir dan yang batin dan segala perbuatan keji dan yang membinasakan.
Bukti kecintaan yang benar kepada sayyidina, habibina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang diinginkan Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu …” (Q.S. Ali Imran 31).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda: “Semua umatku masuk jannah (surga) kecuali yang enggan” Mereka (para shahabat radliyallahu ‘anhum) berkata: “Siapa wahai rasulullah yang enggan?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Barangsiapa yang taat kepadaku maka ia masuk jannah (surga) dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka dia telah enggan.” (H.S.R. Bukhari).
Maka kecintaan yang benar kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah denganmengikutinya dan berpegang teguh dengan petunjuknya baik secara zhahir maupun batin, dan berjalan di atas jalannya dan mencontoh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam penampilan, perkataan, dan perbuatannya, dalam ciri-cirinya dan akhlaknya, sebagaimana telah dikatakan: “Apabila cintamu benar niscaya engkau taat kepadanya. Sesungguhnya orang yang cinta taat kepada yang dicintai.”
Selain itu kebanyakan dari ulama masa sekarang menyebutkan kerusakan-kerusakan yang besar dan kemungkaran-kemungkaran yang terjadi pada perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan perayaan lainnya, bahkan orang-orang yang ikut serta di dalamnya dan menghadirinya kemudian Allah subhanahu wa ta’ala beri petunjuk dia sehingga menjauhi dan meninggalkannya mengakui akan segi negatif dari perayaan-perayaan bid’ah ini.
Di antaranya adalah ucapan-ucapan syirik dan berlebih-lebihan dalam memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bentuk syair-syair meminta pertolongan dan bantuan dari beliau, dan keyakinan bahwa beliau mengetahui hal yang ghaib, sebagaimana terdapat dalam qasidah Al-Bushairi yang dijadikan dasar dari malam-malam itu: “Wahai semulia-mulia makhluk, tidak ada yang dapat saya mintai pertolongannya kecuali engkau pada saat menghadapi segala musibah. Sesungguhnya kedermawananmu meliputi dunia dan seisinya. Dan ilmumu meliputi ilmu Lauh (Mahfuzh) dan Al-Qalam.”
Kemungkaran yang lainnya adalah campur baurnya laki-laki dan wanita, menggunakan musik, minuman keras, memandang (wanita yang bukan mahram dan) anak muda yang belum tumbuh jenggot, mengkultuskan para wali, dan masih banyak kemungkaran lainnya tidak terhitung dan sukar untuk dibatasi dikarenakan adanya perbedaan antara negeri yang satu dengan negeri yang lain, bahkan sebagian dari mereka lebih mengutamakan malam itu dari malam Lailatul Qadar, sehingga mereka giat serta bersungguh-sungguh beramal pada malam tersebut tidak seperti amalan dia pada malam Lailatul Qadar, juga sebagian di antara mereka yang mengkafirkan orang-orang yang tidak ikut perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hari dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan pada hari itu juga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam wafat yaitu hari yang ke duabelas dari bulan Rabiul Awwal sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab sirah, bukankah sedih pada waktu itu lebih utama dari bergembira, maka secara akal mestinya menjadikan hari itu sebagai hari berkabung lebih pantas daripada sebagai hari raya (nyatanya dalam dien tidak ada hari berkabung, karena memang dien bukan dengan akal).
Syubhat dan Bantahannya
Orang-orang yang merayakan maulid mempunyai alasan-alasan dan dalil-dalil, yang paling menonjol adalah:
-
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat- Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”(Q.S. Yunus 58).
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk bergembira dengan rahmat, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebesar-besar rahmat, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiyaa’ 107)
Jawabannya:
Pengambilan dalil dengan ayat ini yang mereka kemukakan tidak pada tempatnya, dan penggunaan ayat yang tidak pada maksudnya, dan mereka menetapkan apa yang tidak ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang yang paling tahu tentang Al-Qur’an dan yang paling paham tentang sesuatu yang dikehendaki Allah subhanahu wa ta’ala dari nash-nash Al-Qur’an, pemahaman mereka menyimpang kaidah-kaidah syariah yang dipahami oleh As-Salaf Ash-Shalih dan seutama-utama generasi dalam memahami arti dan pengambilan istinbat dari Al-Qur’an, dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menyebutkan perkataan ulama salaf tentang makna dari ayat ini bahwa fadhlullah (karunia Allah) adalah Al-Qur’an sedangkan rahmat-Nya yang dimaksud adalah As-Sunnah.
-
Terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sampai di Madinah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan orang-orang Yahudi melakukan puasa Asy-Syura, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada mereka, mereka menjawab: “Dia itu hari di mana Allah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa maka kami puasa sebagai rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saya lebih berhak dari kalian terhadap Musa as “. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa padanya (pada hari Asy-Syura yaitu hari yang ke sepuluh di bulan Muharram) dan memerintahkan untuk puasa padanya. Mereka berkata nikmat yang mana lebih besar dari nikmat keluarnya Nabi rahmah ke dunia ini pada hari tersebut, dan dengan demikian sebagai rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas nikmat ini kita harus merayakannya.
Jawabannya:
Pengambilan dalil dengan hadits puasa hari Asy-Syura adalah pengambilan dalil yang batil dan qiyas yang rusak dikarenakan kita bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas nikmat diutusnya Nabi ini bukan atas kelahirannya, saya tambah lagi bahwa puasa hari Asy-Syura disyariatkan dan disukai berdasarkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau tidak mensyariatkan kepada kita untuk merayakan hari kelahirannya.
-
Apa yang dikeluarkan oleh Imam Baihaqi dari Anas ra bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meng-aqiqahi dirinya setelah kenabian, padahal kakeknya Abdul Muthalib telah meng-aqiqahi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari ke tujuh setelah hari kelahirannya, maka dapat diambil kesimpulan pengulangan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebagai rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas lahirnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rahmat kepada seluruh alam dan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut sekaligus sebagai syariat kepada umatnya untuk mencontoh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sesudahnya.
Jawabannya:
Imam Malik rahimahullah menjadikan hadits ini salah satu dari hadits-hadits yang batil sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rusyd dalam bab Aqiqah dari kitab “Al- Muqaddimaat Al-Mumahhadaat”, dan hadits ini telah dilemahkan oleh para ulama seperti Abdur Razaq dan Abu Daud dari Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dan Al-Bazzar rahimahullah dikarenakan lemahnya salah seorang rawi yang bernama Abdullah bin Al-Muhawwar, seumpama hadits ini shahih tetap tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
-
Urwah meriwayatkan bahwa ia berkata tentang Tsuwaibah bekas budak Abu Lahab yang dimerdekakan olah tuannya karena gembira dengan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian ia menyusui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bermimpi setelah matinya Abu Lahab bahwa ia di neraka, ketika ditanya tentang keadaannya beliau menjawab ia di neraka tetapi diringankan adzabnya setiap hari Senin karena ia telah memerdekakan Tsuwaibah karena gembira akan kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata: “Sikapnya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dilakukan oleh Abu Lahab seorang kafir penduduk neraka, maka lebih pantas lagi dilakukan oleh seorang muslim yang bertauhid yang gembira akan kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan berbuat semaksimal mungkin sesuai dengan kesanggupannya.
Jawabannya:
Hadits ini mursal (salah satu istilah untuk hadits yang lemah) sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari, begitu pula mimpi dalam tidur tidak bisa dijadikan hujjah, dan ini bertentangan dengan Al-Qur’an yang menyebutkan dalam ayat-ayatnya bahwa amal shalih yang dilakukan oleh seorang kafir tidak dapat memberi manfaat di hari akhirat. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amalitu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Q.S.Al-Furqan 23)
-
Mereka berkata bahwasanya perayaan maulid apabila tidak dikhususkan pada tanggal dua belas Rabiul Awwal atau dilaksanakan di luar bulan Rabiul Awwal atau tidak dikhususkan pada waktu-waktu tertentu maka boleh-boleh saja.
Jawabannya:
Ini pengakuan yang batil dan ucapan yang tertolak karena ibadah dan syariat itu adalah tauqifiyyah (harus berdasarkan nash baik dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah), tidak boleh kita beribadah dengan tata cara tertentu yang tidak terdapat dalam syariat meskipun dalam bentuk dzikrullah, atau membaca sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kenyatannya juga membuktikan bahwa perayaan maulid banyak dilakukan pada bulan Rabiul Awwal.
-
Sesungguhnya maulid itu pertemuan untuk berdzikir, shadaqah, memuji dan mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan perkara-perkara ini dituntut oleh syariat dan perbuatan yang terpuji, banyak keterangan-keterangan yang shahih menganjurkan hal-hal tersebut.
Jawabannya:
Benar, banyak hadits-hadits yang shahih menganjurkan untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, shadaqah, dan yang lainnya. Tetapi tidak ada satu keteranganpun yang menganjurkan untuk berkumpul secara khusus, dengan bentuk dan waktu yang khusus pula, begitu pula dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang biasa dibaca pada malam tersebut tidak ada asalnya dalam syariat dan tidak ada dalilnya dari wahyu, dan bait-bait syair yang dibacakan berisikan hal-hal yang berlebih-lebihan dan kebatilan di dalamnya.
-
Terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang puasa hari Senin, maka beliau menjawab kepadanya: “Dia itu hari di mana saya lahir dan pada hari itu pula wahyu diturunkan kepada saya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengagungkan hari Senin dikarenakan hari kelahirannya, kemudian mereka memilih hari kelahirannya yaitu pada tanggal dua belas Rabiul Awwal dengan mengagungkannya dan merayakannya.
Jawabannya:
Yang diminta pada hari Senin setiap seminggu sekali adalah puasanya, tidak lebih dari itu, maka mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan berpuasa di hari Senin saja, tidak terikat dengan tanggal tertentu, sedangkan mereka mengkhususkannya satu hari dalam setahun pada bulan Rabiul Awwal, ditambah lagi bahwa mereka tidak mengagungkan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berpuasa pada setiap hari Senin yang mempunyai banyak keutamaan, tetapi mereka mengagungkannya dengan makan dan minum dan menabuh rebana, ini sekurang-kurangnya, padahal sebagaimana telah diketahui olehmu bahwa ibadah itu adalah tauqifiyyah sehingga mengkhususkan hari tertentu untuk beribadah dan bertaqarrub (mendekatkan diri pada Allah subhanahu wa ta’ala) secara tertentu pula membutuhkan kepada dalil syar’i dan nyatanya tidak ada dalilnya atas perbuatan bid’ah tersebut. Dan jangan lupa pula sebagaimana telah kami sebutkan bahwa pada tanggal dua belas Rabiul Awwal adalah hari wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan terputusnya wahyu dari langit ini yang masyhur dari ulama Salaf. Maka katakanlah kepadaku demi Rabbmu apakah engkau merayakan wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau hari kelahirannya? Apakah mungkin menyatukan antara keduanya?
Penutup
Sesungguhnya saya yakin bahwa imanmu, ketaqwaanmu, ketaatanmu kepada kekasihmu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, penguatanmu terhadap syariatnya atas hawa nafsumu dan pendapatmu serta pendapat manusia, saya yakin bahwa hal itu semua mengatakan kepadamu :
“Janganlah kamu merayakan Maulid”
Semoga Allah memberi shalawat dan salam kepada Nabi kita dan keluarganya serta para shahabatnya sekalian.
Wallahu ta’ala a’lam bishshawab
(Maktab AK 56/arrahmah.com)