Oleh : Henny (Ummu Ghiyas Faris)
(Arrahmah.com) – Prihatin dan tergelitik mendapati ungkapan bahwa maskawin/mahar bisa menjadi alat untuk eksploitasi perempuan. Bahwa itu menjadi pertanda seseorang telah membeli si anak perempuan melalui orang tuanya. Hal ini diutarakan oleh seorang menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), Yohana Yembise (nasionalrepublika.co.id , 23/11/2014)
Sungguh ironis ungkapan ini, diungkapkan oleh seorang menteri bahwa maskawin dianggap sebagai belenggu kebebasan kaum perempuan untuk berbicara. Hal ini dianggap bentuk eksploitasi hak-hak perempuan untuk sejajar dengan pria dalam hal-hal tertentu, seperti: pendidikan, karir politik, dan lain sebagainya. Dalam hal ini perempuan dianggap dinomorduakan dari kaum pria.
Pernikahan penumbuh kebaikan
Jika kita bicara tujuan dari pernikahan, bahwa pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang diridhai untuk memenuhi fitrah tesebut adalah jalan yang halal yaitu aqad nikah sesuai ketentuan, bukan dengan jalan yang mengundang murka Allah Subhanahu Wa Ta’ala yaitu kumpul kebo, lesbian, homo seksual, dan yang sejenisnya.
Dengan jalan pernikahan, maka diri manusia terbentengi dari perbuatan kotor dan keji, serta terpeliharanya keturunan kita. ” Wahai para pemuda ! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).
Pernikahan bukanlah ajang main-main, bila kita beriman dan beragama Islam tentu menginginkan pernikahan dalam bingkai syariat sesuai Islam. Sakinah, mawaddah, wa rahmah itulah tujuan dari pasangan untuk menikah. Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur untuk beribadah dan amal shalih.
Ungkapan keliru
Menelaah ungkapan bahwa maskawin/mahar adalah alat jual beli sangat keliru. Dalam Islam di sebutkan bahwa tata cara pernikahan ada aturannya. Dalam akad nikah ada beberapa syarat rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, di antaranya mengenai maskawin/mahar.
Maha benar Allah dalam firmanNya :
“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan”. (QS An-Nisaa : 4)
Mahar atau maskawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan pada saat akad nikah. Mahar merupakan hak dan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya.
Yang harus diingat bahwa dalam hukum Islam, mahar bukan merupakan “harga” dari seorang perempuan yang dinikahi, sebab pernikahan bukanlah akad jual-beli seperti muamalah bisnis. Oleh karenanya, tidak ada ukuran dan jumlah yang pasti dalam mahar. Syari’at Islam melarang bermahal-mahal dalam menentukan mahar, bahkan dianjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudah proses pernikahan. Tetapi apabila calon suaminya secara ekonomi mapan, tentu saja tidak salah jika mahar yang akan diberikan nilainya lebih besar.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah rahimnya.” ‘Urwah berkata, “Yaitu mudah rahimnya untuk melahirkan.” (HR. Ahmad)
Jika ada anggapan bahwa mahar adalah alat eksploitasi perempuan, anggapan itu adalah anggapan yang berasal dari kacamata kapitalisme yang memandang segala sesuatu dari objek materi. Anggapan ini bisa membahayakan pemikiran tentang konsep Islam ajaran keyakinan sekaligus solusi total setiap permasalahan kehidupan. Selain membahayakan aqidah, pemahaman seperti ini dapat menggiring kaum muslim untuk bersikap mencampuradukan antara yang hak dan yang batil.
Berbeda dengan Islam yang menganggap bahwa pernikahan adalah untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan. Justru yang menjadi alat ekspliotasi adalah sistem kapitalisme, yang memandang bahwa perempuan sebagai sarana promo produk yang dipajang sedemikian rupa untuk menarik pembeli. Masih banyak contoh lain yang melibatkan perempuan yang hitung-hitungannya dari segi materi saja.
Pernikahan memposisikan hubungan suami istri adalah hubungan persahabatan, bukan hubungan majikan dengan pekerja. Mengayuh bahtera rumah tangga untuk satu tujuan sakinah-mawaddah-wa rahmah. Dalam kapitalisme memandang bahwa dalam pernikahan kaum perempuan dijadikan objek untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Seperti ungkapan mereka bahwa perempuan akan dipandang jika kaum perempuan menghasilkan materi. Tak jarang tercipta pola pikir dalam masyarakat bahwa materi adalah segala-galanya, maka yang hadir adalah pernikahan yang jauh dari harmonis seperti hubungan antara majikan dan pekerja.
Islam memuliakan
Islam adalah din yang sempurna, ia hadir di tengah umat manusia sebagai rahmatan lil alamin untuk kehidupan manusia dan sebagai solusi atas problematika kehidupan manusia. Tapi agama yang penuh rahmat ini dianggap oleh sebagian orang sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan bagi kehidupan, sehingga dalam kancah kehidupan dienyahkan sejauh-jauhnya, astagfirullah…
Islam membawa syariat yang membawa kesejahteraan dan kemuliaan bagi umat manusia, agar manusia tidak terjatuh dalam jurang kehinaan dan kesengsaraan. Begitupun untuk kaum perempuan.
Kapitalisme akan berupaya sedemikian rupa untuk menjauhkan agama dari kehidupan termasuk dengan upaya-upaya mealalui perang pemikiran yang mengancam umat muslim saat ini, ketika kaum muslim kehilangan kepemimpinan yang berfungsi sebagai junnah yang melindungi umatnya dari berbagai bahaya. Wallahu a’lam bish-shawab.
(arrahmah.com)