Ketika berita mengejutkan mengemuka akhir pekan lalu bahwa seorang pekerja bantuan Italia berusia 24 tahun yang diculik oleh Asy-Syabaab telah dibebaskan setelah 18 bulan ditahan di Afrika, orang-orang Italia sangat gembira, setelah berminggu-minggu mereka disuguhkan berita-berita mengenai virus corona.
Tetapi sejak saat ia turun dari pesawat pemerintah Italia pada Ahad (10/5/2020), dengan mengenakan hijab berwarna hijau -pakaian tertutup dari kepala hingga kaki yang dikenakan oleh Muslimah- ucapan selamat datang menjadi sangat dingin dan bahkan ada nada-nada permusuhan.
Masuk Islamnya Silvia Romano yang kini merubah namanya menjadi Aisyah, bersamaan dengan rumor bahwa Italia telah membayar uang tebusan untuk pembebasannya, membuka keran penghinaan di media sosial. Dia juga menghadapi ancaman, dalam sebuah episode baru yang memfokuskan perhatian pada komentar anti-migran dan anti-Islam yang dilepaskan di Italia selama 15 bulan ketika Matteo Salvini, pemimpin Partai Liga, menjabat sebagai menteri dalam negeri negara itu, sampai dia digulingkan musim gugur yang lalu.
Sejak Senin, polisi telah berpatroli di jalan Milan di mana Aisyah tinggal, dan seorang jaksa penuntut Milan telah membuka penyelidikan atas serangan pesan mengancam yang ditujukan kepadanya di media sosial. Mereka mengklaim bahwa seolah-olah dia telah dibebaskan oleh penculiknya hanya untuk disandera -di rumahnya.
Aisyah yang belum berbicara di hadapan publik sejak kedatangannya, mengatakan di halaman Facebook-nya: “Saya memintamu untuk tidak marah membelaku. Yang terburuk telah berlalu bagi saya,” tulisnya dalam sebuah pos yang hanya dapat dilihat oleh teman-temannya. “Saya selalu mengikuti kata hati saya dan itu tidak akan pernah mengkhianati saya.”
Aisyah, yang pembebasannya dilaporkan terjadi Jumat pekan lalu, diculik pada November 2018 di kota Chakama, Kenya, dekat kota tempat ia menjadi sukarelawan bersama Afrika Milele, sebuah organisasi bantuan Italia yang namanya menyertakan kata Swahili untuk “selamanya”.
Surat kabar Italia, mengutip deposisi yang diberikan Aisyah kepada jaksa setelah kepulangannya, mengatakan bahwa ia telah diculik oleh kelompok yang berafiliasi dengan Asy-Syabaab. Jaksa biasanya menanyai korban setelah kasus-kasus seperti itu, seperti dilaporkan New York Times.
Dari Kenya, ia dibawa -kebanyakan berjalan kaki- ke Somalia, perjalanan kira-kira empat minggu, di mana ia jatuh sakit, menurut laporan beberapa media. Di Somalia, dia dipindahkan enam kali.
Dia membantah desas-desus bahwa dia dipaksa untuk menikahi salah satu penculikya dan bahwa dia hamil. Aisyah menegaskan bahwa dirinya memeluk Islam atas keinginan sendiri, pilihannya sendiri.
Kasus ini telah menimbulkan kritik bahwa beberapa organisasi non-pemerintah Italia tidak siap untuk menangani ancaman yang dihadapi pekerja di beberapa negara.
Sementara, pemerintah Italia belum mengonfirmasi laporan uang tebusan dalam kasus Aisyah. Berbicara pada program televisi Italia pada Selasa lalu, Menteri Luar Negeri Luigi Di Maio mengatakan bahwa ia “tidak mengetahui bahwa uang tebusan telah dibayarkan.”
Masuk Islamnya Aisyah juga dihubung-hubungkan oleh beberapa pihak dengan serial televisi “Homeland”, di mana Sersan Nicholas Brody, seorang marinir AS yang ditawan oleh Al Qaeda, masuk Islam dan kembali ke Amerika Serikat sebagai agen musuh.
Perdebatan tentang hal ini juga mencapai parlemen Italia. Media-media Italia meluncurkan kampanye kebencian terhadap pilihan Aisyah.
“Islami dan bahagia. Silvia yang tidak tahu berterima kasih,” ujar judul halaman depan harian sayap kanan Il Giornale pada hari Senin.
Surat kabar Vatikan, L’Osservatore Romano, menyeru warga Italia untuk lebih berbelas kasih.
Mengomentari pembebasan Aisyah setelah 535 hari dalam tawanan, “ketika hampir semua harapan telah hilang”, disebutkan bahwa alih-alih sukacita, pembebasannya menghasilkan “pengadilan ribuan hakim, hampir semua yang aktif di media sosial, mengeluarkan hukuman”, yang menurut harian tersebut merupakan “daftar horor”. (haninmazaya/arrahmah.com)