TEPI BARAT (Arrahmah.com) – Pasar dan bisnis di Palestina tengah dibanjiri mata uang “Israel”, Shekel. Para ekonom memperingatkan kondisi itu bisa membahayakan ekonomi dan melumpuhkan sistem keuangan Palestina.
Masyarakat Palestina di Tepi Barat mayoritas menggunakan Shekel. Padahal Palestina sendiri memiliki mata uang yang berbeda dengan “Israel”.
Di “Israel” sendiri sudah mulai meninggalkan penggunaan uang fisik dalam bentuk kertas dan koin. Mereka mulai banyak menggunakan uang digital dalam bertransaksi. Namun di Tepi Barat, sebuah wilayah di bawah pendudukan militer “Israel” sejak 1967, uang tunai masih menjadi raja.
Tasir Freij, yang memiliki toko perangkat keras di Ramallah, mengatakan bahwa dia sekarang harus membayar komisi dua persen untuk menyetor uang kertas karena bank enggan menerimanya
“Ini adalah krisis dan kami merasakan dampaknya,” kata Freij dilansir dari AFP, Senin (18/10/2021).
Sebagian besar uang kertas “Israel” itu dibawa oleh puluhan ribu orang Palestina yang bekerja di dalam “Israel” atau pemukiman Yahudi di Tepi Barat. Para ahli dan pebisnis mengatakan penumpukan mata uang yang begitu besar berisiko melumpuhkan sistem keuangan Palestina.
Freij sendiri resah bahwa membeli barang dari luar negeri biasanya memerlukan konversi shekel ke mata uang asing, terutama dolar atau euro, tetapi banyaknya shekel di pasar telah memaksanya untuk menerima harga yang sangat tidak menguntungkan.
Otoritas Moneter Palestina (Palestinian Monetary Authority/PMA), yang berfungsi sebagai bank sentral di Tepi Barat, telah memperingatkan bahwa shekel kertas menumpuk karena tidak ada cara untuk mengembalikan mata uang itu ke “Israel”.
Gubernur PMA Firas Melhem mengatakan kepada AFP bahwa penumpukan uang tunai adalah masalah yang sangat mengkhawatirkan. Hal itu juga menimbulkan kendala bagi bank dan pelaku bisnis.
“Jika masalah ini tidak diselesaikan dengan cepat, pasar Palestina akan berubah menjadi tempat pembuangan shekel,” tambahnya.
Shekel ditetapkan sebagai mata uang resmi di wilayah Palestina sebagai hasil dari protokol ekonomi yang dikenal sebagai perjanjian Paris yang mengikuti Kesepakatan Oslo antara “Israel” dan Wilayah Palestina. Banyak yang telah berubah sejak perjanjian 1994 itu.
Karena mereka lebih bersandar pada transaksi digital, bank-bank Israel tidak lagi ingin menyerap kembali uang kertas yang terakumulasi di Tepi Barat tetapi tidak beredar dengan cepat melalui ekonomi “Israel”. (hanoum/arrahmah.com)