KHAN YOUNIS (Arrahmah.id) — Dalam kondisi pengepungan total dan agresi brutal yang dilancarkan oleh penjajah “Israel” di Jalur Gaza, ribuan pasien kanker menghadapi takdir tragis: berjuang melawan penyakit mematikan tanpa akses obat-obatan atau peluang untuk berobat ke luar negeri.
Satu-satunya rumah sakit yang saat ini masih melayani pasien kanker adalah Rumah Sakit Gaza Eropa di Khan Younis, wilayah selatan Gaza. Fasilitas ini kini menjadi tempat terakhir bagi para pasien yang terancam kehilangan nyawa akibat kurangnya obat, peralatan medis, dan layanan kesehatan dasar.
Di salah satu bangsal rumah sakit itu, Umm Samer duduk di sisi putranya, Samer Ashfour, seorang anak kecil yang menderita leukemia. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus. Tak ada pengobatan yang tersedia. “Anakku menderita kanker darah. Keadaannya sangat buruk, sistem imunnya sangat lemah dan tidak ada obat yang tersedia,” ucapnya sambil menahan tangis. Ia mengangkat suaranya, memohon bantuan kepada dunia internasional dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menyelamatkan anaknya satu-satunya.
Tak jauh dari tempatnya, Khalid Saleh, pasien kanker lainnya, berbicara dengan suara lemah. Ia adalah salah satu korban sistem kesehatan yang runtuh akibat agresi militer “Israel”. “Dulu kami dirawat di Rumah Sakit Turki-Palestina. Itu rumah sakit terbaik di Gaza, tapi sekarang hancur total. Pasien dipaksa pergi, dokter ditangkap, dan obat-obatan tidak tersedia lagi,” ungkapnya. Kini, ia berpindah ke Rumah Sakit Gaza Eropa, namun menghadapi keterbatasan ekstrem, dan tidak ada cara lain selain keluar dari Gaza—sesuatu yang tak mungkin dilakukan karena seluruh perlintasan telah ditutup sejak awal Maret lalu.
Kepala Departemen Onkologi Rumah Sakit Gaza Eropa, Dr. Musa As-Shobbah, menegaskan bahwa rumah sakit tersebut saat ini tidak memiliki stok obat kemoterapi dasar, obat pereda nyeri, maupun alat-alat vital. “Beberapa alat penting tidak lagi berfungsi. Banyak pasien kondisinya memburuk dari hari ke hari. Penutupan perlintasan oleh penjajah mencegah masuknya suplai medis dan menghalangi pasien untuk dirujuk ke luar negeri,” jelasnya kepada Anadolu Agency.
Kementerian Kesehatan Gaza pada Ahad (7/4) melaporkan bahwa 59% obat-obatan esensial dan 37% perlengkapan medis kini telah habis. Wakil Menteri Kesehatan, Dr. Yusuf Abu Rish, menyampaikan kepada pejabat kemanusiaan PBB bahwa sektor kesehatan Gaza telah memasuki fase krisis paling gawat dan bencana menyeluruh, di tengah genosida yang terus berlangsung.
Sejak agresi dimulai pada 7 Oktober 2023, “Israel” telah menghancurkan 34 dari 38 rumah sakit di Jalur Gaza. Hanya empat rumah sakit yang tersisa dengan kapasitas terbatas. Sebanyak 80 pusat kesehatan tak lagi berfungsi, dan 162 fasilitas medis lainnya hancur total.
Dengan dukungan penuh dari Amerika Serikat, “Israel” terus melakukan kejahatan genosida terhadap rakyat Gaza. Lebih dari 165.000 warga Palestina gugur atau terluka, mayoritas dari mereka adalah anak-anak dan perempuan. Sementara lebih dari 11.000 lainnya masih hilang di bawah reruntuhan.
Pada awal Maret lalu, tahap pertama dari kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan antara Hamas dan penjajah “Israel” telah berakhir. Namun, rezim Benjamin Netanyahu—yang kini diburu oleh Mahkamah Pidana Internasional—menolak melanjutkan tahap kedua yang mencakup penghentian perang dan penarikan penuh dari Gaza.
- (Samirmusa/arrahmah.id)