KUALA LUMPUR (Arrahmah.com) – Memulai hidup baru di Malaysia, Muslim Rohingya telah merayakan Idul Fitri pertama mereka di Malaysia, setelah melarikan diri dari penganiayaan yang dialami di Myanmar dan juga ancaman kematian di tangan para pedagang manusia, sebagaimana dilansir oleh onislam, Senin (20/7/2015).
“Saya sangat senang bisa berpuasa dan merayakan Idul Fitri di Malaysia tanpa rasa takut. Di Myanmar [Burma], Muslim yang berkumpul untuk shalat Idul Fitri pada pagi hari akan ditangkap oleh tentara,” Nurul Amin Nobi Hussein mengatakan kepada Benama News.
Ditahan selama dua bulan di ‘kamp kematian’ di Wang Kelian, Hussein mengatakan bahwa etnis Rohingya di Myanmar dibatasi untuk merayakan Idul Fitri bersama dengan anggota keluarga di desa mereka.
“Saya menghubungi orang tua saya di Maungdaw, Myanmar. Mereka tidak merayakan Idul Fitri. Seperti hari-hari lainnya, hanya tinggal di rumah,” ungkap Hussein, (25).
“Mereka akan dipenjara jika mereka tidak melakukannya. Tentara tidak ingin kami bergerak bebas.”
Menurut Hussein, Muslim Rohingya harus mendapatkan izin dari tentara jika mereka ingin mengunjungi keluarga mereka di desa-desa lain selama Idul Fitri atau hari-hari biasa.
Hussein berhasil selamat ketika sindikat penyelundup manusia menyelundupkannya ke Wang Kelian dan Padang Besar, Thailand selatan.
Nobi Hussein melihat kedatangannya ke Malaysia bisa memberi harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Untuk tahun ini, kegembiraannya menjadi luar biasa saat istrinya Nur Khaidha Abdul Shukur, (24), dan dua anak mereka, Mansur Ali, (4), Muhamad Yasir, (5 bulan), berbagi kebahagiaan di rumah mereka di Simpang Kuala, Alor Setar.
Istrinya juga berhasil selamat setelah 10 hari berada di sebuah kamp transit di Padang Besar, Thailand selatan. Dia bersaksi tentang pemerkosaan terhadap perempuan Rohingya oleh para penjaga di kamp.
“Tahun ini lebih spesial karena saya bisa membeli baju baru untuk anak-anak saya, memasak makanan dan membuat kue tradisional etnis Rohingya untuk merayakan. Kami juga bebas mengunjungi teman-teman di mana pun mereka tinggal,” katanya.
Jahidul Islam, Muslim Rohingya yang lain, sangat antusias merayakan Idul Fitri di lingkungan yang damai.
“Saya sangat senang bisa merayakan Idul Fitri di Malaysia tapi saya juga merasa sangat sedih bahwa keluarga dan kerabat saya harus hidup di bawah penindasan oleh tentara Myanmar,” kata Islam.
“Saya juga berduka dan merasa bersalah ketika saya mengingat teman-teman yang menderita dan mati di tangan para penjaga kamp. Nurul Amin dan saya merupakan salah satu yang beruntung telah berhasil melarikan diri,” katanya.
Diungkapkan oleh PBB sebagai salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia, Muslim Rohingya menghadapi daftar panjang diskriminasi di tanah air mereka.
Mereka telah ditolak hak-hak kewarganegaraannya sejak amandemen undang-undang kewarganegaraan pada tahun 1982 dan diperlakukan sebagai imigran ilegal di rumah mereka sendiri.
Pemerintah Myanmar, serta mayoritas Budha, menolak untuk mengakui istilah “Rohingya”, dan menyebut mereka sebagai “Bengali”.
Kelompok-kelompok HAM menuding pasukan keamanan Myanmar membunuh, memperkosa dan menangkap orang Rohingya menyusul kekerasan sektarian yang terjadi tahun lalu.
Melarikan diri dari penganiayaan yang disponsori negara, diperkirakan sebanyak 120.000 orang melarikan diri dari Myanmar dan hidup di kamp-kamp sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar, menurut The Border Consortium, yang mengkoordinasikan kegiatan LSM di kamp-kamp.
(ameera/arrahmah.com)