JAKARTA (Arrahmah.com) – Ada catatan menarik dari diskusi Forum Kajian Sosial dan Kemasyarakatan (FKSK) kemarin, Rabu (24/11), khususnya dari mantan mujahid, Nasir Abbas. Nasir Abbas yang selalu mengaku sebagai mantan anggota Jamaah Islamiyah dan kini telah menjadi “bagian” dari tim Densus 88 tersebut mengaku ogah bela Ustadz Abu. Apa saja yang diungkapkan “bintang” iklan proyek deradikalisasi tersebut?
Banyak pihak menilai, penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir adalah bentuk kezaliman yang dilakukan Densus 88. Tak ada bukti kuat Ustadz Abu melakukan tindakan terorisme. Bukan sesekali Ustadz Abu sering kali menyebut, bahwa para pelaku pengeboman itu sebagai mujahid yang salah jalan. Tapi kenapa Ustadz Abu Bakar Ba’asyir kembali ditangkap untuk kedua kalinya?
Usai diskusi Forum Kajian Sosial dan Kemasyarakatan (FKSK) yang digelar oleh Forum Umat Islam (FUI) di Jakarta, Arrahmah menemui “mantan mujahid” Nasir Abbas. Ketika ditanya pendapatnya soal penangkapan Ustadz Abu Bakar Bakar Ba’asyir, sambil tersenyum, Nasir Abbas hanya menjawab: “No comment.”
Saat Arrahmah mencecar pertanyaan, kenapa No comment? Sebegitu berbahayakah Ustadz Abu hingga harus dijebloskan kembali ke dalam penjara? “Saya tidak mau bicara soal Ustadz Abu Bakar Ba’asyir,” tandas Nasir Abbas enteng.
Seperti diketahui, Nasir Abbas yang mengaku sebagai mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI) ini, telah menjadi “bagian” dari tim Densus 88. Ia kini menjadi bintang iklan kampanye deradikalisasi pencegahan dan penanggulangan teroris di televisi.
Ketika ditanya, Anda lebih suka disebut apa, mantan teroris kah, sahabat Densus atau bintang iklan? “Terserah orang mau bilang saya apa,” jawabnya ringkas.
Lalu perlukah pembelaan terhadap mereka yang salah tangkap dengan tuduhan terlibat kasus terorisme? “Itu hak mereka, silahkan saja,” tandas Nasir setengah hati.
Artinya, apakah Ustadz Abu tak perlu dibela, begitu? Bukankah ada kezaliman yang dilakukan Densus 88 terhadap beliau? “Kalau itu saya no comment,” lagi-lagi Nasir Abbas mengelak.
Mujahid atau Sahabat Densus?
Tak dipungkiri, banyak orang meragukan Nasir Abbas sebagai seorang mujahid, sekalipun ia pernah berjihad ke Afghanistan. Tatkala banyak rekan-rekan seperjuangan lebih memilih tutup mulut atau bicara hati-hati ketika bicara soal terorisme, Nasir Abbas justru berceloteh, begitu bersemangat bicara deradikalisasi dan terorisme. Akibat nafsunya yang menggebu-gebu “menelanjangi” para mujahid dengan tuduhan ekstrimis, membuat Nasir harus rela disebut sebagai pengkhianat perjuangan.
Kini semua orang tahu, Nasir Abbas menjadi “Guru spiritual Densus 88”. Kemana ada Hendropriyono, disitu ada Nasir Abbas. Dimana ada Nasir Abbas, disitu ada Densus 88 yang mengawalnya, meski tak terlihat kasat mata.
Almarhum Imam Samudra dalam bukunya Jika Masih ada yang Mempertanyakan Jihadku, menyebut Nasir Abbas sebagai Polisi Nasir. “Kalau bukan polisi, mana mungkin, ia (Nasir Abbas) bisa berceloteh tentang peristiwa Bom Bali II. Mungkin saja dulu ia pernah berjihad di Afghanistan. Tapi itu dulu sekali sewaktu tauhidnya masih beres,” ungkap Imam Samudra tentang Nasir Abbas.
Imam Samudra juga menegaskan, seseorang yang telah bergabung dengan detasemen murtad, maka ucapannya tidak dapat dipercaya. Ketika semua orang tahu teman-teman Nasir adalah para polisi, maka kita pun tahu siapa Nasir sesungguhnya! Paling tidak, Nasir adalah boneka. Sedangkan polisi (khususnya Densus 88) adalah mesinnya Australia. Australia adalah sekutu AS, maka saya tidak ragu untuk menyatakan bahwa Nasir adalah boneka penjajah.
“Boneka Nasir dari (negeri) seberang. Habis manis sepahnya dibuang. Nasir dimanfaatkan boneka dari negeri seberang, agar umat Islam tertarik, terpengaruh, simpati, dan berpihak kepada para penjajah, disadari atau tidak,” tulis Imam Samudra geram.
Di setiap forum dan berbagai diskusi, Nasir Abbas selalu berdalih, niat dan misinya adalah untuk amar ma’ruf nahi munkar. Ia merasa dirinya sedang berdakwah untuk meluruskan pandangan salah soal jihad. Di depan Forum Sosial dan Kemasyarakatan FKSK), Nasir bahkan bertekad untuk selalu berjihad, seperti halnya dulu ia berjihad ke Afghanistan.
“Saya sedang menegakkan kalimatillah. Ini juga bagian dari jihad. Suatu keharusan, jika jihad terus berkelanjutan sampai kiamat. Itu kewajiban umat Islam. Selama ini saya selalu mengkampanyekan, Islam bukan teroris. Dulu saya pernah jihad ke Afghan. Maka saya tidak akan mundur untuk terus berjihad,” kata Nasir.
Tapi nampaknya, Nasir Abbas sudah lupa dan terlanjur nyaman dibelai polisi, khususnya Densus 88. Nasir kini sudah mendapat posisi baru sebagai Juru Bicara Densus 88, dimana pun ia bicara soal terorisme, Nasir Abbas selau siap berbagi. Kocek Nasir sudah begitu tebal dari jasanya memberikan informasi kepada polisi.
Apalagi tampilnya Nasir Abbas sebagai bintang iklan kampanye deradikalisasi pencegahan dan penanggulangan terorisme di televisi, telah memperkukuh dirinya sebagai “hero” bagi Densus 88. Nasir pun tersenyum dengan bangganya atas pengukuhannya itu.
Jika Nasir berniat berdakwah, kenapa ia tidak mendakwahi saja Densus 88 yang kerapkali melakukan salah tangkap dan membunuh tanpa mempertimbangkan asas praduga tak bersalah. Juga kenapa ia tidak membela Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang terzalimi.
Padahal ia tahu, Ustad Abu adalah korban rekayasa AS dan sekutunya yang ingin Pimpinan Pesantren Ngruki itu menghabiskan usianya di dalam penjara. Bukti, Nasir dengan mulut manisnya telah berbohong dengan begitu lihainya atas nama dakwah, menegakkan kalimatillah dan amar maruf nahi mungkar.
(Adhes Satria/arrahmah.com)