Oleh: Abdullah Al-Maghfur
(Arrahmah.id) – Akhir-akhir ini muncul fenomena menarik. Masjid-masjid yang didominasi oleh Salabi memasang bendera nasional di dalamnya. Biasanya berukuran kecil, bendera meja. Diletakkan di podium khutbah atau di meja kajian. Sedangkan masjid-masjid yang tidak beraliran Salabi tidak memasangnya, baik Muhammadiyah, NU, atau yang lain.
Salabi dan Doktrin Taat Mutlak Kepada Penguasa
Aliran Salabi memegang teguh doktrin taat terhadap penguasa. Muslim yang tinggal di negara manapun wajib untuk taat terhadap penguasanya. Baik di negara mayoritas muslim maupun mayoritas non muslim. Baik sistemnya sesuai dengan Islam maupun tidak.
Bagi Salabi, negara-negara Demokrasi yang memberi kebebasan bagi warga muslim untuk melaksanakan (sebagian) agamanya, sudah cukup menjadi argumen untuk mentaatinya. Misalnya Amerika, ketika memberi kekebasan kepada warga muslim untuk menunaikan shalat, memakai busana muslim, dan pergi haji, sudah cukup sebagai syarat untuk ditaati. Meski penguasanya non muslim.
Bagi mereka, syarat keharusan sang penguasa beragama Islam dan menunaikan shalat, sudah tidak dianggap relevan lagi. Apalagi syarat sistem negaranya harus Islam. Mereka hanya fokus pada “memberi kelonggaran terhadap umat Islam”.
Karena itu, kaum Salabi merasa perlu untuk memastikan diri dan komunitas mereka dinilai taat terhadap penguasa oleh para penguasa. Lahirlah ide kreatif, memasang bendera nasional di dalam ruangan masjid. Sebab, masjid adalah tempat yang paling sering mereka kunjungi untuk shalat, berkumpul dan menyelenggarakan kajian keislaman.
Dalil Salabi untuk doktrinnya ini adalah ayat populer yang memerintahkan taat kepada Allah, Rasul-Nya dan Ulil Amri:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ ٥٩ ( النساۤء/4: 59)
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat). (An-Nisa’/4:59)
Ayat ini jika dibaca sekilas tanpa mencermati dengan detail akan melahirkan kesimpulan bahwa umat Islam diwajibkan taat kepada Allah, Rasul-Nya dan penguasa yang sedang memimpin mereka. Kaum Salabi tampaknya hanya berhenti di sini.
Padahal jika dicermati dengan seksama, kesimpulan itu tidak akurat. Berikut alasannya:
Pertama, perintah taat kepada Allah digunakan kata ( أطيعوا ) yang mengandung makna taat secara mutlak, karena Allah pasti benar, pasti adil, pasti bijaksana, tak ada alasan untuk tidak taat kepada Allah.
Kedua, perintaah taat kepada Rasul-Nya juga menggunakan kata ( أطيعوا ) yang mengandung makna taat mutlak kepada Rasulullah sebab Allah menjaminnya maksum, terpelihara dari dosa. Tak ada celah untuk menolak taat kepada Rasulullah saw.
Ketiga, perintah taat kepada ulil amri (penguasa) tidak menggunakan ( أطيعوا ) tapi hanya numpang dari perintah ( أطيعوا ) yang ada pada Rasul-Nya. Artinya, taat kepada ulil amri, karena ulil amri tidak maksum, maka ketaatan kepada ulil amri tidak bersifat mutlak. Ada syaratnya, yaitu sang ulil amri haruslah orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Padahal, bukti paling nyata dari taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah beragama Islam dan menunaikan shalat.
Keempat, ulil amri yang disebut oleh ayat bukan siapapun yang bergelar ulil amri, di negara manapun dan agama papaun. Tapi ulil amri yang diberi catatan ( منكم ) yang artinya “dari kalanganmu”. Maksudnya, dari kalangan orang-orang yang dipanggil di awal ayat, yaitu orang-orang beriman alias muslim.
Jika kata “dari kalanganmu” diberi makna “dari kalangan bangsamu” atau “warga negaramu” tentu rangkaian kalimat menjadi putus alias tidak nyambung. Bagaimana mungkin di awal ayat panggilannya terhadap mukmin, tapi di akhir mrnjadi bangsamu. Kecuali jika panggilan awal menggunakan “wahai bangsa Indonesia taatilah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri diari kalanganmu” maka makna kalanganmu menjadi sinkron dengan “bangsamu”.
Bendera, Bahasa Universal
Bendera adalah simbol, bukan selembar kain tanpa makna. Bendera selalu ditampilkan di tempat yang paling terlihat, untuk mewakili identitas dan harga diri dari apa yang diwakili.
Bendera dikibarkan saat ada pemenang suatu pertandingan antar negara. Maksudnya, memberi pesan bahwa negara si pemilik bendera adalah pemenang, yang lain kalah, karenanya benderanya tidak dikibarkan. Selain bendera, lagu kebangsaan dikumandangkan. Pemenang kedua dan ketiga lagu kebangsaannya tidak dinyanyikan. Jadi, ada pesan supremasi di balik berkibarnya bendera. Suatu pesan tak tertulis yang dipahami oleh seluruh umat manusia di dunia.
Bendera yang menancap di depan rumah seseorang mengandung pesan bahwa seluruh penghuni rumah itu terafiliasi dengan bendera tersebut dan memuliakannya. Misalnya pada zaman konfrontasi antara umat Islam lawan PKI tahun 1960-an. Saat itu, bendera PKI yang dikibarkan di depan rumah seseorang akan dijadikan penanda bahwa seluruh penghuni rumah adalah orang PKI.
Bendera PKI melahirkan kesimpulan yang sama antara pengibar dengan penonton. Bagi pengibar, menjadi maklumat terbuka bahwa dirinya orang PKI dan mengambil posisi musuhan terhadap pemerintah dan umat Islam. Bagi penonton, menjadi bukti otentik bahwa sang pengibar adalah orang PKI yang melawan pemerintah dan umat Islam, karenannya harus ditempatkan sebagai musuh.
Bendera juga melambangkan supremasi. Ketika bendera merah putih berkibar dengan gagah di tanah Papua, artinya Indonesia memiliki supremasi dan hegemoni di sana. Sebaliknya, jika bendera bintang kejora yang berkibar dengan gagah di sana, artinya supremasi dan hegemoni dipegang oleh OPM. Itulah mengapa OPM mati-matian ingin mengibarkan bendera bintang kejora di tanah Papua, sebaliknya TNI mati-matian ingin mencerabut bendera itu dari sana. Padahal kalau dipikir, itu kan hanya selembar kain. Buat apa sih diributkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bendera bukan hanya soal selembar kain dan kombinasi warnanya. Ia merupakan sebuah simbol yang sakral. Ia sudah menjadi bahasa universal, yang dipahami secara tersirat oleh seluruh manusia di dunia. Tidak bisa lagi ada orang menilai bendera sebagai perkara main-main atau iseng-iseng belaka. Bendera mengandung pesan jelas, meski tidak ada bunyi kalimat yang bisa didengar atau teks kalimat yang bisa dibaca.
Masjid, Rumah Eksklusif Allah
Masjid disebut baitullah, rumah Allah. Menilik bangunannya, memang mirip sekali dengan rumah, tempat manusia beristirahat dan melakukan apapun secara merdeka. Rumah menjadi tempat manusia untuk mendapat ketenangan dan kemerdekaan, selain merawat cinta kasih terhadap pasangan dan anak keturunan.
Disebut rumah Allah karena di tempat itu Allah mendapat hak-Nya secara eksklusif dari manusia. Allah mendapat pujian di situ. Allah mendapat ruku dan sujud di situ. Allah mendapat ratapan di situ. Allah mendapat bacaan Al-Qur’an di situ. Allah mendapat kesetiaan di situ, ketika manusia memenjarakan dirinya berlama-lama di sana – disebut i’tikaf.
Allah merdeka di situ. Allah menjadi satu-satunya di situ. One and only. Tak ada kepentingan manusia ditumpangkan di situ. Tak ada berhala yang merebut ruku dan sujud manusia di situ. Masjid benar-benar tempat yang ideal untuk membangun hubungan vertikal lurus fokus antara manusia dengan Allah SWT.
Masjid juga tempat yang suci. Baik suci secara lahir maupun suci secara batin. Masjid dijaga kesuciannya dari wanita haidh karena membawa najis lahir. Masjid dijaga kesuciannya dari najis batin: maksiyat, duniawi, syirik, kepentingan politik manusia.
Umat Islam memahami dengan sangat baik fungsi dan posisi masjid yang unik ini. Mereka menolak masjid dipakai untuk hal-hal yang bersifat duniawi atau berbau syahwat atau bermuatan politik. Mereka menolak masjid dijadikan tempat hura-hura seperti konser musik dan acara ulang tahun. Mereka menolak masjid dijadikan tempat arisan duit dan bazar jual beli. Mereka menolak masjid dipasangi bendera partai politik, karena memuat kepentingan politik. Mereka menolak masjid dijadikan lokasi kampanye pilkada dan pilpres.
Tapi kenapa Salabi justru memasang bendera nasional di masjid? Apakah mereka tidak tahu masjid itu tempat yang suci? Ini yang menjadi misteri. Mereka getol melarang bid’ah, tapi memasukkan perkara bid’ah di rumah Allah yang suci.
Bendera Allah dan Bendera Nasional
Ternyata Allah juga punya bendera yang melambangkan kesucian-Nya, supremasi-Nya dan hegemoni-Nya. Yaitu bendera tauhid: la ilaha illa Allah. Makna di balik kalimat ini: Allah ditempatkan oleh manusia sebagai one and only, manusia dalam posisi menghamba secara total, memasrahkan dirinya diatur Allah, hartanya dipersembahkan untuk Allah, dan tanah kekuasaannya dikendalikan penuh oleh Allah.
Makna di balik bendera tauhid ini ternyata dipahami dengan sangat baik oleh seluruh manusia di bumi. Baik yang muslim, antara muslim dan kafir, maupun kafir tulen. Mereka semua paham bahwa bendera melambangkan supremasi dan hegemoni. Jika bendera tauhid dikibarkan di suatu lokasi, menandakan lokasi itu terhegomoni oleh bendera tersebut.
Kesimpulan ini bisa diuji jika tidak percaya. Apakah ada kemungkinan bendera tauhid akan dikibarkan di halaman istana negara? Rasanya, kemungkinan untuk itu hanya 0,0000001%. Meski para penghuni istana mayoritas muslim. Sebab mereka paham, supremasi Allah dan hegemoni-Nya berarti berlaku di situ. Dan itu tidak mungkin, sistem tidak menerimanya.
Apakah ada kemungkinan bendera tauhid dikibarkan di halaman istana gedung putih Amerika? Apalagi ini, lebih tidak mungkin lagi. Meski mereka non muslim, tapi paham makna di balik bendera ini. Jika bendera tauhid berkibar di halaman gedung putih, tandanya mereka takluk kepada Islam dan umat Islam. Mereka merasa dipermalukan di depan publik dunia.
Apakah ada kemungkinan bendera tauhid dikibarkan di gedung DPR? Sama jawabannya dengan istana. Bagaimana dengan Pemda? Sama. Bagaimana dengan kantor desa? Sama. Rumah warga? Musngkin masih sama. Kamar pribadi? Nah ini baru boleh mungkin.
Padahal jika dipikir, manusia diciptakan Allah, dimiliki Allah dan dikuasai Allah, sebagaimana tanah air tempat mereka hidup juga diciptakan Allah, dimiliki Allah dan dukuasai Allah. Tapi kenapa manusia menolak keras bendera Allah? Di sini kadang saya (dan Anda) bingung.
Ini semua menjadi bukti paling otentik bahwa Allah kehilangan supremasi dan hegemoni di tengah manusia ciptaan-Nya sendiri, di tanah air yang juga ciptaan-Nya sendiri. Kenyataan pilu yang pasti membuat orang beriman sedih dan marah, kecuali jika imannya memang lemah atau nol. Atau mukmin yang mati rasa, tak lagi punya rasa cemburu dan harga diri.
Masjid, Harapan Tersisa
Harapan supremasi dan hegemoni Allah secara eksklusif itu tinggal masjid. Sebidang tanah dan bangunan yang sangat kecil jika dibandingkan hamparan permukaan bumi Allah yang sangat luas. Eh kaum Salabi malah menodainya dengan sengaja. Mengotori kesuciannya. Belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan hal yang berbau politik. Sesuatu yang melambangkan takluknya Allah di hadapan penguasa.
Mereka menodai kesucian Allah di rumah-Nya sendiri. Padahal tak ada undang-undang yang mengharuskan masjid dipasang bendera. Tak ada ancaman hukuman jika tidak mengibarkannya. Tidak ada tuduhan teroris jika tidak memasangnya. Karena itu, hanya ada dua kemungkinan untuk memahaminya: mereka sedang takut kepada selain Allah (paranoid) atau pelaku bid’ah sesat !
Sikap Salabi ini terasa naif dan konyol. Mereka yang banyak menggluti agama tapi seolah tidak tahu bagaimana cara menjaga kecusian masjid. Sebaliknya, para penguasa – yang mayoritas muslim itu – bahkan lebih tahu batasan kesucian masjid. Mereka tak akan mengeluarkan undang-undang yang mengharuskan bendera nasional di maajid, sebab mereka tahu hal itu bermakna menodai masjid dengan hal yang bersifat politik. Mereka akan tetap membiarkan masjid bersih dari kepentingan politik.
Seandainya apa yang dilakukan Salabi ini terjadi di India, ketika umat Islam minoritas dan mendapat tekanan represif dari penguasa Hindu, rasanya kita bisa maklum. Tapi bagaimana dengan negeri ini, ketika umat Islam mayoritas dan semua muslim menginginkan masjid yang suci baik dari najis lahir maupun najis batin.
Kriteria Pengurus Masjid
Allah menetapkan sendiri kriteria pengurus masjid yang berhak memakmurkan masjid.
مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِيْنَ اَنْ يَّعْمُرُوْا مَسٰجِدَ اللّٰهِ شٰهِدِيْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِۗ اُولٰۤىِٕكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْۚ وَ فِى النَّارِ هُمْ خٰلِدُوْنَ ١٧ اِنَّمَا يَعْمُرُ مَسٰجِدَ اللّٰهِ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ وَلَمْ يَخْشَ اِلَّا اللّٰهَ ۗفَعَسٰٓى اُولٰۤىِٕكَ اَنْ يَّكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ ١٨ ( التوبة/9: 17-18)
- Tidak pantas bagi orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedangkan mereka bersaksi bahwa diri mereka kafir. Mereka itu orang-orang yang sia-sia amal mereka dan di dalam neraka mereka kekal.
-
Sesungguhnya yang (pantas) memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, mendirikan salat, menunaikan zakat, serta tidak takut (kepada siapa pun) selain Allah. Mereka itulah yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (At-Taubah/9:17-18)
Ayat ini (17) menerangkan bahwa masjid adalah bangunan yang dikhususkan untuk memuji, mensucikan, dan beribadah kepada Allah. Kegiatan itu harus dilandasi iman kepada-Nya. Tentu tidak masuk akal jika ada orang yang hatinya kufur kepada Allah tapi raganya melakukan ritual ibadah kepada Allah di masjid-Nya.
Kedua, ayat ini (17) juga menerangkan bahwa orang musyrik tak boleh memakmurkan masjid, sebab masjid adalah bangunan yang dkhususkan untuk menjadikan Allah suci, istimewa dan spesial sementara orang musyrik merendahkan dan menduakan Allah. Standar keistimewaan Allah adalah dengan menjadikan-Nya one & only atau satu dan satu-satunya – yang disebut tauhid. Sementara orang musyrik adalah orang yang menjadikan Allah hanya sebagai salah satu dari yang lain, bukan spesial, yang karenanya Allah menjadi biasa dan rendah tidak lagi istimewa.
Ketiga, ayat ini (18) juga menerangkan bahwa yang pantas memakmurkan masjid adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya seperti shalat dan zakat. Selain itu memiliki loyalitas tanpa batas dengan Allah yang dibuktikan dengan tidak takut kepada selain Allah. Dengan kata lain, mereka hanya takut kepada Allah.
Kriteria Yang Hilang
Ayat 18 surat At-Taubah di atas ujungnya menarik kita garis-bawahi ketika menerangkan kriteria mukmin yang layak memakmurkan masjid: Beriman kepada Allah dan hari akhir, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kecuali kepada Allah. Ayat ini seperti baru saja diturunkan untuk menyindir kaum Salabi dalam kasus ini.
Usut punya usut, agaknya ada kaitannya dengan tindakan represif yang dilakukan penguasa terhadap kelompok kanan (Islam). Umat Islam ditekan habis. Dan diterbitkannya undang-undang anti-terorisme yang baru dengan cakupan yang diperluas, bukan hanya terhadap pelaku terorisme, tapi juga terhadap pengusung narasi keagamaan yang dianggap bisa menyulut sikap intoleran, seperti tema jihad, khilafah, tauhid, kufur, murtad, hukum Islam dan amar makruf nahi munkar.
Akibatnya, umat mengalami paranoid terhadap kekuasaan. Kaum Salabi kemudian merasa perlu untuk “mencari muka” di hadapan penguasa bahwa masjid di mana mereka biasa berkumpul adalah tempat yang ramah kepada siapapun, terutama penguasa.
Padahal kalau direnungkan dengan seksama, tak ada undang-undang yang mengharuskan masjid memasang bendera. Tak ada peraturan yang mengancam akan menutup masjid yang menolak memasang bendera. Tak ada edaran agar masjid memasang bendera kecil di meja kajiannya atau di podium khutbahnya.
Maknanya, ketakutan itu bersifat semu. Bukan sesuatu yang nyata. Takut terhadap bayangan. Ini jenis ketakutan yang tidak lumrah. Lebih tepat disebut paranoid. Masalahnya, ketakutan ini bisa masuk kategori “takut kepada selain Allah”
Jangankan yang semu, yang nyata saja dilarang, jika mengorbankan rasa takut kepada Allah. Misalnya hadits tentang dua orang yang dipaksa mengorbankan sesuatu kepada berhala demi diijinkan melintas. Satu orang mengorbankan seekor lalat, maka ia diijinkan lewat meski Allah akan memasukkannya ke neraka. Sementara satunya menolak meski seekor lalat, akhirnya mereka membunuhnya tapi diganjar surga oleh Allah.
Karena itu, ayat 18 di atas terasa sangat relevan. Jamaah (atau lebih tepatnya pengurus atau DKM) yang sengaja memasang bendera adalah karena takut kepada selain Allah yang semu itu. Padahal konsekwensinya, kesucian masjid tercoreng. Allah tak lagi mendapat hak eksklusif di rumah-Nya sendiri. Maknanya, mereka sejatinya tak layak atau berhak memakmurkan masjid Allah, karena mereka gagal menjaga kesucian masjid disebabkan takut kepada selain Allah – penguasa. Mereka memang memenuhi kriteria iman, menegakkan shalat dan menunaikan zakat, tapi mereka gagal dalam kriteria “tidak takut kecuali kepada Allah”.
Ayat ini memberi pesan halus kepada seluruh umat Islam, bahwa jika kamu kalah dalam membela Allah di lahan-lahan di luar masjid, tapi jangan sampai kamu kalah dalam membela dan menjaga kesucian Allah di rumah-Nya sendiri. Buat apa dinamakan masjid Allah jika Allah tidak dijamin merdeka di situ. Jika demikian, lebih tepat disebut masjid penguasa (karena bendera penguasa berkibar di situ) bukan masjid Allah. Masjid kemudian menjadi tempat ibadah (tunduk) kepada penguasa, bukan tempat ibadah kepada Allah. Sebab bendera melambangkan supremasi dan hegemoni.
Masuk Pasal Terpaksa (Mukrah) ?
Dalam Islam terdapat ketentuan bernama mukroh atau terpaksa. Mukrah adalah kondisi terpaksa karena tekanan pihak luar yang dipastikan akan membahayakan diri. Misalnya kondisi yang dialami Ammar bin Yasir, katika ia harus mengucapkan kalimat kufur karena ancaman penyiksaan sampai mati.
Ancaman ini bukan isapan jempol, sebab kedua orang tuanya sudah menemui ajal karenanya. Maka kemungkinan akan terjadinya siksaan hingga mati terhadap dirinya hampir bisa dipastikan, bukan asumsi atau paranoid belaka.
Jika dikomparasikan dengan ancaman terhadap masjid sehingga masjid itu harus menodai kesuciannya sendiri, apakah sama? Rasanya beda. Tidak ada undang-undang yang mengancam untuk membubarkan masjid jika tidak dipasangi bendera. Tidak ada juga ancaman penangkapan apalagi pembunuhan terhadap pengurus yang tidak memasang bendera di masjidnya.
Kalaupun disebut ancaman, paling jauh hanya himbauan lisan oleh aparat atau lebih tepatnya oknum aparat yang sok jago kepada umat Islam. Atau diberi stigma sebagai masjid radikal. Itupun baru asumsi, belum nyata.
Karena itu, kembali ke hukum dasar, yaitu keharusan menjaga kesucian masjid sebagai tempat untuk mengagungkan Allah dan memuliakan Kitab-Nya serta menjunjung-tinggi syariat-Nya. Apalagi jika dilihat bahwa jumlah muslim adalah mayoritas di negeri ini, tak ada alasan untuk membiarkan masjid ternoda hanya karena asumsi nan paranoid.
Kesimpulannya, memasang bendera di masjid adalah tindakan bid’ah yang tidak ada contohnya pada zaman Salaf. Pada zaman sekarang pun demikian, berlaku di seluruh dunia. Bahkan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sekalipun, tak ada atribut apapun yang menggambarkan intervensi kekuasaan terhadap masjid. Karena itu, umat Islam harus menjaga izzah, jangan menjatuhkan harga diri dengan menjadi penjilat hanya disebabkan ketakutan yang absurd.
Kita wajib membela Allah dan agama-Nya dengan apapun yang kita punya bahkan nyawa sekalipun. Kita juga wajib membela Rasulullah saw dengan harta dan nyawa kita. Demikian juga terhadap Al-Qur’an dan syiar-syiar Islam yang lain, termasuk masjid.
Kesimpulannya, kita masih berada dalam kondisi normal, bukan darurat. Karenanya hukum fiqh berlaku secara normal bahwa haram hukumnya memasukkan atribut yang menodai kesucian masjid. Salah satunya bendera. Wallahua’lam bis-shawab.
(ameera/arrahmah.id)