Oleh Maulana Fatih AL-Faruuq, Analis Politik
(Arrahmah.com) – Setiap bangsa menginginkan negara yang berdaulat, adil, dan makmur serta dapat menampung seluruh aspirasi yang dikeluarkan oleh setiap warganya. Tak terkecuali pula Indonesia. Sebagai negara ‘Demokrasi’ tentunya banyak harapan yang tergantung kepada para pendiri bangsa ini. Hal tersebut disikapi dengan dijadikannya Pancasila sebagai dasar negara kita, cita-cita bangsa kita, serta rujukan kebijakan yang pemerinah untuk setiap warganya. Namun, ternyata seiring berjalanya waktu kebijakan pemerintah jauh dengan persepsi nilai-nilai Pancasila.
Perjalanan historis tentang sistem demokrasi lahir melalui rahim perlawanan-perlawanan kelas masyarakat di Eropa. Eropa pada jaman kegelapan merupakan kumpulan bangsa-bangsa yang mayoritas berekosistem pedesaan. Setiap bangsa dipimpin oleh satu kekaisaran yang bertindak sebagai kelas masyarakat elit, begitu juga dengan rohaniawan katolik berdiri sejajar dengan kumpulan masyarakat elit, disamping itu mayoritas masyarakat adalah kumpulan rakyat miskin yang dianggab sebagai kelas bawahan dan budak para kaisar.
Pada titik kegaduhan, para filosof menyadari kondisi rakyat yang tertindas dengan kebijakan-kebijakan kaisar yang otoriter dan menindas rakyat kecil. Hal inilah yang menyebabkan revolusi besar-besaran di Eropa. Revolusi yang menandakan perubahan industrial dan perubahan cara pandang berfikir menjadikan masyarkat Eropa memisahkan aturan kehidupan dengan aturan agama para rohaniawan.
Keberhasilan revolusi yang digaungkan oleh para filosof yang mewakili rakyat kecil menyebabkan gugurnya ide Hak Ketuhanan, sehingga disepakati suatu gagasan bahwa kedaulatan negara berada ditangan rakyat dan sumber kekuasaan sepenuhnya dipegang oleh rakyat. Maka dalam penetapan peraturan Undang-Undang dan pemberian mosi percaya atau tidak percaya harus melalui suara mayoritas. Begitu juga cara untuk memilih dewan legeslatif, dewan perwakilan rakyat, dan pemimpin.
Demokrasi oleh mayoritas masyarakat disebut sebagai hukum sura’ atau suara mayoritas. Menurut Sidnet Hook berpendapat bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. Selaras dengan pernyataan sebelumnya menurut Henry B. Mayo menyatakan bahwa demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Perlu kita perhatikan, demokrasi dimaknai sebagai suara berasas liberal. Artinya bahwa setiap individu masyarakat memiliki kebebasan untuk mengekspresikan, dan menyuarakan pendapatnya, tanpa melihat latar belakang maupun ideologi setiap individu yang ada didalam sistem demokrasi. Jelas ini adalah suatu kerunyaman yang melahirkan masalah baru pada negara yang mengemban sistem demokrasi.
Kita bisa melihat sejarah keberlangsungan sistem demokrasi di Eropa yang hadir disebabkan oleh sebuah perlawanan-perlawanan, hingga melahirkan sebuah ide sekulerisme atau memisahkan agama dengan kehidupan. Maka sebenarnya demokrasi sekarang ini tidak bisa terlepas dengan sekulerisme, sehingga tidak heran negara-negara yang mengupayakan demokrasi sebagai asas tertinggi biasanya memiliki tatanan masyarakat yang sekuler.
Alhasil kita menyaksikan kerusakan ada dimana-mana. Mereka melakukan segala cara untuk mendapatkan kepuasan pribadi, termasuk memperkaya diri sehingga mereka melakukan pemberangusan sumber daya alam, penjajahan terhadab kaum tertindas.
Fakta telah ada dihadapan kita, data Institute for Global Justice mengungkap bahwa berbagai sektor ekonomi strategis Indonesia dikuasai asing, seperti perbankan 70 persen, pertambangan 85 persen, otomotif 99 persen, perkebunan 60 persen, telekomunikasi 70 persen, jasa 70 persen, tanah 93 persen, dan minyak dan gas (migas) 88 persen (Republika, 11/12/1015)
Bila kita memandang dalam nilai kebijaksanaan. Kebijakan pemerintah pada saat ini ialah kebijakan yang menguntungkan orang-orang yang memiliki kepentingan saja. Kesenjangan sosial menjadi mainsream permasalahan yang tidak kunjur terselesaikan, Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, menjelaskan 0 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 75,7 persen kekayaan nasional. Kekayaan tersebut diperoleh karena faktor kedekatan dengan kekuasaan. dilansir kompas.com (15/1)
Demokrasi yang digadang-gadang sebagai sistem pemerintahan terbaik sampai saat ini masih meninggalkan kesengsaraan terhadap masyarakat menengah kebawah. Janji-janji politik yang selalu meneriakkan wong cilik hanya memiliki masa kadaluarsa hingga sang pemimpin terpilih dilantik.
Hal tersebut terjadi karena masih jauh dari perwujudan keadilan. Potret kusam yang tersaji dari zaman rezim orde lama hingga saat ini yang digadang-gadang sebagai ‘satria piningit’ masih saja membawa bekas luka yang tersirat dalam setiap hati rakyat Indonesia. Program ‘pro’ wong cilik yang digagaskan hanyalah menjadi sebuah program tanpa bukti nyata dari penggagasnya. Angka kemiskinan yang dijanjikan akan turun dengan program-program yang terlihat mentereng hanya menjadi buaian kalbu belaka. Terciptakah potret keadilan di negeri ini?
(*/arrahmah.com)