JAKARTA (Arrahmah.com) – Fotografer Kanada Michelle Siu mempublikasikan dokumentasi foto anak-anak Indonesia yang terbiasa merokok, pada sebuah situs anti-mainstream substance.com pada Senin (18/8/2014). Siu memperkenalkan Indonesia sebagai negara di mana kebanyakan orang menggunakan tembakau dan banyak memulai [kebiasaan itu] sejak anak usia dini. Sebegitu buramkah potret pendidikan anak usia dini Indonesia?
Hingga pada beberapa waktu lalu, selain melalui publikasi Sui, bocah-bocah perokok di Indonesia juga sempat ‘mendunia’ melalui karya video fenomenal bertajuk “baby smoker”. Akibatnya, Indonesia dijadikan bulan-bulanan semua kalangan internasional, mulai dari kalangan pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial bahkan agama.
Kian meningkatnya perokok berusia 10 tahun ke bawah di tanah air menyiratkan betapa rapuhnya bangunan pendidikan domestik di Indonesia. Sejatinya fenomena janggal itu adalah penyimpangan perilaku anak usia dini, dalam rentang usia 0-8 tahun menurut standar OECD.
Proyek foto ‘Marlboro Boys’ di situs tersebut di atas, Siu juga mengemukakan data tentang jumlah perokok muda di Indonesia. Pada 2010, jumlah perokok usia 10-14 tahun tercatat sejumlah 426 ribu, sebuah lonjakan dari 71 ribu pada 1995.
Di lain pihak, Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan adanya peningkatan jumlah perkokok usia 15-19 tahun. Tercatat angkanya mencapai 7,1 persen pada 1995, dan meningkat menjadi 18,3 persen pada 2013.
Angka-angka itu barangkai bungkam mebisu selama ini, hingga Lewat seri foto berjudul ‘Marlboro Boys’, Michelle Siu, menampilkan kedekatan anak-anak Indonesia dengan rokok layaknya seorang ahli hisap racun berukuran 9cm berusia dewasa. Bocah di bawah umur itu terrekam lensa Siu bukan sebagai korban paparan asap rokok sekitarnya, melainkan menghisap rokok itu secara aktif.
Yang mencoreng muka “penguasa” pendidikan Indonesia adalah foto dimana sebagian di antara mereka yang masih memakai seragam SD saat menikmati hisapan rokok di kamarnya. Jika kita tohok dengan kacamata “childhood image literature study“, maka foto anak yang merokok dengan santainya di samping seorang perempuan berkerudung yang sedang menyusui bayinya lebih sadis lagi. Selain mereka kehilangan citra kepolosannya sebagai anak-anak, kedudukan seorang ibu “pendidiknya” pun telah dicederai. Astaghfirullah, terlebih sang ibu dapat diidentikkan publik sebagai “muslimah”. Ini berarti menampar kita agar mengencangkan ikat pinggang dalam mebangun benteng peradaban bernama rumah tangga.
Bayangkan apa yang dikatakan Siu pada majalah Time bahwa, “mereka mengisap dan menghembuskannya seperti orang dewasa yang sudah merokok bertahun-tahun. Beberapa dari mereka sudah merokok 2 bungkus perhari sejak masih kecil.” Tidakkah akal penguasa bangsa ini terbangun dari keasyikannya membongkar-pasang kurikulum pendidikan agar menjadi proyek berjangkangka yang menguntungkan segelintir orang saja?
Sementara, masih ada juga mereka -setali tiga uang dengan pengeruk devisa- yang berpihak kepada industri rokok dengan mengatasnamakan “membela wong cilik”, dimana keberadaan buruh pabrik rokok dijadikan tamengnya. Seperti yang Sui tegaskan bahwa “sulit bagi pemerintah untuk benar-benar mengatur industri. Ini adalah sesuatu yang bagi mereka menghasilkan banyak uang,” pemerintah tak mengambil peduli sama sekali. Mereka hanya mengatakan “ini sulit diatasi”.
Sulit diatasi adalah sebuah alasan, dimana kambing hitamya terpotret oleh kamera Sui. Mereka adalah warung-warung penjaja rokok di dekat sekolah, warnet-warnet yang membebaskan pelanggannya keluar masuk padahal mereka masih ingusan, atau kesulitan itu mengakar karena tidak ada regulasi yang tegas tentang merokok di tempat umum.
Itulah kontroversi pengendalian rokok yang disinggung Sui dalam wawancaranya dengan Times. Meledaknya angka perokok di bawah umur menurutnya tak lepas dari regulasi rokok di Indonesia yang ia nilai masih jauh dari harapan. Subhanallah, padahal Sui adalah seorang yang bukan Muslim, namun ia begitu peduli dengan generasi penerus bangsa ini.
Sesungguhnya, itu adalah hal yang sulit, tetapi bisa diatasi. Inna maal usri yusro, di balik kesulitan ada kemudahan. Dengan demikian, sudah saatnya MUI memfatwakan haram rokok, bukan hanya membatasinya hingga usia 18 tahun saja. Sebab para bocah itu merokok tak lepas dari teladan di sekelilingnya, para orang dewasa yang tentunya juga perokok.
Apa yang akan terjadi jika semenjak kecil generasi Indonesia sudah terkontaminasi darah babi yang terdapat dalam filter rokok? Jika dia muslim, maka najis itu akan mengalir hingga ia dewasa, kecuali dia bertaubat berlepas diri dari najis tersebut. Bagaimana Allah akan menerima ibadah hamba-Nya yang terkena najis, sementara najis menghalangi rahmat-Nya dan menolak ibadahnya?
maka, sekaranglah saatnya kesadaran akan berislam sesuai tuntunan sunnah kembali dipraktikkan di dalam rumah. Sebelum terlambat, pendidikan domestik harus dikembalikan kepada fitrahnya. Tidak hanya untuk membentengi diri dari setan 9 cm, sebagaimana diungkapkan Taufik Ismail dalam puisinya tentang rokok, tetapi juga guna membentengi iman ummat ini sedari dini. Wallahu’alam bishowab. (adibahasan/arrahmah.com)