KUALA LUMPUR (Arrahmah.com) — Dianggap masih belum serius dan masih melakukan kekerasan pada Muslim Rohingya, ASEAN mengecualikan Myanmar dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang ke-38 dan 39 yang akan mulai berlangsung pada 26 hingga 28 Oktober 2021.
Langkah ini dinilai penting untuk memberikan ruang bagi negara tersebut dalam mengatasi konflik internal yang tengah terjadi.
Keputusan untuk tidak mengundang Min Aung Hlaing, selaku pimpinan Junta Myanmar, diambil setelah tidak ada konsensus yang dicapai untuk menghadirkan perwakilan politik.
Menteri Luar Negeri Brunei Erywan Yusof mengatakan, dilansir Bernama (23/10/2021), bahwa tidak ada kemajuan memadai pada peta jalan untuk memulihkan perdamaian di Myanmar, yang telah disepakati junta dengan ASEAN pada April lalu.
Meski demikian, sejumlah pengamat mengatakan bahwa hal tersebut tidak membantu menyelesaikan penderitaan warga Rohingya di Myanmar.
Presiden Organisasi Rohingya Burma – Inggris yang berbasis di London, Tun Khin, menyampaikan, langkah ASEAN ini, belum pernah terjadi sebelumnya.
Keputusan ini juga merupakan kabar baik, meski tindakan lebih lanjut terhadap salah satu etnis minoritas yang menderita di negara itu juga harus tetap dilakukan. “ASEAN harus melangkah lebih jauh,” ujar Khin, lansir Bernama.
Permintaan pemerintah bayangan Myanmar, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), untuk bergabung dalam KTT tersebut juga ditolak oleh ASEAN. Hanya perwakilan non-politik dari negara tersebut yang akan diundang untuk menghadiri acara.
Militer Myanmar kemudian mengeluarkan pernyataan terkait kekecewaan atas pengecualian tersebut.
Kementerian Luar Negeri pemerintahan militer Myanmar mengatakan, kepala negara atau pemerintah Myanmar seharusnya menikmati hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pertemuan puncak 10 negara anggota ASEAN.
“Myanmar tidak akan berada dalam posisi untuk menerima hasil apapun dari diskusi dan keputusan yang bertentangan dengan ketentuan, tujuan dan prinsip-prinsip Piagam ASEAN,” kata pernyataan Kementerian Luar Negeri, dilansir Al Jazeera, Sabtu (23/10).
Menurut PBB, lebih dari 1.000 warga sipil telah dibunuh oleh pasukan keamanan Myanmar dan ribuan orang telah ditangkap. Junta Myanmar mengatakan jumlah korban tewas itu dilebih-lebihkan.
Komunitas internasional juga telah menekan ASEAN supaya lebih kuat dalam meminta Myanmar menghentikan konflik di sana. Junta militer Myanmar juga dianggap tidak melaksanakan konsensus-konsensus yang telah disepakati.
Dalam masalah Rohingya, jauh sebelum kudeta, etnis ini telah hidup dalam penderitaan, di mana penolakan terhadap kewarganegaraannya oleh Pemerintah Myanmar terjadi. Demikian pula dengan hak-hak kemanusiaan yang tampaknya tidak diakui dengan baik.
Hal ini membuat warga mayoritas Muslim ini harus menghadapi berbagai konflik dan kekerasan dari pihak berwenang. (hanoum/arrahmah.com)