RABAT (Arrahmah.id) – Harapan memudar pada Selasa (12/9/2023) dalam pencarian korban selamat di Maroko, empat hari setelah gempa bumi dahsyat yang menewaskan lebih dari 2.900 orang, sebagian besar dari mereka berada di desa-desa terpencil di Pegunungan High Atlas.
Tim pencarian dan penyelamatan dari kerajaan dan dari luar negeri terus menggali puing-puing rumah yang terbuat dari batu bata lumpur, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan berpacu dengan waktu setelah gempa berkekuatan 6,8 skala Richter pada Jumat malam (8/9).
Palang Merah meminta bantuan lebih dari $100 juta untuk memenuhi “kebutuhan paling mendesak” di negara Afrika Utara tersebut, termasuk layanan air, tempat tinggal, kesehatan dan sanitasi.
“Kita perlu memastikan bahwa kita menghindari bencana gelombang kedua,” kata Caroline Holt, direktur operasi global di Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.
Di pusat wisata Marrakesh, yang pusat bersejarahnya terdaftar di UNESCO mengalami keretakan dan kerusakan besar lainnya, banyak keluarga masih tidur di tempat terbuka, meringkuk di lapangan umum karena takut akan gempa susulan.
Namun kebutuhan yang paling mendesak adalah di desa-desa pegunungan yang terpencil dan miskin, banyak yang hanya dapat dijangkau melalui jalan tanah yang berkelok-kelok, di mana rumah-rumah tradisional terbuat dari batu bata hancur menjadi puing-puing dan debu dan penduduknya mencari kerabat mereka yang hilang dengan tangan.
Sekitar 100 orang tewas di desa pegunungan Douzrou, 80 kilometer barat daya Marrakesh, di mana para penyintas kini tinggal di tempat penampungan sementara, jauh dari rumah mereka yang hancur atau rusak parah.
“Kami ingin direlokasi secepat mungkin. Kami kehilangan segalanya, bahkan ternak kami, tapi tidak ada yang datang menemui kami,” kata Hossine Benhammou (61) yang kehilangan sembilan anggota keluarganya akibat gempa bumi.
“Kondisi cuaca di sini sangat buruk,” kata Ismail Oubella (36) yang kehilangan tiga anaknya, istrinya yang sedang hamil dan ibunya. “Kami mengkhawatirkan hal terburuk yang akan terjadi pada musim dingin mendatang.”
Warga lainnya, Lahcen Ouhmane (68) mengatakan bahwa “kami takut dengan hujan yang dapat memotong jalan tidak beraspal menuju desa kami. Kami berisiko kelaparan”.
Desa-desa terpencil hancur
Tim penyelamat, truk bantuan, dan sukarelawan swasta terus melakukan perjalanan ke desa-desa yang terkena bencana di kaki pegunungan High Atlas yang tandus , banyak di antaranya hanya dapat diakses melalui jalan yang terkena dampak longsoran batu.
Di desa Asni, di provinsi Al-Haouz yang paling parah terkena dampaknya, tentara mendirikan rumah sakit lapangan dengan tenda medis tempat lebih dari 300 pasien dirawat pada Senin (11/9), kata Kolonel Youssef Qamouss kepada AFP.
“Rumah sakit ini dibangun 48 jam yang lalu,” katanya, seraya menambahkan bahwa rumah sakit tersebut memiliki unit rontgen, apotek, dan fasilitas lainnya. “Ini mulai beroperasi pagi ini dan kami sudah menangani kurang lebih 300 pasien.”
Banyak warga Maroko bergegas membantu para korban gempa dengan makanan, air, selimut dan bantuan lainnya atau dengan mendonorkan darah untuk membantu merawat yang terluka, sebuah upaya yang dilakukan oleh tim sepak bola nasional.
Gempa tersebut merupakan gempa terkuat yang pernah terjadi di Maroko dan paling mematikan yang pernah melanda negara tersebut sejak gempa bumi 1960 yang menghancurkan Agadir di pantai Atlantik, menewaskan antara 12.000 hingga 15.000 orang.
Secara keseluruhan, sedikitnya 2.901 orang tewas dan 5.530 orang terluka dalam tragedi terbaru ini, menurut jumlah korban resmi terbaru yang dikeluarkan Selasa (12/9).
Maroko telah mengizinkan tim penyelamat dari Spanyol, Inggris, Qatar dan Uni Emirat Arab untuk datang memberikan bantuan, namun sejauh ini menolak tawaran dari beberapa negara lain, termasuk Amerika Serikat dan “Israel”.
100.000 anak terkena dampaknya
Albert Vasquez, petugas komunikasi unit Spanyol, memperingatkan pada Senin (11/9) bahwa “sangat sulit untuk menemukan orang yang hidup setelah tiga hari” tetapi menekankan “harapan masih ada”.
Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan lebih dari 300.000 orang terkena dampaknya, sepertiga dari mereka adalah anak-anak, akibat peristiwa seismik dahsyat yang terjadi setelah pukul 23.00 malam (22.00 GMT) ketika sebagian besar keluarga sedang tidur.
“Ribuan rumah telah hancur, membuat banyak keluarga mengungsi dan membuat mereka terpapar cuaca buruk pada saat suhu turun pada malam hari,” kata badan anak-anak PBB.
“Sekolah, rumah sakit dan fasilitas medis dan pendidikan lainnya rusak atau hancur akibat gempa, sehingga berdampak lebih lanjut pada anak-anak.”
Upaya pembangunan kembali diperkirakan akan berdampak besar bagi negara yang sudah mengalami kesulitan ekonomi dan kekeringan selama bertahun-tahun dan sekarang khawatir akan penurunan sektor pariwisata yang penting.
Perdana Menteri Aziz Akhannouch memimpin pertemuan pada Senin (11/9) mengenai perumahan dan rekonstruksi dan kemudian berjanji bahwa “warga yang kehilangan rumah akan menerima kompensasi,” dan rinciannya akan diumumkan kemudian. (zarahamala/arrahmah.id)