XINJIANG (Arrahmah.id) – Pihak berwenang Cina telah mulai menjual tiket kepada wisatawan untuk mengunjungi Masjid Id Kah yang bersejarah di Kashgar, di mana mereka melarang Muslim Uighur melaksanakan shalat di masjid tersebut selama bertahun-tahun kecuali untuk hari-hari suci Islam tertentu dan untuk tujuan propaganda, kata pejabat di kota kuno di Xinjiang.
Masjid tersebut sebagian besar ditutup untuk ibadah sejak 2016 di tengah tindakan keras oleh otoritas Cina terhadap agama dan budaya Uighur di Xinjiang.
Informasi tentang penerbitan tiket untuk mengunjungi Masjid Id Kah pertama kali beredar pekan lalu di platform video pendek Cina Duoyin dan kemudian di Facebook oleh Uighur.
Kabar tersebut juga muncul dalam materi pemasaran agen perjalanan yang berbasis di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, yang mengatakan pengunjung harus membayar 20-40 yuan (US$2,75-5,50) untuk tiket, berdasarkan usia mereka, dan masuk gratis untuk orang berusia 65 tahun atau lebih.
Pihak berwenang mengizinkan sekelompok kecil jamaah lanjut usia untuk melakukan ibadah shalat selama Ramadhan dan hari-hari suci Islam lainnya, atau untuk tujuan propaganda ketika mengatur kunjungan pejabat dari belahan dunia lain untuk memberi kesan bahwa Uighur tidak dilarang beribadah, kata narasumber.
Mereka yang melihat postingan media sosial baru-baru ini tentang penjualan tiket berasumsi bahwa orang Tionghoa telah mengubah Masjid Id Kah menjadi museum.
Polisi Kashgar mengatakan kepada Radio Free Asia (RFA) bahwa masjid itu terbuka untuk pengunjung tetapi tidak untuk jamaah, dan menyarankan untuk menghubungi agen perjalanan setempat untuk informasi lebih lanjut.
“Saya tidak yakin berapa banyak uang yang dibayarkan setiap pengunjung, tetapi saya yakin orang-orang diperbolehkan memasuki masjid,” kata seorang petugas yang menolak disebutkan namanya, seperti dilansir RFA.
“Tapi tidak ada yang boleh shalat karena masjid menjual tiket kepada pengunjung,” ujarnya.
“Meski demikian, pemerintah mengatur orang tertentu untuk shalat di dalam masjid. Hanya mereka yang bisa melakukan shalat. Sudah seperti ini selama lima atau enam tahun,” imbuhnya.
Sejak sekitar 2017, hingga 16.000 masjid, atau sekitar 65%, dari semua masjid telah dihancurkan atau dirusak akibat kebijakan pemerintah, ungkap Proyek Hak Asasi Manusia Uighur, sebuah kelompok aktivis yang berbasis di AS.
Masjid lain telah ditutup tetapi dibiarkan berdiri, dan beberapa masjid terkenal tetap buka tetapi di bawah pengawasan.
Langkah tersebut merupakan bagian dari kampanye represi yang lebih besar untuk menghapus budaya praktik keagamaan Uighur, bersamaan dengan penahanan sewenang-wenang terhadap sekitar 1,8 juta warga Uighur dan minoritas Turki lainnya di pusat-pusat interniran dan penjara.
Pada Mei 2022, ketika Michelle Bachelet, mantan komisaris tinggi PBB untuk hak asasi manusia, mengunjungi masjid tersebut, imam Memet Jume mengatakan kepadanya bahwa fasilitas tersebut terbuka untuk kegiatan keagamaan normal, meskipun sebenarnya tidak.
Ketika ditanya mengapa jumlah jamaah di masjid sangat sedikit, dia mengatakan bahwa orang-orang beriman sibuk dengan pekerjaan mereka dan beberapa telah mengubah sudut pandang mereka.
Komite perumahan membayar Uighur untuk melakukan tarian di luar masjid dalam upaya nyata untuk menunjukkan bahwa semuanya berjalan baik sebelum kunjungan Bachelet.
Kantor Bachelet mengeluarkan laporan pada Agustus 2022 yang mendokumentasikan kasus penyiksaan, kerja paksa, dan pelanggaran hak berat lainnya terhadap Uighur dan minoritas Turki lainnya.
Selama bertahun-tahun, pengunjung asing menyadari tidak adanya shalat di dalam Masjid Id Kah. Salah satunya memposting blog perjalanan di YouTube, menunjukkan ribuan jamaah sholat di masjid antara 2011 dan 2016, tetapi kemudian tempat suci itu kosong pada 2019.
Turghunjan Alawudin, wakil ketua komite eksekutif Kongres Uighur Dunia, mengatakan saat masjid masih di bawah kuasa orang Islam, tidak pernah diizinkan untuk mengambil uang dari mereka yang memasuki masjid, termasuk turis.
“Jika turis mengatakan akan menyumbang ke masjid, mereka akan melakukannya,” katanya kepada RFA. “Masjid hanyalah tempat untuk beribadah kepada Allah.”
“Oleh karena itu, benar-benar penipuan untuk mengatakan bahwa kami menjadikan separuh masjid sebagai tempat piknik dan separuh lainnya sebagai tempat shalat,” tambahnya. (rafa/arrahmah.id)