(Arrahmah.com) – Setelah Nabi Musa ‘alaihissalam wafat, Nabi Yusya’ bin Nun ‘alaihissalam membawa Bani Israil keluar dari padang pasir. Dia berjalan bersama Bani Israil menyeberangi sungai Yordania dan akhirnya sampai di kota Jerica, yang termasuk di antara kota yang paling kokoh pintu gerbangnya, paling tinggi bangunannya, dan paling banyak penduduknya.
Nabi Yusya’ mengepung kota tersebut selama enam bulan lamanya. Suatu hari, mereka menyerbu ke dalam seraya meniup terompet dan meneriakkan takbir secara serentak. Mereka pun berhasil menghancurkan pagar pembatas kota, kemudian memasukinya, lain mengambil harta rampasan yang mereka dapatkan di sana dan membunuh dua belas ribu pria dan wanita. Mereka juga memerangi sejumlah raja-raja (yang berkuasa). Mereka berhasil mengalahkan sebelas raja dari raja-raja yang berkuasa di Syam. Pengepungan itu terus berlangsung hingga sampai di Hari Jumat setelah Ashar. Maka tatkala matahari telah terbenam atau hampir terbenam, dan akan tiba Hari Sabtu yang telah dijadikan sebagai hari raya untuk mereka (yang di hari itu mereka dilarang untuk berperang) dan mereka akan memasuki waktu itu (padahal mereka masih dalam keadaan berperang), Nabi Yusya’ berkata kepada matahari, “Engkau diperintah (untuk beredar) dan aku pun diperintah (untuk menaklukkan kota ini). Ya Allah, tahanlah matahari itu untukku (agar tidak terbenam dulu).” Maka Allah menahan matahari (agar tidak terbenam) sampai dia berhasil menaklukkan negeri itu dan memerintahkan bulan agar tidak menampakkan dirinya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya matahari tidak pernah ditahan untuk seorang manusia kecuali untuk Yusya’, yakni pada malam-malam dia berjalan ke Baitul Maqdis (untuk jihad).” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan sanadnya sesuai dengan syarat al-Bukhari).
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada seorang Nabi dari Nabi-nabi (Allah) yang ingin berperang. Dia berkata kepada kaumnya, ‘Tidak boleh ikut bersamaku (dalam peperangan ini) seorang laki-laki yang telah menikah dengan seorang perempuan dan dia ingin menggaulinya tetapi dia belum sempat menggaulinya, begitu pula orang yang telah membangun rumah tapi atapnya belum selesai. Juga tidak boleh ikut bersamaku orang yang telah membeli kambing atau unta bunting yang dia tunggu kelahiran anaknya.’
Maka berangkatlah Nabi itu berjihad, dia sudah berada di dekat daerah yang dia tuju saat Ashar telah tiba atau hampir tiba. Maka dia berkata kepada matahari, ‘(Hai matahari), engkau tunduk kepada perintah Allah dan aku pun juga demikian. Ya Allah, tahanlah matahari itu sejenak (agar tidak terbenam).’ Maka Allah menahan matahari itu hingga Allah menaklukkan daerah tersebut. Setelah itu bala tentaranya mengumpulkan semua harta rampasan (di sebuah tempat), kemudian ada api yang datang menyambar tetapi tidak membakarnya, maka Nabi itu berkata, ‘Di antara kalian ada yang berkhianat, (masih menyimpan sebagian dari harta rampasan). Aku harap dari setiap kabilah ada seorang yang bersumpah padaku.’ Maka mereka pun datang (satu persatu) untuk disumpah. Tangan salah seorang dari mereka lengket pada tangan Nabi itu, maka Nabi itu berkata, ‘Di antara kabilah kalian ada orang yang berkhianat, maka hendaklah semua orang di kabilahmu bersumpah.’ Maka semua anggota kabilahnya disumpah. Tiba-tiba tangan Nabi itu lengket pada tangan dua atau tiga orang, maka Nabi itu berkata, Di antara kalian ada yang berkhianat. Kalian telah berkhianat.’ Lalu mereka pun mengeluarkan emas sebesar kepala sapi. Emas itu kemudian dikumpulkan dengan harta (rampasan lain yang telah dikumpulkan sebelumnya) di sebuah lapangan.
Tiba-tiba datanglah api menyambar dan melalapnya. Harta rampasan memang tidak pernah dihalalkan untuk umat sebelum kita. Hal itu karena Allah melihat kelemahan dan ketidakmampuan kita sehingga Allah menghalalkannya untuk kita.” (Diriwayatkan oleh Muslim secara sendiri).
Setelah Baitul Maqdis dapat dikuasai oleh Bani Israil, maka mereka hidup di sana dan di antara mereka ada Nabi Yusya’ yang memutuskan perkara di antara mereka dengan Kitab Allah, Taurat, sampai Allah mewafatkannya pada usia seratus dua puluh tujuh tahun, dan masa hidupnya setelah wafatnya Nabi Musa adalah dua puluh tujuh tahun.
Sumber: Kisah-Kisah Nyata, Ibrahim bin Abdullah al-Hazimi, Pustaka Darul Haq (kisahislam.net)
(fath/arrahmah.com)