JAKARTA (Arrahmah.com) – Kekerasan sepertinya tidak serta merta ingin dihentikan oleh negara. Lihat saja kasus yang menimpa Putri Munawwaroh. Lantaran dituduh menyembunyikan DPO Nurdin M. Top, Putri Munawwaroh harus mengalami masa-masa sulit di dalam hidupnya, yaitu kekerasan fisik dan psikologi.
Mulai terjadinya penggerebekan Nurdin M. Top pada 17 September 2009, Putri mengalami kekerasan berupa tembakan pada pinggul kirinya dan tewasnya Adib Susilo, suaminya, di tangan Densus 88.
Tak berhenti di situ, Putri yang tertembak saat hamil harus menjalani penahanan dan pemeriksaan yang ketat berkaitan keberadaan dirinya di lokasi persembunyian Nurdin M. Top. Kekerasan ini pun masih berlanjut dengan penghilangan hak yang dimiliki Putri Munawwaroh berupa penangguhan penahanan dan hak untuk memberikan penyusuan kepada bayinya di tempat yang aman, serta terlindungi dari potensi tindak kekerasan.
Seperti yang dijelaskan di sela-sela persidangan Putri Munawwaroh di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh Ketua Yayasan Ilham, “Bayi dari Putri Munawwaroh masih berada di dalam tahanan Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok,” ujar Muhammad HS yang turut terlibat dalam advokasi kasus Putri Munawwaroh, Rabu (5/5).
Ia juga menyatakan, penahanan bayi Putri Munawwaroh sangat mencederai rasa keadilan, bagaimana mungkin seorang bayi yang tidak berdosa harus menanggung beban hukum yang tidak dilakukannya.
Mungkin masih hal yang wajar jika Putri Munawwaroh dikait-kaitkan oleh pihak Kepolisian ataupun Kejaksaan dalam kasus “terorisme” yang disangkakan kepadanya, sehingga Putri harus ditahan dan diadili. Namun, jika bayi tak berdosa harus ikut ditahan karena ia berada di tempat kejadian perkara ketika dalam kandungan, rasa keadilan kita memang harus diluruskan. [hidayatullah/arrahmah.com]