RAKHINE (Arrahmah.com) – Massa Buddha turun ke jalan-jalan dan melemparkan batu ke arah kantor dan rumah yang ditempati oleh para petugas bantuan kemanusiaan internasional di negara bagian barat Rakhine Myanmar, Kamis (27/3/2014), sehingga para petugas tersebut harus mengevakuasi staffnya dan beberapa diterbangkan keluar, yang lain berada di bawah perlindungan polisi di sebuah rumah, sebagaimana dilansir oleh ABC News, Kamis (27/3).
Tidak ada indikasi orang yang terluka dalam aksi kekerasan tersebut, yang dimulai di ibukota negara bagian, Sittwe, Rabu malam (26/3) dan dilanjutkan lagi pada Kamis pagi (27/3), dengan kerumunan orang yang marah membengkak dari beberapa ratus hingga menjadi lebih dari 1.000 orang.
Negara bagian Rakhine telah menyaksikan pemberontakan yang dilakukan oleh ekstrimis Budha yang telah membunuh 280 Muslim Rohingya selama 2 tahun terakhir, dan memaksa 140.000 lain untuk meninggalkan rumah mereka, mengungsi ke negara-negara tetangga, teraniaya, dan menjadi korban perdagangan manusia.
Polisi melepaskan tembakan peringatan untuk membubarkan kerumunan yang ingin menyerang petugas bantuan kemanusiaan yang berada di sana untuk membantu masyarakat Rohingya yang menderita.
Dikatakan bahwa kekerasan itu meletus ketika seorang petugas bantuan kemanusiaan mencabut bendera Budha yang didirikan di depan kantor kelompok mereka.
“Seorang anggota staf perempuan Eropa diduga mencabut bendera agama yang didirikan di dekat kantornya oleh masyarakat setempat sebagai sikap boikot terhadap sensus yang disponsori pemerintah,” Aung Kyaw Mra, seorang pejabat dari Partai Nasional Rakhine, kepada Reuters. Kantor-kantor beberapa lembaga PBB juga diserang, kata Aung Kyaw Mra.
“Meskipun polisi setempat, biarawan dan beberapa warga mencoba untuk membubarkan massa yang marah tersebut, mereka terus melemparkan batu. Jadi polisi melepaskan tembakan peringatan,” kata Letnan Kolonel Min Aung kepada kantor berita AFP, Kamis (27/3). Tidak ada yang terluka, ia menambahkan.
Kelompok-kelompok bantuan kemanusian telah memberikan pelayanan terhadap mereka warga Muslim Rohingya yang menderita, yang sekarang tinggal di kamp-kamp yang penuh sesak, di mana mereka memiliki sedikit akses ke makanan, pendidikan atau perawatan kesehatan. Petugas bantuan kemanusiaan selama berbulan-bulan telah menghadapi ancaman dan intimidasi dari Budha Rakhine,yang hal itu bisa menghambat kemampuan mereka untuk bekerja.
Bulan lalu, pemerintah menghentikan operasi lembaga bantuan Medecins Sans Frontieres (MSF), salah satu penyedia layanan kesehatan terbesar di negara bagian.
Ketegangan di Rakhine telah mencapai puncaknya menjelang sensus nasional bulan depan, yang merupakan sensus pertama dalam 30 tahun. Banyak ummat Buddha mengatakan bahwa anggota minoritas agama seperti Rohingya seharusnya tidak diperbolehkan untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai Rohingya, meskipun Rohingya tidak terdaftar di antara 135 etnis di Myanmar. Ada kategori “lainnya” di mana responden dapat menulis di dalamnya, karena mereka khawatir dengan menuliskan ‘Rohingya’ bisa melegitimasi keberadaan muslim Rohingya di negara Myanmar.
Hampir 300 orang massa Budha mengepung Malteser International, Rabu (26/3) menyusul laporan bahwa seorang wanita telah mencabut bendera Budha dari kantor kelompok tersebut, kata juru bicara negara bagian Rakhine Win Myaing.
Win Myaing menambahkan bahwa polisi harus menembakkan 40 sampai 50 tembakan peringatan untuk membubarkan massa tersebut.
Kekerasan berlanjut Kamis (27/3), dengan lebih dari 1.000 orang berjalan melalui menuju rumah yang ditempati oleh para petugas bantuan kemanusiaan internasional, melemparkan batu di rumah dan merusak beberapa tempat tinggal.
“Jika polisi menghentikan mereka di satu tempat, massa bergerak ke lokasi yang berbeda dan melemparkan batu ke arah rumah organisasi non pemerintah yang lain,” kata salah satu warga Sittwe Aung Than melalui telepon.
Polisi mengawal petugas bantuan kemanusiaan dari rumah mereka untuk alasan keamanan. katanya Aung Than. Puluhan lainnya dibawa ke sebuah guest house.
Kelompok bantuan lain mengatakan bahwa mereka mengevakuasi semua staf non-essential lokal dan asing dari Sittwe, beberapa diantara mereka menggunakan penerbangan reguler, yang lainnya menggunaan penerbangan carteran. Hampir selusin dari jumlah petugas bantuan kemanusiaan tiba di kota Yangon Myanmar pada Kamis sore (27/3), beberapa diantara mereka terlihat membawa tas biru bertulisan “Save the Children”.
(ameera/arrahmah.com)