DOHA (Arrahmah.id) – Mantan perdana menteri Qatar Hamad bin Jassim memperingatkan pada Sabtu (14/1/2023) bahwa gagalnya upaya internasional untuk memperbarui kesepakatan nuklir Iran 2015 dapat menyebabkan perang di kawasan Teluk.
Dalam serangkaian twit, mantan perdana menteri sekaligus mantan menteri luar negeri itu mengatakan kegagalan mencapai kesepakatan dengan Iran akan mengancam keamanan dan stabilitas kawasan.
“Situasi di wilayah Teluk kita telah menjadi penuh bahaya dan mengharuskan setiap orang untuk terus memperhatikan dan mengantisipasi segala kemungkinan. Barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat, belum mencapai kesepakatan yang akan mengembalikan perjanjian nuklir dengan Iran.”
“Kami tahu bahwa “Israel” berusaha keras untuk mendapatkan beberapa peralatan dan senjata yang memungkinkannya untuk mengebom sasaran Iran yang dianggapnya sebagai ancaman besar. Namun, pihak Amerika masih enggan untuk menyediakan senjata-senjata itu kepada “Israel”.”
Selama lebih dari satu dekade, “Israel” mengancam akan menyerang fasilitas nuklir musuh regionalnya jika menganggap diplomasi kekuatan dunia dengan Teheran menemui jalan buntu.
Perang bayangan antara “Israel” dan Iran bisa disaksikan dari serentetan serangan terhadap kapal-kapal di Teluk dari kedua sisi dimana mereka saling tuduh satu sama lain.
“Jika pihak-pihak tidak mencapai kesepakatan nuklir baru dengan Iran, dan Amerika Serikat menyediakan “Israel” senjata yang dibutuhkannya, maka akan terjadi eskalasi militer yang dapat menggoyahkan keamanan dan stabilitas di kawasan kita dan akan memiliki dampak ekonomi, politik yang mengerikan serta konsekuensi sosial,” lanjut bin Jassim di Twitter.
Dia menekankan perlunya mengatasi masalah yang ada “secara damai” dengan AS, memperingatkan bahwa Teluk akan menjadi yang pertama kalah jika terjadi kekerasan.
Pejabat Qatar terdengar “kurang optimis” tentang kesepakatan yang dicapai tetapi tidak mengesampingkan perubahan negosiasi yang tiba-tiba dan positif.
Pernyataan Jassim muncul sehari setelah Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional, Rafael Grossi, mengatakan bahwa pembicaraan dengan Iran telah gagal.
Berbicara dari Vatikan awal pekan ini, Grossi mengakui ada “kebuntuan” dengan negosiasi internasional yang “rusak” atas “masalah yang mudah berubah dan berbahaya.”
Mantan presiden AS Donald Trump menarik diri dari perjanjian tersebut pada 2018 dan menerapkan kembali sanksi ekonomi yang melumpuhkan terhadap Iran. Sebagai gantinya, Iran mulai memproduksi uranium yang diperkaya hingga 60 persen.
Pembicaraan untuk menghidupkan kembali pakta itu dimulai pada April 2021 tetapi terhenti dalam beberapa bulan terakhir di tengah ketegangan antara Iran dan pihak lain dalam kesepakatan itu.
Ada juga upaya pemulihan hubungan antara Iran dan saingan regional lamanya, Arab Saudi. Tidak seperti Riyadh, negara-negara seperti Qatar, Kuwait, dan Oman telah lama menjalin hubungan yang relatif lebih baik dengan Teheran. (zarahamala/arrahmah.id)