TEL AVIV (Arrahmah.id) – Kesaksian terbaru mantan tawanan ‘Israel’ di Gaza semakin menegaskan perbedaan perlakuan antara pejuang Palestina dan otoritas ‘Israel’ terhadap tawanan Palestina di pusat-pusat penahanan mereka.
Mantan tawanan ‘Israel’ di Gaza, Liat Beinin Atzili, berbicara dengan surat kabar ‘Israel’ Haaretz. Dalam kisahnya yang luar biasa tentang apa yang telah terjadi, Atzili mengatakan bahwa rumah warga sipil tempat ia ditawan tidak memiliki kendali atas penahanan maupun pembebasan mereka.
Seorang warga Amerika-‘Israel’ yang sebelumnya ditawan oleh Gerakan Perlawanan Palestina, Hamas, mengatakan kepada Haaretz, bahwa dia diperlakukan secara manusiawi – yang sangat kontras dengan bagaimana tahanan Palestina diperlakukan oleh otoritas ‘Israel’.
Liat Atzili dibebaskan pada 29 November, selama gencatan senjata selama satu pekan antara Hamas dan pemerintah ‘Israel’.
Dia menghabiskan total 54 hari di Gaza di mana dia dilaporkan ditahan di sebuah apartemen di kota Khan Yunis, di Jalur Gaza selatan.
Momen Penangkapan
Menurut Haaretz, Atzili diculik sekitar pukul 11 pagi pada 7 Oktober, ketika “dua pria bersenjata berseragam menyerbu kamar yang tidak terkunci” tempat dia menginap. Ketika wartawan bertanya apakah para penculik itu “menakutkan”, dia berkata: “Tidak terlalu menakutkan.”
“Mereka membawa senjata, tetapi mereka tidak mengancam saya. Mereka berkata, ‘Kamu tidak perlu takut, kami tidak akan menyakitimu, ikutlah dengan kami.’ Mereka memberi saya waktu untuk berpakaian dan bersiap, tetapi saya tidak mampu melakukannya karena saya masih syok,” lanjutnya.
Atzili mengatakan bahwa para lelaki itu tidak menyentuhnya dan berbicara kepadanya dalam bahasa Inggris, seraya berkata “sepanjang waktu” agar tidak khawatir.
“Mereka tampak sangat khawatir tentang saya dan ingin saya makan dan minum. Mereka berkata, ‘Kami akan melindungimu, kamu aman di sini, tidak akan terjadi apa-apa padamu.’ Mereka membiarkan saya mandi, berganti pakaian. Mereka mencuci pakaian saya,” kata Atzili.
Pizza Enak dari Khan Yunis
Meskipun ‘Israel’ memberlakukan blokade penuh terhadap Gaza sejak 9 Oktober, yang mengakibatkan kelaparan yang meluas di kalangan penduduk Palestina di Jalur Gaza, para tawanan ‘Israel’ tidak dibiarkan kelaparan.
Sebaliknya Atzili, yang merupakan seorang vegetarian, diberi perlakuan khusus.
“Mereka terkejut karena saya seorang vegetarian. “Jadi, apa yang Anda makan?” tanya mereka. Saya katakan kepada mereka bahwa saya sangat suka pizza. Jadi salah satu dari mereka naik sepeda dan membawa pizza dari Crispy Pizza di Khan Yunis,” katanya.
Menurut para mantan tawanan ‘Israel’, mereka mendapat buah dan sayur saat diminta. “Kami tidak mengalami kelaparan. Mereka berusaha memastikan bahwa kami punya cukup makanan,” katanya.
‘Tuhan memberkati’
Atzili dilaporkan dipindahkan ke sebuah apartemen tempat dia tinggal bersama tawanan lain, Ilana Gritzewsky berusia 30 tahun, yang juga dibebaskan pada 30 November, sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tawanan.
“Ilana dan saya tinggal bersama mereka selama masa itu. Mereka berusia sekitar 30 tahun. Mereka tidak bersenjata atau berseragam. Kami tinggal di apartemen itu selama sekitar 10 hari dan kemudian dipindahkan ke apartemen lain. Begitulah,” kata Atzili.
“Tentu saja saya takut, terutama pada awal-awal,” katanya. “Namun, mereka terus mengatakan kepada kami bahwa Hamas menginginkan kesepakatan, bahwa kesepakatan itu akan segera terjadi, dan bahwa tugas mereka adalah melindungi kami. Bahwa demi kepentingan mereka agar kami tetap dalam kondisi baik.”
“Setelah beberapa hari, cukup jelas bahwa mereka tidak akan menyakiti kami. Saya benar-benar takut mereka akan memindahkan kami ke orang lain.”
Menurut Atzili, para penjaga itu adalah seorang guru dan seorang pengacara. “Keduanya sudah menikah dan masing-masing memiliki seorang anak. Istri salah satu dari mereka datang ke apartemen itu suatu hari dengan bayi mereka yang baru lahir,” katanya.
Ketika ditanya apakah mereka berafiliasi dengan Hamas, dia berkata: “Saya dapat memahami sedikit tentang posisi Hamas dalam kehidupan mereka. Mereka banyak berbicara tentang kemiskinan di Jalur Gaza, tentang betapa sulitnya meninggalkannya.”
Atzili mengatakan bahwa mereka telah berbincang lama dengan para penjaga mereka. “Mereka ingin kami melihat mereka sebagai manusia, dan kami ingin mereka melihat kami sebagai manusia. Jadi, percakapan tentang keluarga, tentang kehidupan kami pun dimulai, dan itu berhasil,” jelasnya. “Saya benar-benar bergantung pada orang-orang itu. Saya ingin mereka menyukai saya, saya ingin mereka mengenal saya, saya ingin mereka peduli pada saya. Begitulah cara Saya bertahan hidup.”
Wanita itu juga mengatakan bahwa ketakutan awal bahwa mereka mungkin mengalami pelecehan seksual dengan cepat menghilang.
“Awalnya kami sangat khawatir akan terjadi sesuatu, bahwa kami akan mengalami pelecehan seksual. Namun setelah itu kami paham bahwa kami tidak akan diperlakukan semena-mena, mereka tetap dalam batasan,” katanya.
Ketika ditanya tentang momen saat mereka dibebaskan, dia berkata: “Sebelum dia (pejuang Hamas) meninggalkan kami, dia berkata, ‘Semoga beruntung, semoga Tuhan memberkati Anda.’ Kami mengucapkan terima kasih kepadanya. Kami saling menepuk bahu.”
“Di satu sisi, ini adalah kejahatan yang mengerikan, apa yang mereka lakukan kepada kami, dan fakta bahwa mereka memilih untuk berpartisipasi di dalamnya,” katanya. “Di sisi lain, mereka memperlakukan kami secara manusiawi dengan cara yang memungkinkan kami untuk melewati masa itu dengan baik, secara keseluruhan.”
Atzili bertemu dengan Presiden AS Biden pada awal Juli, dan mengatakan bahwa dia adalah orang pertama yang menelepon orang tuanya untuk memberi selamat pada mereka pada hari dia dibebaskan dari Gaza.
Keluarganya tidak menerima pesan apa pun dari pemerintah ‘Israel’, yang menurut Atzili tidak mengecewakannya karena “ini adalah perbedaan yang jelas mencerminkan peran kepemimpinan di berbagai tempat”.
Atzili mengatakan kepada Haaretz bahwa ia tetap berkomitmen pada perdamaian setelah masa penahanannya, yang dipermudah karena tidak mengetahui sepenuhnya apa yang terjadi di Nir Oz. Namun, ia memahami bahwa warga ‘Israel’ lainnya, termasuk keluarga tawanan dan korban, mungkin merasa lebih marah dan lebih dendam.
Ia mengatakan bahwa ia masih memikirkan apa yang terjadi pada orang-orang di Gaza sementara perang terus berlanjut, dan menuduh pemerintahnya telah “mengorbankan para sandera demi kelangsungan hidup politiknya”. (zarahamala/arrahmah.id)