Oleh Ummu Aidzul
Tenaga Pendidik
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jabar, Adiyana Slamet memaparkan pelanggaran terhadap program ramah anak dan perempuan selama 3 tahun terakhir tertinggi terjadi di daerah Jawa Barat. Terdapat 136 pelanggaran berasal dari aduan dan laporan masyarakat. Hal ini disampaikan pada Kegiatan Literasi Media yang bertajuk “Siaran Ramah Anak dan Perempuan” bersama puluhan ibu-ibu majelis taklim di Masjid Besar Soreang, Kabupaten Bandung, pada hari Rabu, 13-03-2024. (kpi go.id, 14/3/2024)
Menurut Praktisi Komunikasi Jabar Neneng Athiatul Faiziyah.Tayangan tidak ramah anak dan perempuan dapat menimbulkan banyak kerugian mulai dari membuat lupa waktu, meningkatkan pola hidup konsumtif, membuat angan-angan menjadi terlalu tinggi, mengganggu penglihatan hingga menirukan perilaku yang tidak pantas. (kpi.go.id, 14/3/2024)
Tayangan tidak ramah anak semakin marak di masa sekarang ini dikarenakan beberapa faktor, antara lain: Pertama, paham sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Individu masyarakat menjadi tidak peduli dengan perkara halal atau haram atas suatu perbuatan. Buah dari sekularisme yakni liberalisme mengedepankan hak asasi manusia menyandarkan perbuatan atas dasar kebebasan pribadi selama tidak melanggar hak orang lain. Kedua, industri media yang dikuasai oleh para kapital. Menjadikan media sebagai alat meraup cuan di samping sarana penyebaran pemahaman sekularisme liberalisme dengan konten unfaedah dan tidak mendidik. Alhasil, tayangan yang merusak moral banyak diproduksi. Ketiga, Negara abai dengan tanggung jawabnya menjaga moral bangsa dari tontonan dan tayangan negatif. Baik pngusaha media maupun penguasa memiliki tujuan yang sama yakni keuntungan materi. Keempat, negara Indonesia yang mengekor Barat tak memiliki kewenangan mengatur intruksi dan perilaku masyarakat sesuai dengan adat ketimuran atau norma agama, sehingga tidak memiliki jati diri untuk menangkal pemahaman Barat. Ikut terbawa arus dan merasa bangga dengan westernisasi.
Selain itu, Covid-19 diduga turut serta memperburuk kualitas tayangan media dan dampaknya terhadap masyarakat terutama anak-anak. Wabah dahsyat yang mengharuskan masyarakat untuk “stay at home”, sehingga masyarakat menjadi “mager” dan memilih untuk menghabiskan waktu dengan menonton. Maka televisi dan media onlinelah yang menjadi teman setia. Kondisi ini cukup menggiurkan bagi kapitalis di industri media. Bermunculanlah konten hedonis lainnya semisal Netflix, Disney+, dan podcast.
Ditambah lagi dengan adanya siaran digital menjadikan bertambahnya jumlah stasiun tv di Indonesia menjadi 32. Maka untuk menarik penonton, mereka pun membuat tayangan yang semakin bervariatif dan menarik.
Namun dibalik bisnis hiburan yang semakin marak, banyak efek negatif yang dihasilkan. Karena tujuannya untuk menarik penonton yang sebanyak-banyaknya sehingga terkadang banyak pelanggaran yang dilakukan. Hasilnya adalah tayangan yang tidak ramah anak dan perempuan. Tayangan ini menimbulkan efek negatif bagi penontonnya. Bahkan yang terburuk adalah kata-kata kasar maupun perilaku buruk yang dengan mudah ditiru oleh anak-anak.
Sementara keberadaan Komisi Penyiaran tidak mampu menyaring dan membatalkan tayangan yang beredar. Tetap saja yang berkuasa adalah pemilik stasiun TV. Dan masyarakatlah yang secara mandiri harus mampu menyaring tontonan yang dilihatnya.
Sejatinya, negara dan Komisi Penyiaran Indonesia bisa membuat rambu-rambu tayangan, seperti tidak berisi kata-kata kasar, busana yang sopan, tidak menampilkan muatan seks, tidak menampilkan tarian erotis, dsb. Masyarakat juga bisa membuat aduan jika terdapat tayangan yang tidak ramah anak dan perempuan. Namun bukan berarti tayangan yang serupa tidak lagi dibuat.
Hal-hal seperti ini terus terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Sistem ini melihat segala sesuatu hanya dari ada tidaknya keuntungan yang diperoleh. Bukan dari norma maupun kemaslahatan umat. Sehingga meskipun secara norma tayangan tersebut melanggar tapi jika peminatnya banyak dan masyarakat tidak ada yang protes maka tidak menjadi persoalan.
Padahal seharusnya negara yang memegang kendali atas berjalannya media. Negara bisa melarang suatu tayangan yang dinilai tidak bermanfaat dan bisa merusak moral masyarakat. Janganlah menyerahkan wewenang kepada pemilik modal. Negara dalam sistem kapitalis berlepas tangan dari tanggung jawabnya dalam menjaga moral rakyatnya. Negara seharusnya menerapkan aturan yang ketat dalam bisnis media penyiaran ini karena mengandung hajat hidup orang banyak.
Berbeda dengan negara dalam sistem Islam. Media akan menjadi salah satu jalan untuk menyiarkan dakwah Islam. Sehingga tayangan yang tidak sesuai dengan syariat tidak boleh ditayangkan. Selain itu negara akan memblokir tontonan yang mengandung pemahaman lain di luar Islam. Negara akan tegas menindak setiap pelaku pelanggaran terhadap ketentuan media.
Semua ini bisa terjadi karena sistemnya berlandaskan syariat Islam yang berasal dari Allah Swt. Pemimpin dalam sistem Islam juga akan takut jika melanggar syariat karena kepimpinan ini akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin…“(HR Bukhari)
Maka tayangan tidak ramah anak dan perempuan akan senantiasa tumbuh dalam sistem kapitalisme. Dan hanya sistem Islam yang akan dengan tegas melarangnya. Maka upaya untuk menerapkan sistem Islam secara kaffah haruslah dilakukan untuk terwujudnya ketentraman dan ketenangan hidup. Wallahualam bisshawab.