Oleh: Ustadz Irfan S. Awwas
(Arrahmah.id) – Di Indonesia, negara menjamin hak setiap pemeluk agama yang telah diakui untuk beribadah sesuai keyakinan mereka. Dan masing-masing agama memiliki rumah ibadah yang tidak boleh diganggu atau diintervensi pihak lain.
Masjid, adalah tempat ibadah umat Islam. Gereja (tempat ibadah penganut Kristen Protestan dan Katolik), Pura (Hindu), Vihara (Buddha), dan Kelenteng (Konghucu). Syari’at Islam menjamin keamanan dan eksistensi rumah ibadah tersebut.
“.….Sekiranya Allah tidak membuat syari’at yang mencegah manusia saling berbuat zalim, niscaya biara-biara, pagoda-pagoda, gereja-gereja, dan masjid-masjid akan hancur berantakan karena kezaliman manusia. Padahal tempat-tempat ibadah itu dipergunakan orang untuk menyebut nama Allah.” (Qs. Al-Haj [22] : 40)
Adapun fungsi Masjid, secara spesifik ditegaskan dalam Al-Qur’an
وَّاَنَّ الْمَسٰجِدَ لِلّٰهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللّٰهِ اَحَدًاۖ
“Semua masjid hanyalah untuk beribadah kepada Allah. Wahai manusia, janganlah kalian menyembah siapapun selain Allah di dalam masjid,” (QS Al-Jinn (72) : 18)
“Masjid-masjid dibangun untuk beribadah kepada Allah, mengagungkan dan menyebut nama-Nya. Tidak boleh ada manusia yang mengubah tujuan ini. Tidak boleh mengagungkan dan menyembah selain Allah, memuji para pelaku kebatilan dan dosa, atau memuji para pemimpin zalim di dalamnya.
Masjid-masjid itu hanya milik Allah Swt, bukan milik siapapun selain-Nya. Maka tidak diperkenankan menyeru seorang pun selain Allah di dalamnya seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani di sinagog dan gereja mereka”. (Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam Masjidil Haram)
Namun sangat disesalkan, fungsi masjid tersebut telah diselewengkan oleh Imam Masjid Istiqlal Prof Nasaruddin Umar, kearah sinkretisme rumah ibadah.
“Semenjak saya bertugas sebagai imam besar Masjid Istiqlal, Saya telah menegaskan bahwa Masjid Istiqlal bukan hanya rumah ibadah bagi umat Islam, tetapi juga sekaligus rumah besar bagi kemanusiaan.
Kita berprinsip humanity is only one (kemanusiaan hanya satu) sehingga peran pemberdayaan umat difokuskan pada basis kemanusiaan dan harmoni kehidupan. Karena itu, semua boleh masuk karena berfungsi melayani semua orang,” kata Nasaruddin di depan Paus Fransiscus dalam orasinya saat acara “Interreligious Meeting” (pertemuan antaragama) di Masjid Istiqlal sebagai salah satu agenda kunjungan apostoliknya ke Indonesia pada Kamis, 5 September 2024.
Belum pernah kita mendengar para pimpinan gereja di Indonesia mengeluarkan pernyataan seperti yang diucapkan Imam Masjid Istiqlal itu. Misalnya, “Gereja Katedral bukan hanya rumah ibadah bagi umat Katolik, tetapi juga sekaligus rumah besar kemanusiaan.”
Mengapa? Karena mereka mengerti batasan agamanya, tidak menjual harga diri dan tidak akan mengucapkan atau menawarkan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan mereka.
Bahkan Paus Fransiskus pun tidak mengucapkannya, sekalipun dia ikut menandatangani Deklarasi Istiqlal 2024 bertajuk “Meneguhkan Kerukunan Umat Beragama untuk Kemanusiaan”.
Dalam sambutannya, Paus juga tidak mengucapkan sepatah katapun tentang genosida dan anti kemanusiaan yang dilakukan penjajah zionis Israel terhadap rakyat Palestina. Tapi Nasaruddin bersikap lancang, sebagai Imam Masjid, dia telah mengkhianati amanah Allah Swt, dengan mengatakan bahwa Masjid bukan hanya rumah ibadah umat Islam.
Konsisten dengan pernyataan tersebut, Nasaruddin menjelaskan kepada Paus, bahwa Istiqlal sudah sering digunakan untuk beragam acara.
“Disamping acara-acara ritual keagamaan Islam, Masjid Istiqlal juga secara reguler melaksanakan kegiatan interfaith, interculture, diplomatic activities,” untuk menekankan misi harmoni Istiqlal.
Termasuk mengundang tokoh zionis Amerika, Director of Muslim-Jewish Relations, American Jewish Committee (AJC) Dr. Ari Gordon sebagai nara sumber dalam seminar di Istiqlal pada 17 Juli 2024 dengan tema “Relationship Among Abrahamic Religious Communities In History and Today.” Tapi gagal dilaksanakan karena dihujani protes umat Islam.
Tak hanya sinkretisme fungsi masjid yang digagas Nasaruddin Umar, tapi yang lebih menyesatkan adalah sinkretisme agama. Seperti membaca ayat Qur’an dan ayat-ayat Injil dalam acara dialog bersama tokoh lintas agama di Masjid Istiqlal, dengan acara protokoler disesuaikan dengan pertemuan Gereja Katolik di Vatikan, Roma.
Momen itu terjadi di awal acara, ketika Paus duduk di tempat yang telah disediakan, MC pun mempersilakan seorang remaja perempuan melantunkan ayat Al-Qur’an. Ayat yang dibacakan adalah surat Surat Al-Baqarah ayat 62 dan Surat Al-Hujurat ayat 13.
Setelah remaja tersebut membacakan ayat Al-Qur’an, seorang lektor membacakan Injil Lukas 10:25-37. Setelah itu, barulah Imam Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar memberi sambutan, yang isinya seperti tersebut di atas.
Dalam pertemuan tokoh-tokoh lintas agama di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (5/9/2024), Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar meneken Deklarasi Bersama Istiqlal 2024 yang meneguhkan kerukunan umat beragama untuk kemanusiaan.
Dia juga menyaksikan terowongan bawah tanah yang disebut terowongan persahabatan, yang menghubungkan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral Santa Maria, sepanjang 33,8 meter.
“Ini adalah simbol yang bermakna, yang memperkenankan dua tempat ibadah agung tidak hanya berhadapan satu sama lain, tapi terhubung satu sama lain,” kata Paus Fransiskus.
Sejumlah tokoh lintas agama turut meneken deklarasi tersebut, katanya sebagai representasi agama dan kepercayaan yang dianut. Mereka yakni Engkus Kuswara mewakili penghayat kepercayaan, Budi Tanuwibowo (Konghucu), Bhante Dhammasubo (Buddha, Walubi), Philip Wijaya (Buddha, Permabudhi), Abdul Mu’ti (Islam, Muhammadiyah), Yahya Cholil Staquf (Islam, Nahdlatul Ulama), Wisnu Bawa Tenaya (Hindu), dan Reverendus Jacky Manuputty (Kristen).
Usai pertemuan, Paus yang duduk di kursi roda lalu diantar menuju mobil Toyota Kijang Innova Zenix yang siap mengantarkannya ke Kantor Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Tiba-tiba, Nasaruddin yang berjalan di belakang kursi roda meminta ajudan yang mendorong Paus agar berhenti sejenak karena awak media meminta waktu untuk sesi foto tambahan.
Ajudan segera mengarahkan Paus ke arah sorot kamera wartawan dan di situlah Nasaruddin memeluk lalu mencium kening Paus sebanyak dua kali. Kebersamaan dalam Keberagaman Paus tersenyum ketika keningnya dicium oleh Nasaruddin. Ia membalas aksi ini dengan mencium tangan Nasaruddin sebanyak dua kali.
Sri Paus yang diberitakan telah mengijinkan para pastor untuk memberikan pemberkatan kepada perkawinan sesama jenis alias LGBT tersebut, juga menempelkan tangan Nasaruddin ke pipinya sambil tersenyum.
Fatwa Anjing Sang Kyai
Tersebutlah sebuah kisah yang heboh, tentang fatwa anjing dari kampung Situ Gunung. Ada seekor anjing mati. Tapi yang bikin heboh bukan gegara matinya anjing. Tapi Si pemilik anjing yang bersikeras mengkafani anjingnya dan hendak menyolatkannya di Mushola kampung. Tentu saja penduduk kampung heboh dan menolak keras permintaan tersebut.
Untuk meredakan tensi yang memanas sekaligus untuk menyelesaikan permasalahan secara damai, dipanggillah seorang Kyai kondang di kampung itu untuk dimintai fatwanya.
Begitu tiba di TKP, Kyai langsung bertanya, “Mana pemilik anjing yang sudah dikafani ini?”
Seorang pria maju berkata, “Saya pak Kyai”.
“Atas dasar apa kamu minta anjing itu dikafani dan disholatkan sebelum dikubur? Dia kan binatang. Selain itu tak ada ajaran dalam agama kita menyolatkan binatang mati,” tegas Kyai.
Dengan terbata² pemilik anjing berucap, “T..t..tapi Kyai, ini adalah wasiat dari anjing saya”.
“Bohong kamu… Itu mustahil. Mana mungkin anjing bisa berwasiat!” sergah Sang Kyai.
“Selain itu anjing saya ini juga berwasiat agar saya menyerahkan uang 100 juta kepada yang menjadi imam sholatnya,” jawab pemilik anjing melanjutkan kalimatnya yang terpotong.
Tak diduga, sang Kyai tiba-tiba berkata, “Jika demikian, siapkan proses sholat mayit dan ajak warga untuk menyolatkan anjingmu itu”.
Tentu saja warga semakin heboh demi mendengar jawaban Kyai yang demikian absurd. Tapi warga tak ada yang berani menentang Kyai kondang tersebut. Merekapun berbaris di belakang Kyai membentuk shaf sholat jenazah
Setelah selesai sholat, ada seorang warga yang memberanikan diri bertanya pada Kyai, “Pak Kyai, nuwun sewu… Kenapa pak Kyai jadi berubah pikiran dan setuju untuk menyolatkan anjing itu?”
“Setelah saya telisik dengan seksama, ternyata anjing itu masih memiliki nasab mulia dari anjing milik pemuda Ashabul Kahfi,” jawab Kyai mengambil nafas panjang.
Wargapun hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya, entah tanda mengerti atau sekedar ikut-ikutan saja.
Terkadang rusaknya agama bukan karena tak ada lagi yang memahami atau mengetahuinya. Tapi justru datang dari orang-orang yang lebih paham, namun karena desakan kebutuhan dan popularitas duniawi, maka ia rela mengorbankan ajaran agamanya demi tercapainya ambisi walaupun harus menyesatkan orang banyak.
Yogyakarta, 14 September 2024
(ameera/arrahmah.id)