(Arrahmah.com) – Tanpa peduli perasaan umat Islam, Charlie Hebdo dan Ahok berulah memancing kemarahan umat. Nilai Liberalisme budaya Barat dan diri Ahok telah kehilangan hal yang esensi yang harus ada pada manusia yaitu sikap menghormati dan memuliakan. Kebebasan kemudian diartikan kebolehan melakukan apapun termasuk penghinaan. Kita sungguh menyayangkan sikap sebagian tokoh-tokoh Muslim yang tidak merespon penghinaan terhadap Islam dengan kemarahan. Justru dengan ketidaktegasan sikap itulah, kaum Muslim terus-menerus dihina. Penghinaan terhadap Islam justru harus membuat umat Muslim bersatu. Dengan begitu muncul ketakutan di dalam diri orang-orang yang ingin menyudutkan Islam.
Tidak semua marah itu dilarang. Marah karena agama justru disyariatkan. Para ulama mengatakan bahwa adakalanya marah justru harus (wajib). Misalnya, marah atas penghinaan terhadap Rasul saw., para nabi dan ummahatul mukminin; atas penodaan terhadap al-Quran dan as-Sunnah; atas pelecehan Islam; dan atas kemaksiatan-kemaksiatan lainnya.
Walhasil, marah yang terpuji adalah kemarahan karena Allah, karena al haq, dan untuk membela agamaNya. Khususnya ketika perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar. Karena rebutan jalur saat mengendara, orang bisa melontarkan sumpah serapah. Karena rebutan penumpang, antar kernet angkutan kota bisa saling caci-maki. Hanya karena sepakbola, antara pendukung masing-masing klub bisa saling tawuran. Saat jagonya dikalahkan dalam Pilkada, parapendukungnya tak sedikit yang kemudian melakukan aksi anarkis dan perusakan. Saat foto presidennya diinjak-injak, para pemujanya mengutuk habis-habisan.
Di sisi lain, saat Al Qur’an dan baginda Rasulullah SAW dihina, banyak Muslim diam seribu bahasa. Jangankan marah, tergetar hatinya pun tidak. Saat Al Quran diinjak-injak oleh orang-orang kafir, tak sedikit Muslim yang adem-ayem saja. Jangankan marah, sedikit peduli pun tidak. Saat rutusan bahkan ribuan umat Islam di negeri lain dibantai, kebanyakan kita pun hanya mengelus dada. Saat tempat-tempat suci seperti masjid diledakkan, saat hijab Muslimah dilecehkan, kebanyakankita pun tak tergerak untuk sekadar menunjukkan amarah. Bahkan pada saat sebagian umat marah dengan melakukan demonstrasi mengutuk berbagai penodaan dan penghinaan simbol-simbol kesucian Islam dan kaum Muslim, ramai-ramai para penguas aatau pejabat negara berusaha meredam amarah umat tersebut, bahkan tak segan menghalangi dengan kekerasan para demonstran itu.
Secara ekonomi benar-benar negeri ini sudah terkuras olehasing. Secara keilmuan idealisme atas ilmu juga luntur dengan pola kapitalisme. Normalnya kita harus marah atas kondisi ini, dengan kemarahan yang benar. Kemarahan ini harus disalurkan menuju sebuah keinginan dan perjuangan untuk membuat suatu perubahan ke arah kebenaran. Perubahan dengan metode yang diajarkan olehRasulullah Muhammad SAW.
Islam sebagai agama yang sempurna tentu mempunyai aturan tentang marah. Marah bukan hanya boleh, bahkan harus, saat kehormatan Allah SWT dan Rasul-Nya dilanggar. Sebaliknya, marah justru dilarang jika didorong oleh sentimen etnis, kelompok, golongan atau kebangsaan (‘ashabiyah) karena semua itu hanya bersumber dari hawa nafsu dan setan.
Namun dalam kondisi tertentu, Baginda Rasulullah SAW pun bisa marah, tentu semata-mata karena Allah SWT. Ada riwayat yang menyatakan: SesungguhnyaNabi SAW tidak pernah marah terhadap sesuatu. Namun, jika larangan-larangan Allah dilanggar, ketika itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi rasa marahnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Perang kaum kafir terhadap Islam dan kaum Muslim telah sampai pada tingkat memicu kemarahan setiap Muslim yang mukhlis. Karena itu, dalam banyak hal kita pun harus marah, misal: saat kehormatan Islam dilecehkan, saat orang-orang kafir mengolok-olok Islam, saat orang-orang liberal mengacak-acak Al Quran, saat para penguasa membuat UU yang bertentangan dengan Islam dan melakukan berbagai kezaliman, saat saudara-saudara sesama Muslim dihinakan bahkan dibantai tanpa belas kasihan, dsb. Dalam halseperti ini kitabukan hanya boleh marah, bahkan harus marah. Jika mampu kita wajib mengubahnya dengan tangan (kekuasaan).
Ainun Dawaun Nufus, (Muslimah HTI Kab. Kediri)
(azm/arrahmah.com)