(Arrahmah.com) – Penerbit Manjaniq Media, Surakarta pada bulan Dzulqa’dah 1433 H /Oktober 2012 M ini menerbitkan sebuah buku karya ulama dan komandan mujahdin Al-Qaeda yang belum lama ini gugur, syaikh Abu Yahya Al-Libi. Buku yang diberi judul menantang “Ramai-ramai mengkafirkan para pembela thaghut, haruskah mengkafirkan setiap personilnya?” itu merupakan terjemahan dari edisi bahasa Arab yang berjudul Nazharat fi Al-Ijma’ Al-Qath’i.
Latar belakang penulisan buku
Sistem pemerintahan sekuler yang memerintah negeri-negeri kaum muslimin dengan undang-undang positif jahiliyah dan menyingkirkan syariat Islam telah menjadi salah satu musibah terbesar kaum muslimin selama lebih dari setengah abad terakhir.
Salah satu persoalan cabang yang timbul darinya adalah masalah status hukum para pembela dan pengawal tegaknya sistem pemerintahan sekuler tersebut. Para pembela dan pengawal sistem pemerintahan sekuler thaghut (anshar thaghut) yang paling menonjol adalah institusi kepolisian, tentara nasional, dinas intelijen, majelis ulama thaghut, wartawan pro thaghut dan media massa pro thaghut.
Untuk menjawab pertanyaan tentang status hukum para pembela dan pengawal pemerintahan thaghut tersebut, para ulama Islam telah melakukan sejumlah kajian dan menelurkan beberapa karya. Sebagian ulama berpendapat bahwa para pembela dan pengawal pemerintahan thaghut harus dikafirkan setiap individunya (takfir mu’ayyan) karena pada diri mereka tidak terdapat penghalang-penghalang pengkafiran (mawani’ takfir) lagi.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa para pembela dan pengawal pemerintahan thaghut secara kelompok dikafirkan secara umum (takfir ‘am) karena berstatus kelompok kafir. Sedangkan dalam mengkafirkan masing-masing individunya (takfir mu’ayyan), perlu diperhatikan ada dan tidaknya penghalang-penghalang pengkafiran (mawani’ takfir).
Perbedaan pendapat para ulama tentang pengkafiran para pembela pemerintahan thaghut tersebut bukanlah berarti pemahaman tauhid dan akidah para ulama tersebut berbeda. Sama sekali tidak demikian.
Para ulama tersebut sama-sama sepakat bahwa sistem thaghut dan pemerintahan thaghut adalah sistem dan pemerintahan kafir. Mereka juga sepakat bahwa perbuatan membela, mengawalkan dan menegakkan sistem thaghut atau pemerintahan thaghut adalah perbuatan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Dalam aspek ilmiah dan akidah ini, mereka semua sepakat, tidak ada yang berbeda pendapat.
Persoalan yang mereka perselisihkan adalah penerapan hukum syar’i tersebut terhadap realita setiap individu yang membela, mengawal dan menegakkan sistem thaghut atau pemerintahan thaghut. Suatu hal yang dalam ilmu fiqih dan ushul fiqih disebut tahqiqul manath. Saat meneliti dan menimbang realita individu-individu pelaku kekufuran akbar tersebut, pada ulama tersebut berbeda pendapat.
Sebagian ulama memandang pada diri para pembela thaghut tersebut telah terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan tiada lagi penghalang-penghalang pengkafiran. Konskuensinya, individu-individu tersebut dikafirkan secara personil (takfir mu’ayyan). Sementara ulama lainnya memandang pada diri sebagian pembela thaghut tersebut belum terpenuhi syarat-syarat pengkafiran atau masih terdapat penghalang-penghalang pengkafiran. Konskuensinya, mereka mencukupkan diri dengan mengkafirkan para pembela thaghut tersebut secara kelompok (takfir thaifah, takfir ‘aam). Adapun untuk mengkafirkan setiap individunya, mereka masih berhati-hati dan melakukan penelitian terlebih dahulu.
Perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini, dengan demikian bukanlah perbedaan pendapat dalam masalah tauhid dan akidah. Ia ‘hanya’ merupakan perbedaan pendapat dalam perkara fiqih semata, yaitu dalam perkara tahqiqul manath. Kajian tentang terpenuhi-tidaknya syarat-syarat pengkafiran atau ada-tidaknya penghalang-penghalang pengkafiran bukanlah kajian ilmu akidah; melainkan bidang kajian fiqih, yaitu fiqih realita.
Sebagai sebuah perbedaan pendapat dalam perkara ijtihadiyah dan fiqhiyah, sudah tentu masalah ini tidak boleh menjadi sumber perpecahan di kalangan kaum muslimin. Permasalahan ini tidak boleh dijadikan landasan wala’ dan bara’; siapa mengikuti pendapat A maka ia adalah kawan saya dan siapa mengikuti pendapat B maka ia adalah musuh saya.
Sekitar tahun 1993 M, syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz Al-Mishri menerbitkan bukunya yang berjudul Al-Jami’ fi Thalabil Ilmi Asy-Syarif. Dalam kajiannya di dalam buku tersebut, syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz Al-Mishri menyimpulkan bahwa pengkafiran setiap individu (takfir mu’ayyan) pembela thaghut adalah sebuah perkara yang telah disepakati secara pasti (ijma’ qath’i) oleh generasi sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ijma’ tersebut menutup pintu adanya perbedaan pendapat generasi berikutnya. Sedangkan kepastian (qath’i) ijma’ tersebut menyebabkan orang yang berbeda pendapat dengannya, siapapun dia, telah kafir.
Kesimpulan syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz Al-Mishri dalam kajiannya tersebut adalah sebuah kesimpulan yang sangat ekstrim (ghuluw) dan dibantah oleh para ulama. Konskuensi pendapat syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz Al-Mishri adalah mengkafirkan setiap ulama, aktivis Islam dan kelompok-kelompok Islam yang tidak sependapat dengan beliau. Hal itu merupakan sebuah gejala yang sangat buruk dalam adab berbeda pendapat.
Dampak negatif kesimpulan syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz Al-Mishri tersebut sangat terasa di kalangan para aktivis Islam dan pemuda Islam yang memegang teguh pendapat tersebut, tanpa mau mengkaji dan memahami kajian para ulama, aktivis Islam dan kelompok Islam yang berbeda pendapat dengannya dalam masalah tersebut. Tidak jarang para aktivis Islam dan pemuda Islam tersebut begitu mudah memvonis fasik, ahli bid’ah, kafir dan tidak bertauhid kepada para ulama, aktivis Islam dan kelompok Islam yang memegang pendapat yang berbeda.
Memegang pendapat yang mengkafirkan individu (takfir mu’ayyan) semua pembela thaghut adalah hal yang wajar, bagaimanapun itu adalah hasil kajian syar’i sejumlah ulama dan aktivis Islam. Hal yang tidak wajar adalah tidak menghargai, menghormati, menyalahkan dan bahkan mengkafirkan ulama, aktivis Islam dan kelompok Islam yang mengkafirkan pembela thaghut secara kelompok sementara dalam mengkafirkan setiap individunya mereka bersikap lebih teliti dan hati-hati.
Pada tataran yang lebih gawat dan memprihatinkan, kasus tidak menghargai dan bahkan mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dalam masalah pengkafiran setiap individu pembela thaghut ini telah menimbulkan bencana besar di Aljazair, Pakistan dan sejumlah wilayah lainnya.
Jama’ah Islamiyah Musallahah, salah satu kelompok terbesar mujahidin Aljazair pada era jihad melawan rezim sekuler Aljazair 1995-2000 telah berubah menjadi kelompok bersenjata yang dengan ganas membunuh anak-anak, wanita dan orang tua para polisi dan tentara rezim thaghut sekuler Aljazair. Alasan mereka sederhana, para polisi dan tentara itu adalah orang-orang kafir. Anak-anak, istri-istri dan orang tua para polisi dan tentara itu tidak mengkafirkan polisi dan tentara yang notabenenya adalah ayah, suami atau anak mereka sendiri.
Maka menurut Jama’ah Islamiyah Musallahah berlakulah kaedah Barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir, niscaya ia telah kafir. Karena para anak, wanita dan orang tua tersebut telah divonis kafir, Jama’ah Islamiyah Musallahah pun menghalalkan pembunuhan terhadap mereka dan perampasan harta mereka.
Tidak hanya sampai di situ, Jama’ah Islamiyah Musallahah juga menghalalkan pemubunuhan dan perampasan harta masyarakat awam kaum muslimin yang tidak mau bergabung dengan mereka. Lebih dari itu, banyak ulama, komandan mujahidin dan sejumlah tokoh Islam yang mereka bunuh atau hendak mereka bunuh, karena dianggap telah kafir dan tidak sejalan dengan pemahaman mereka.
Salah satu ulama dan komandan mujahidin yang lolos dari usaha pembunuhan mereka adalah syaikh Athiyatullah Al-Libi (Jamal bin Ibrahim Al-Ihytiwi Al-Mishrati). Ia adalah salah seorang komandan mujahidin Al-Qaeda yang mendapat perintah langsung dari syaikh Usamah bin Ladin untuk ikut dalam jihad di Aljazair pada 1996 M. Lolos dari upaya pembunuhan oleh Jama’ah Islamiyah Musallahah, syaikh Athiyatullah Al-Mishrati kemudian kembali berangkat ke Afghanistan pada masa kekuasaan Imarah Islam Taliban.
Beliau sendiri tetap berjihad bersama syaikh Usamah bin Ladin, sejak awal kembalinya beliau ke Afghanistan tahun 1996, sampai beliau meraih kesyahidan pada bulan Ramadhan 1432 H/2011 M di Pakistan akibat rudal pesawat tempur penjajah salibis AS. Syaikh Athiyatullah Al-Libi sendiri diangkat menjadi Amir kelompok Al-Qaeda wilayah Khurasan (Afghanistan dan Pakistan) pasca kesyahidan Amir sebelumnya, syaikh Musthafa Abul Yazid Al-Mishri. Kisah pahit pemahaman takfiri secara serampangan dan Khawarij dalam tubuh Jama’ah Islamiyah Musallahah telah diabadikan oleh syaikh Abu Mush’ab As-Suri dalam bukunya, Mukhtashar Syahadati ‘alal Jihad fi Aljazair dan Da’wah Al-Muqaawamah Al-Islamiyah Al-Alamiyah.
Kasus serampangan dalam mengkafirkan orang-oarang yang berbeda pendapat juga mewarnai sebagian mujahidin di Pakistan. Hal itu menyebabkan pelaksanaan beberapa operasi jihad yang menewaskan anak-anak, wanita, orang tua dan umat Islam lainnya yang tidak bersalah. Hal itu mengundang keprihatinan besar para petinggi mujahidin Al-Qaeda seperti syaikh Usamah bin Ladin, Aiman Azh-Zhawahiri, Abu Yahya Al-Lili, Athiyatullah Al-Libi, Abdullah bin Khalid Al-Adam, Yahya Adam Gadahn dan lain-lain. Lewat sejumlah rilisan video, audio dan artikel, para ulama dan komandan mujahidin Al-Qaeda Pusat itu menyerukan para pelaku untuk berhati-hati, berintrospeksi diri dan memperbaiki diri.
Syaikh Abu Yahya Al-Libi, sosok penulis buku
Buku yang memiliki judul asli Nazharat fi Al-Ijma’ Al-Qath’i ini adalah buah karya syaikh Abu Yahya Al-Libi, nama lengkapnya adalah syaikh Muhammad bin Hasan Qaid hafizhahullah. Beliau adalah salah seorang ulama, mufti dan komandan mujahidin Al-Qaeda Pusat. Beliau telah terlibat dalam jihad melawan komunis Uni Soviet pada periode jihad Afghan pertama. Saat terjadi perpecahan dan peperangan intern mujahidin Afghan pada 1990-1991, syaikh Abu Yahya Al-Libi bersama mujahidin Al-Qaeda dan Arab lainnya menyertai syaikh Usamah bin Ladin di Sudan.
Di Sudan pada periode itu pula, syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz Al-Mishri menulis karyanya Al-Jami’ fi Thalabil Ilmi Asy-Syarif dan menyimpulkan bahwa pengkafiran setiap individu pembela thaghut adalah ijma’ qath’i generasi sahabat, sehingga barangsiapa menyelisihinya dan memiliki pendapat lain maka ia telah kafir.
Tulisan dan kesimpulan syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz tersebut sangat mengejutkan para ulama dan mujahidin Arab di Sudan. Jama’ah Jihad Mesir, organisasi jihad yang menaungi syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz sendiri menolak kesimpulan yang sangat ekstrim tersebut. Dalam suasana tersebut, syaikh Abu Yahya Al-Libi menulis buku Nazharat fi Al-Ijma’ Al-Qath’i.
Sayangnya, tulisan syaikh Abdul Qadir tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan beredar luas di kalangan aktivis dakwah di negeri ini sejak sekitar delapan tahun lalu. Kesimpulan ekstrim tersebut telah diterima bulat oleh sebagian aktivis dakwah di negeri ini sebagai satu-satunya kebenaran dalam masalah fiqih nazilah yang menjadi ajang ijtihad para ulama kontemporer ini. Akibatnya timbul sejumlah sikap yang juga ekstrim sebagai efek sampingnya.
Syaikh Abu Yahya Al-Libi menimba ilmu syar’i selama tiga tahun (1992-1995) dari para ulama negeri Syinqith, Mauritania, negeri yang melahirkan para ulama kaliber internasional semisal syaikh Muhammmad Amin bin Muhammad Mukhtar Asy-Syinqithi, penulis kitab tafsir Adhwaul Bayan fi Iedhahil Qur’an bil-Qur’an. Beliau kemudian berhijrah ke Afghanistan kembali pada periode pemerintahan Imarah Islam Taliban. Bersama rekan menuntut ilmu dan jihad dari negaranya, syaikh Athiyatullah Al-Libi, syaikh Abu Yahya Al-Libi merupakan ulama, mufti dan komandan senior mujahidin Al-Qaeda. Syaikh Abu Yahya Al-Libia tertangkap oleh pasukan rezim thaghut Pakistan saat mujahidin Al-Qaeda mundur dari Afghanistan ke Pakistan pada akhir tahun 2002 M. Ia diserahkan kepada penjajah salibis AS dan dijebloskan ke dalam penjara militer di pangkalan militer ISAF di distrik Bagram, Afghanistan.
Dengan izin dan karunia Allah semata, syaikh Abu Yahya Al-Libi bersama beberapa mujahidin Al-Qaeda lainnya berhasil melarikan diri dari penjara militer Bagram. Mereka bergabung kembali dengan mujahidin dan melanjutkan jihad melawan aliansi salibis ISAF, rezim boneka thaghut Afghanistan dan rezim boneka thaghut Pakistan. Dengan izin dan karunia Allah semata, syaikh Abu Yahya Al-Libi gugur sebagai syahid oleh tembakan tujuh rudal drone AS di Pakistan sekitar bulan Juni/Juli 2012 M lalu. Semoga Allah menerima amal shalih syaikh Abu Yahya Al-Libi dan menempatkannya pada surge Firdaus yang tertinggi.
Kandungan buku
Buku Nazharat fi Al-Ijma’ Al-Qath’i ini merupakan koreksian beliau atas tulisan dan kesimpulan syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz Al-Mishri dalam bukunya Al-Jami’ fi Thalabil Ilmi asy-Syarif. Dalam buku ini, syaikh Abu Yahya Al-Libi mengoreksi kesimpulan syaikh Abdul Qadir tersebut dengan mengupas tiga perkara pokok, yaitu:
a. Pembahasan tentang beberapa perkara yang berkaitan dengan masalah ijma’ di kalangan ulama ushul fiqih.
b. Pembahasan tentang kebatilan ijma’ qath’i yang diklaim oleh syaikh Abdul Qadir dan penjelasan bahwa perkara tersebut adalah perkara ikhtilafiyah ijtihadiyah.
c. Pembahasan tentang beberapa kesalahan syaikh Abdul Qadir ketika berargumentasi dengan apa yang ia klaim sebagai ijma’ qath’i tersebut.
Di akhir bukunya, syaikh Abu Yahya Al-Libi menulis:
“Dengan begini jelaslah bahwa permasalahan ini adalah permasalahan ijtihadi yang tidak boleh sampai menegakkan bendera-bendera perselisihan dan mengobarkan permusuhan dan perpecahan. Bagaimana boleh begitu, sementara berbagai kelompok yang mumtani’ (mempertahankan diri) di atas perkara-perkara mukaffir itu terus bermunculan dari waktu ke waktu sejak dahulu. Dan para ulama’ pun juga masih terus berselisih pendapat dalam mengkafirkannya, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengklaim bahwa masalah ini adalah masalah yang menjadi ijma’ qath’i yang menutup semua pintu kajian dan pandangan, lalu melemparkan orang yang menyelisihinya kepada golongan kafir.”
Harapan penerbit
Dalam kata pengantar atas buku terjemahan Nazharat fi Al-Ijma’ Al-Qath’i, pihak penerbit menyebutkan bahwa penerjemahan buku tersebut dimaksudkan untuk memberikan pembanding bagi terjemahan kajian syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz yang telah beredar luas di tengah para aktivis dakwah sejak sekitar delapan tahun yang lalu. Dengan membaca buku terjemahan tersebut, diharapkan para aktivis dakwah di negeri ini memiliki wawasan yang lebih luas dan seimbang.
Tulisan tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh syaikh Abu Yahya Al-Libi sendiri, bukanlah sebuah kajian yang menentukan pendapat mana yang lebih kuat (tarjih). Sebab, setiap ulama mujtahid tentu memiliki hasil tarjih yang berbeda.
Penerbit berharap kehadiran buku terjemahan tersebut memberi andil bagi timbulnya sikap saling menghargai, saling memahami dan saling mencintai di antara para aktivis dakwah yang ‘kebetulan’ memilih hasil tarjih yang berbeda dalam perkara ijtihadi ini. Adanya perbedaan pendapat dalam perkara ijtihadi ini, semoga tidak menghalangi para aktivis dakwah untuk bersatu, bekerja sama dan bahu-membahu dalam melaksanakan dua kewajiban besar di zaman ini:
- Kewajiban menerangkan kepada mayoritas masyarakat muslim di negeri ini tentang kemurtadan sistem thaghut dan pemerintahan thaghut.
- Kewajiban memobilisasi kekuatan seluruh masyarakat muslim dan membimbing mereka menuju jihad fi sabilillah demi menegakkan syariat Allah dan menumbangkan system-pemerintahan thaghut. Sebab, jihad menumbangkan pemerintahan thaghut yang murtad telah disepakati oleh seluruh ulama Islam.
(muhib almajdi/arrahmah.com)