Oleh Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
(Arrahmah.com) – “Saya Jokowi, Saya Indonesia, Saya Pancasila. Kalau kamu?”
Slogan yang digaungkan Presiden Joko Widodo, yang ditulis di akun Instagram pribadinya, kemudian diunggah melalui video berdurasi 33 detik itu, sangat politis dan tendensius.
Mungkin, slogan tersebut dimaksudkan sebagai perekat keutuhan bangsa dan negara, tetapi yang terjadi bisa sebaliknya. Sebab mempersonifikasikan Pancasila dalam bentuk dirinya sebagai figure presiden, bukan mustahil menjadi faktor pemecah belah karena lawannya adalah “kamu” yang distigma anti Pancasila.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, implikasi politis dan ideologis slogan tersebut mulai terasa. Pancasila sepertinya digiring ke arah rumusan awal yang diinisiasi oleh Bung Karno, yang kemudian melahirkan Nasakom di bawah sistem demokrasi terpimpin.
Indikasi poilitik ke arah itu mulai transparan, dengan mengganti hari lahir Pancasila 18 Agustus 1945 menjadi 1 Juni 1945, yang dituangkan melalui Kepres Nomor 24 Tahun 2016.
“Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah. Dengan bismillah, dengan Keppres tanggal 1 Juni ditetapkan, diliburkan dan diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila,” kata Jokowi dalam peringatan Pidato Bung Karno di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat pada Rabu 1 Juni 2016.
Tidak semua rakyat Indonesia, tentu saja, sepakat dengan penggantian itu. Bukan saja dasar negara RI “Ketuhanan Yang Maha Esa” tertuang dalam sila pertama Pancasila 18 Agustus 1945 seperti yang dikenal sekarang. Tetapi juga, rumusan Pancasila tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan Bung Karno, berbeda jauh dengan rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Juga, sangat berbeda dengan rumusan final Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 yang konstitusional.
Oleh karena itu, penggantian hari lahir Pancasila ini berpotensi membuka jalan perpecahan bangsa Indonesia. Bagaimana bila ada pihak lain yang menginginkan hari lahir Pancasila tanggal 22 Juni 1945, yang sila pertamanya berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya?”
Mengaji Pancasila
Selama ini, Pancasila diyakini sebagai made in Indonesia asli, produk pemikiran yang digali dari rahim bumi pertiwi. Kemudian, berhasil dirumuskan sebagai ideologi dan falsafah bangsa oleh Bung Karno, hingga menjadi rumusan seperti yang kita kenal sekarang.
Sejauhmana klaim di atas memperoleh legitimasi historis serta validitas akademik? Mungkinkah ada bangsa lain dan gerakan ideologi lain yang telah memiliki Pancasila sebelum Soekarno menyampaikan pidatonya di depan sidang BPUPKI, 1 Juni 1945?
Sebagai peletak dasar negara Pancasila, Bung Karno mengaku, dalam merumuskan ideologi kebangsaannya, banyak terpengaruh pemikiran dari luar. Di depan sidang BPUPKI, Bung Karno mendeskripsikan pengakuannya:
“Pada waktu saya berumur 16 tahun, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis bernama A. Baars, yang memberi pelajaran pada saya, ‘jangan berpaham kebangsaan, tapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia”.
Tetapi pada tahun 1918, kata Bung Karno selanjutnya, Alhamdulillah ada orang lain yang memperingatkan saya, yaitu Dr. Sun Yat Sen. Di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan A. Baars itu. Sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan di hati saya oleh pengaruh buku tersebut”.
Pengakuan jujur Bung Karno ini membuktikan, sebenarnya Pancasila bukanlah produk domistik yang orisinal. Nuansa intervensi ideologi transnasional yang dikemas dalam format domistik, sangat kuat.
Misalnya, sebagai derivasi gerakan zionisme internasional, freemasonry memiliki doktrin Khams Qanun yang diilhami Kitab Talmud. Yaitu, monoteisme (ketuhanan yang maha esa), nasionalisme (berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu Yahudi), humanisme (kemanusiaan yang adil dan beradab bagi Yahudi), demokrasi (dengan cahaya talmud suara terbanyak adalah suara tuhan), dan sosialisme (keadilan sosial bagi setiap orang Yahudi). (Syer Talmud Qaballa XI:45).
Tokoh-tokoh pergerakan di Asia Tenggara, selain Bung Karno, juga merujuk pada Khams Qanun dalam merumuskan dasar dan ideologi negaranya. Dr. Sun Yat Sen misalnya, seperti disebut Bung Karno, dasar dan ideologi negaranya dikenal dengan San Min Chu I, terdiri dari: Mintsu, Min Chuan, Min Sheng, (nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme).
Asas Katipunan Filipina yang dirumuskan oleh Andreas Bonifacio, 1893, dengan sedikit penyesuaian terdiri dari : nasionalisme, demokrasi, ketuhanan, sosialisme, humanisme. Begitupun, Pridi Banoyong dari Thaeland, 1932, merumuskan dasar dan ideologi negaranya dengan prinsip: nasionalisme, demokrasi, sosialisme, dan religius.
Sedangkan Bung Karno, proklamator kemerdekaan Indonesia, pada mulanya merumuskan ideologi dan dasar negara Indonesia yang disebut Panca Sila terdiri dari: nasionalisme (kebangsaan), internasionalisme (kemanusiaan), demokrasi (mufakat), sosialisme, dan ketuhanan.
Dalam rangka ekspansi ideologi, prinsip indoktrinasi zionisme, memang cukup fleksibel. Dan fleksibilitasnya terletak pada kemampuannya beradaptasi dengan pola pikir pimpinan politik disetiap negara.
Pertanyaannya, adakah kesamaan ideologi dari para tokoh dan aktor politik di atas bersifat kebetulan. Atau memang berasal dari sumber yang sama, tapi dimainkan oleh aktor-aktor politik yang berbeda?
Dalam kaedah mantiq, dikenal istilah tasalsul, yaitu rangkaian yang berkembang, mustahil kebetulan. Artinya, sesuatu yang berpengaruh pada yang sesudahnya, pastilah bukan kebetulan.
Rumusan Pancasila versi Bung Karno, jelas memiliki kesamaan dengan doktrin zionisme yang dijiwai Talmud. Sehingga, klaim Pancasila sebagai produk domistik terbantahkan secara faktual.
Intervensi ideologi ini, berpengaruh besar terhadap perkembangan Indonesia pasca kemerdekaan. Di zaman demokrasi terpimpin, pengamalan Pancasila berwujud Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme). Sedang di zaman orde baru, praktik Pancasila berbentuk asas tunggal. Kedua model amaliah Pancasila ini, telah melahirkan ideologi politik traumatis.
Mewarisi rumusan Pancasila yang dipengaruhi ideologi asing, berarti tidak konsisten dengan semangat kemerdekaan. Muqadimah UUD 1945, menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
Dalam kaitan ini, pemerintah bertanggungjawab merealisasikan dasar dan ideologi negara, selaras dengan muqadimah UUD ’45. Seperti tertuang dalam pasal 29 ayat 1, bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Apa artinya Indonesia berdasarkan Ketuhanan YME? Menurut Prof. Hazairin, SH, ketika menafsirkan negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maknanya sangat religius. Pertama, di negara RI tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan agama. Kedua, negara RI wajib melaksanakan Syari’at Islam bagi umat Islam, syari’at Nasrani bagi umat Nasrani, dan seterustnya sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ketiga, setiap pemeluk agama wajib menjalankan syariat agamanya secara pribadi. (Demokrasi Pancasila, 1975).
Oleh karena itu, hasrat mengisi serta mengamalkan Pancasila haruslah dalam semangat kemerdekaan dan kedaulatan NKRI. Bukan dalam kerangka emosional, sebagai warisan keluarga. Apalagi dengan mendiskreditkan keyakinan agama akibat intervensi ideologi asing, bukanlah mentalitas Pancasilais sejati.
(*/arrahmah.com)