Oleh Yuliyati Sambas
Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK
Tanggal 12 November senantiasa diperingati sebagai Hari Kesehatan Nasional (HKN ). 59 tahun lalu, tepatnya 1964, seremoni perdana HKN diselenggarakan sebagai bentuk perayaan atas pencapaian negeri ini menurunkan secara signifikan wabah malaria di era tahun 1950-an. Tahun 2023 ini HKN mengangkat tema ‘Transformasi Kesehatan untuk Indonesia Maju’.
Dikutip dari Liputan6.com (12/11/2023) bahwa Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani ketika menyambut HKN 2023 mengatakan, “Transformasi kesehatan menjadi kunci penting dan ini adalah sesuatu yang telah, sedang, dan akan terus kita upayakan agar Indonesia telah melangkah maju. Selamat Hari Kesehatan Nasional.”
Transformasi kesehatan yang dimaksud diprioritaskan pada transformasi ekosistem digitalnya. Project ini dimandatkan kepada PT Pertamina Bina Medika Indonesia Healthcare Corporation (IHC) sebagai holding rumah sakit BUMN dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. (JPNN.com, 12/10/11/2023)
Sebagai sebuah negara yang bercita-cita ingin maju, satu item yang butuh diwujudkan adalah layanan kesehatan terbaik bagi semua lapisan rakyat sebagai bagian dari support untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Dalam hal ini, Indonesia tentu wajib melakukan upaya-upaya terstruktur dan masif untuk meraihnya. Menjadi bahan pertanyaan akankah langkah ini mampu menjawab dan menyelesaikan problem kesehatan di negeri ini?
Digitalisasi pelayanan dan ekosistem kesehatan yang mantap tentu sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun yang jauh lebih dibutuhkan adalah keterjangkauan atau kemudahan akses terhadap kesehatan bagi seluruh rakyat. Lantas untuk siapa semua fasilitas kesehatan yang serba canggih disediakan jika bukan untuk semua rakyat? Bukankah setiap rakyat negeri ini adalah tumpah darah yang sama dan wajib mendapat perhatian yang sama di hadapan penguasa?
Bagaimana mungkin bisa dipandang mendapat perhatian yang sama jika kecanggihan digitalisasi ekosistem kesehatan yang diciptakan berbasis bisnis. Dimana artinya mereka yang memiliki uang sajalah yang dapat menikmati pelayanan kesehatan super canggih.
Kita semua tentu butuh sadar betapa problem kesehatan di negeri ini demikian menumpuknya. Mulai dari kasus stunting yang tinggi, sementara stunting, keberadaannya sangat lekat dengan kemiskinan. Data menyebut prevalensi stunting di Indonesia 21,6%. Bahkan negeri ini pernah tercatat di tahun 2018 berada di peringkat ke-2 tertinggi beban stuntingnya se-Asia Tenggara dan ke-5 sedunia (Data Riset Kesehatan Dasar dalam https://humbanghasundutankab.go.id).
Adapun layanan kesehatan selama ini cenderung melihat strata ekonomi, hingga muncul pameo orang miskin tak boleh sakit. Negeri ini juga masih bergulat dengan problematik kemiskinan hingga level ekstrem. Per Maret 2023, data Badan Pusat Statistik memperlihatkan ada 25,9 juta rakyat terkategori miskin di negeri ini. Lantas bagaimana mungkin transformasi ekosistem digital kesehatan yang berbasis bisnis tersebut dapat dijangkau masyarakat luas jika problem kemiskinan saja masih menjadi momok yang tak jua terselesaikan hingga saat ini?
Jika saat belum ada digitalisasi kesehatan saja keterjangkauan akses kesehatan demikian sulit bagi sebagian besar masyarakat, apatah lagi ketika transformasi digital yang dimaksud telah terwujud, dimana tentunya akan membutuhkan akses cuan yang jauh lebih banyak dan mesti dikeluarkan sebagai ongkos untuk meraih layanan kesehatan.
Itulah yang terjadi ketika sistem kapitalisme sekuler dijadikan rujukan dalam memandang dan menyolusikan setiap problem kehidupan, tak terkecuali persoalan kesehatan. Dalam sistem kapitalisme, negara hanya memosisikan diri sebagai pembuat regulasi, alih-alih untuk melayani setiap urusan rakyat. Kebutuhan dan urusan rakyat seperti kesehatan, pendidikan, keamanan dipersilakan kepada pihak swasta untuk mengadakannya. Jikapun lembaga negara (BUMN) yang menyelenggarakannya, aspek bisnis tetaplah kental dalam pemberlakuan layanannya.
Di sisi lain, sistem ekonomi kapitalisme mengatur kepemilikan dengan asas liberal. Bahkan harta kekayaan alam pun diserahkan pada pengusaha berkapital besar untuk mengelola dan memilikinya. Maka tak mengherankan anggaran untuk kebutuhan kolektif rakyat yang semestinya bisa dibiayai dari pemasukan SDA yang melimpah tak bisa dirasakan oleh rakyat banyak, termasuk untuk urusan kesehatan.
Adapun kemiskinan dalam sistem ekonomi kapitalisme sangat sulit untuk diselesaikan. Penguasaan hajat hidup orang banyak yang dipegang oleh segelintir rakyat yang kuat kapitalnya menghasilkan kesenjangan yang teramat dalam antara yang kaya dan miskin.
Sistem kapitalisme global pun telah mewasiatkan dengan tegasnya melalui sistem pasar bebas (WTO) bahwa kesehatan adalah salah satu aspek yang menjadi bagian dari unsur bisnis. Semua diukur dengan materi. Siapa yang punya materi maka dialah yang bisa mengakses kesehatan. Prinsip yang sebenarnya sangat tidak manusiawi tapi itulah yang hari ini dianut negeri ini.
Betapa berbedanya dengan sistem Islam dalam memandang persoalan ini. Persoalan kesehatan adalah salah satu dari semua urusan rakyat yang menjadi tanggung jawab negara. Hal ini karena negara telah mendapat mandat langsung dari Sang Penguasa jagat raya bahwa merekalah yang kelak akan ditanya terkait pertanggungjawabannya atas semua urusan setiap kepala yang dipimpinnya.
Sabda Rasulullah saw., “Imam (penguasa) ibarat penggembala dan ia yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR. Muslim)
Dengan pandangan tersebut, maka terpenuhinya kebutuhan individu seperti sandang, pangan, papan menjadi ranah tanggung jawabnya. Begitupun dengan kebutuhan dasar kolektif kesehatan, sebagaimana pendidikan dan keamanan adalah ranah tanggung jawabnya juga. Negara dalam hal ini akan menyelenggarakan layanan kesehatan yang berkualitas dan mudah diakses oleh semua kalangan, tak memandang strata sosial dan ekonomi. Negara pula yang menanggung semua urusan kesehatan rakyatnya secara gratis.
Islam dalam hal ini mempunyai pos-pos pemasukan negara yang melimpah, salah satunya berasal dari kekayaan SDA. Itu karena SDA terkategori kepemilikan umum yang haram untuk diberikan kepada orang per orang, melainkan wajib dinikmati hasilnya oleh semua elemen rakyat.
Kecanggihan teknologi dan beragam penelitian untuk mendukung setiap layanan kesehatan bagi setiap warga wajib diwujudkan dan dibiayai penuh oleh pemerintah dalam sistem Islam. Semua dalam kerangka tanggung jawab penuh penguasa terhadap amanah yang diembannya.
Wallahualam bissawab.