JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Sampang, KH Buchori Maksum mengaku tidak tahu menahu soal pemberitaan islah (perdamaian) antara warga Sunni (dalam hal ini NU Sampang) dengan warga Syiah di pengungsian Rumah Susun Puspo Agro, Surabaya.
“Itu semua rekayasa dan manipulasi. Tidak ada yang hadir dengan menyebut islah (rekonsiliasi) tanpa kehadiran ulama dan umara,” demikian disampaikan Kiai Buchori Maksum kepada hidayatullah.com, Selasa (24/09/2013).
Menurut Buchori Maksum, masyarakat Madura berbeda dengan masyarakat lain, di mana ummatnya begitu hormat dan taat pada para ulamanya.
“Ibaratnya, jika ada daun-daun yang jatuh di Madura, ulamanya pasti tahu,” tambahnya. Karena itu dirinya mengaku heran, mengapa ada acara sepenting ini, ulama-ulama Madura dan para umara (pemimpin pemerintah) tidak tahu-menahu.
Karenanya ia yakin, pasti ada rekayasa di balik peristiwa ini. Sebab, sebelumnya, bersama para tokoh, ulama/habaib dan umarah, pihaknya sudah menyusun masalah ini dengan berhati-hati. Bahkan sudah disampaikan draft tertulisnya kepada Presiden Susilo B Yudhoyono saat ke Surabaya akhir Juli 2013.
Hidayatullah.com juga menghubungi Haji Abdul Manan, Ketua Tanfidziyah Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Kecamatan Omben, Sampang dan KH Syaifuddin, Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum Kecamatan Omben soal berita ini.
Yang cukup mengagetkan, Abdul Manan dan Kiai Syaifuddin, mengaku tidak tahu-menahu ada acara sepenting ini.
“Sampai hari ini kami tidak tahu menahu acara ini (islah, red),” ujarnya kepada hidayatullah.com melalui sambungan telepon.
Seperti diketahui, Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum Kecamatan Omben, Sampang, Madura ini bulan Rabu (24/10/2012) pernah menjadi fasilitator kembalinya 30 pasangan keluarga pengikut Tajul Muluk, tokoh pembawa ajaran Syiah di Kecamatan Omben, yang menyatakan diri kembali pada keyainan semula, Ahlus Sunnah Wal Jamaah (NU).
“Lagi pula, jika ada acara sepenting itu, mengapa pilihan tempatnya di Puspo Agro, bukan di tempat netral dengan dihadiri banyak pihak,” ujar Abdul Manan.
Sementara seorang relawan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur, Khanza yang ikut dalam acara ini mengaku agak meragukan acara ini disebut deklarasi perdamaian, pasalnya tidak terlihat keterwakilan ulama, pemerintah dan tokoh-tokoh agama.
“Kalau deklarasi perjanjian seharusnya ada Kiai, tokoh, dan pemerintah, mereka hanya warga biasa,” ucap Khanza.
Khanza bahkan meragukan identitas rombongan yang datang hari Senin sore di Puspo Argo.
“Koordinatornya saja berasal dari Pemekasan bukan dari tempat kerusuhan terjadi, anggota yang datang tidak ada yang membawa KTP,” ungkap Khanza.
(azmuttaqin/arrahmah.com)