(Arrahmah.id) – Terlepas dari semua kehancuran dan konflik yang menimpanya selama berabad-abad, Irak masih dipenuhi dengan harta karun arkeologi dan warisan dunia yang menakjubkan.
Secara historis dikenal sebagai Mesopotamia, wilayah ini disebut sebagai tempat lahir peradaban karena merupakan rumah bagi banyak kerajaan dan peradaban sejak milenium keenam SM, dari peradaban Sumeria, Asiria, dan Babilonia, hingga banyak kerajaan dan kekhilafahan Islam.
Salah satu harta karun tersebut adalah ibu kota kuno Samarra, yang didirikan oleh Khalifah Muslim Abbasiyah Al-Mutasim pada abad ke-9.
Samarra yang terletak 120 km sebelah utara Baghdad, di tepi Sungai Tigris adalah ibu kota kedua Kekhilafahan Abbasiyah, di mana pemerintahan dijalankan dari kota ini untuk mengurus provinsi-provinsi Kekhilafahan Abbasiyah yang membentang dari Tunisia ke Asia Tengah, dan terus menjadi satu-satunya ibu kota Islam yang bertahan yang mempertahankan rancangan dan arsitektur aslinya.
Nama Samarra berasal dari frase bahasa Arab “Surra man ra’a”, yang berarti “Kegembiraan bagi semua orang yang melihatnya”. Rumah bagi Masjid Agung Samarra dengan menara Malwiya (bahasa Arab untuk “memutar”) yang ikonis, Kota Arkeologi Samarra terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2007.
Masjid Agung Samarra dibangun pada abad ke-9 (848-852), pada masa pemerintahan Khalifah Abbasiyah Al-Mutawakil yang pindah ke Samarra untuk menghindari konflik dengan penduduk lokal di Baghdad dan tetap di sana selama 56 tahun, periode di mana dia membangun banyak istana termasuk masjid terbesar di seluruh wilayah Islam.
Masjid ini memiliki tata letak persegi panjang yang dikelilingi oleh dinding bata luar setinggi 10 m dan tebal 2,65 m dan didukung oleh total 44 menara setengah lingkaran termasuk empat menara sudut. Seseorang bisa memasuki masjid melalui salah satu dari 16 gerbang.
Dikatakan bahwa di setiap pintu masuk terdapat beberapa jendela melengkung kecil. Di antara setiap menara, dekorasi relung persegi cekung dengan bingkai miring membentang di bagian atas seluruh struktur. Masjid itu memiliki 17 koridor, dan dindingnya dilapisi dengan mozaik kaca biru tua. Halaman itu di semua sisinya dikelilingi oleh sebuah koridor beratap, yang bagian terbesarnya adalah yang menghadap ke Makkah.
Sekitar 27 m dari tengah sisi utara masjid berdiri Menara Malwiya dengan kerucut spiral yang berputar berlawanan arah jarum jam dari bawah ke atas setinggi 52 m dan lebar 33 m di dasarnya. Di puncak menara terdapat ruang depan bundar yang dihiasi dengan delapan relung melengkung runcing. Terdapat sebuah tangga spiral mengarah ke puncak menara, di mana seorang muazin akan mengumandangkan azan.
Bahkan, Khalifah Al-Mutawakkil sering melakukan itu dengan menunggangi keledainya untuk menikmati pemandangan.
Masjid ini berdiri di area seluas 17 hektar, bangunannya sendiri mencakup 38.000 meter persegi. Masjid Agung Samarra adalah yang terbesar di dunia selama lebih dari 400 tahun sebelum dihancurkan pada 1278 menyusul invasi penguasa Mongol Hulagu Khan ke Irak. Saat ini, hanya dinding luar masjid dan Menara Malwiya yang tersisa.
Sebagai salah satu struktur arsitektur paling menonjol di kota bersejarah ini, desain Menara Malwiya diyakini dimaksudkan sebagai pernyataan visual yang kuat tentang kehadiran Islam di Lembah Tigris, seperti yang terlihat dari kejauhan di daerah sekitar Samarra.
Monumen, yang dengan bangga ditampilkan pada uang kertas Irak hari ini, pernah menarik pengunjung dari seluruh dunia yang akan datang untuk mendaki jalan yang menjulang tinggi untuk melihat panorama kota dan mengagumi desainnya yang tidak biasa yang telah bertahan selama lebih dari 1.000 tahun.
Setelah invasi AS ke Irak pada 2003, tentara Amerika menggunakan menara ini sebagai menara pengawas dan situs tersebut menjadi panggung berbagai bentrokan dan operasi militer. Menara ini sebagian hancur pada April 2005, ketika pemberontak mengebom menara tersebut karena pasukan AS telah menggunakannya sebagai posisi pengintaian.
Setelah penarikan pasukan AS dari Irak, situs bersejarah ini menjadi sasaran lebih banyak konflik bersenjata dan kekerasan sektarian.
Di mata banyak warga kota, Samarra tidak lagi mencerminkan ungkapan “Surra man ra’a” (Kegembiraan bagi semua orang yang melihatnya) melainkan “Sa’a man ra’a” (Kesedihan bagi semua orang yang melihatnya), sebuah frase yang sekarang umum digunakan di antara orang Irak.
Namun terlepas dari kehancuran yang menimpa Irak selama berabad-abad dan kekacauan yang terus melanda negara itu hingga hari ini, menara Masjid Agung tempat 80.000 jemaah pernah berkumpul untuk salat ini tetap bertahan. Bentuknya yang luar biasa dan mengesankan berdiri menantang sebagai bukti warisan arsitektur Irak yang luar biasa dan desain inovatif yang mendahului zamannya. (zarahamala/arrahmah.id)