JAKARTA (Arrahmah.com) – Keberadaan “Israel” di Tolikara sepekan terakhir ini menjadi pusat perhatian setelah ramai ditemukannya bendera “Israel” dan lambang bintang david yang dipasang di rumah-rumah warga dan di tempat umum. Terlebih, diberitakan adanya lembaga “Israel” yaitu KHAHZ (Kehilat Ha’seh Al Har Zion) yang melakukan kerjasama dengan proxinya Gereja Injili Di Indonesia (“GIDI”) dan melakukan sejumlah aktivitas di Tolikara. Bagi orang awam, eksistensi bendera dan lambang Israel di Tolikara dianggap sebagai bentuk kerjasama antara Indonesia dengan Israel.
Komisi I DPR meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan fungsi intelijen negara berjalan dan mampu mendeteksi akan permasalahan yang menyebabkan banyaknya bendera dan simbol-simbol “Israel” di Tolikara, Papua. Bahkan, masyarakat disana sampai dipaksa dan dikenai denda Rp500 ribu apabila tidak mau mengecat rumah mereka dengan simbol bendera “Israel”. Padahal Israel dan Indonesia tidak ada hubungan kerja sama.
“Pastikan fungsi intelijen negara berjalan dan mampu mendeteksi akar masalah yang terdapat tiga hal yakni pembiaran, memang ada mobilisasi terencana atau murni konflik lokal masyarakat. Setelah itu ditetapkan baru diselesaikan masalahnya,” kata Anggota Komisi I DPR, Bobby Adhityo Rizaldi kepada Harian Terbit, Senin (27/7/2015).
Dia mengatakan, apabila terjadi pembiaran oleh pihak intelijen negara maka rotasi aparat intelijen dan keamanan disana. Sedangkan, bila ada ‘aktor’ mobilisasinya harus diusut sampai tuntas.
Kemudian, bila murni konflik lokal, mediasi antar masyarakat dan netralisir dengan memberikan aktifitas bersama untuk saling toleransi antar umat beragama.. “Jadi beda penyelesaian konfliknya,” jelasnya.
Selain itu, sambungnya, Presiden Jokowi perlu tugaskan KaBIN, Panglima TNI, SKPD setempat untuk samakan persepsi tentang akar permasalahannya. Sebab, paparnya kembali, apabila terdapat mobilisasi terencana maka artinya konfliknya tidak murni, di rekayasa suatu pihak dan mediasi tidak akan berhasil. Sedangkan, apabila ada pembiaran harus di cek kebenarannya karena aparat tidak ‘mampu’ atau ada agenda lain.
“Kalau hanya menangkan ‘korlap’ nya doang, ya tidak akan pengaruh juga, rentan akan berulang suatu saat. Jadi Presiden harus langsung gunakan wewenangnya apakah rotasi, atau budget untuk mediasi atau menambah personil aparat keamanan disana,” paparnya.
Politisi Partai Golkar ini juga mengakui, Komisi I DPR juga akan mengklarifikasi soal ini dengan KaBIN. “Memang The David Star ini identik dengan simbol legendaris Yahudi yaitu Hexagram. Hal yang sama juga pernah menjadi perdebatan seperti simbol Indosat dan juga Logo UIN yang menggunakan turunan dari Hexagram ini,” jelasnya.
Prinsipnya, Komisi I DPR meminta pemerintah harus berhati-hati dalam tangani masalah ini. Sebab, dia berharap jangan sampai ada provokasi yang rentan akan menimbulkan gejolak rasisme SARA disana. “Utamanya, bagaimana sistem deteksi dini di Tolihara tidak berjalan. Padahal tembusan surat yang kontroversial itu dikirim kemana-mana. Jadi itu perlu di identifikasi masalah awalnya,” tegasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Elnino M Husein Mohi merasa aneh di Tolikara terjadi peristiwa seperti itu. Sebab, apabila simbol Islam diberantas dengan cara keras sementara simbol “Israel” dibiarkan atau pakai cara persuasif. “Saya tidak alergi dengan Israel. Saya alergi dengan teroris, yaitu penebar teror,” kata Elnino.
Politisi Partai Gerindra ini juga mempertanyakan tugas pokok dan fungsi Densus 88 Mabes Polri yakni apa hanya khusus untuk menangkap dan menembak teroris yang bawa-bawa nama muslim atau apabila teroris yang bawa simbol Israel bukan tugas densus. Namun, katanya, hal itu semuanya tergantung Presiden menyikapinya seperti apa. “Tergantung presidennya sih. Kalau presidennya pancasilais, pasti mengutamakan keadilan. Kalau tidak adil, ya berarti presidennya adalah anti pancasila,” jelasnya.
Tidak ketinggalan, Elnino memberikan ultimatum kepada Presiden Jokowi dalam menangani kasus ini. “Sekali lagi, ketegasan presiden diuji dalam hal-hal seperti ini. Jangan hanya mengaku tegas ketika kampanye padahal pada aslinya lebay,” pungkasnya. (azm/arrahmah.com)