Oleh Dr. Marwan Al-Ghafouri
Penulis dan novelis asal Yaman
(Arrahmah.id) – Sejak Mikhail Gorbachev meluncurkan kebijakan perestroika pada tahun 1985, Amerika Serikat menyadari bahwa Uni Soviet akan runtuh, dan kekuasaan global akan jatuh ke tangannya—sebagai satu-satunya kutub kekuatan dunia. Dunia pun memasuki era Pax Americana, sebuah masa damai yang diklaim berada di bawah dominasi dan aturan Amerika. Namun, citra kekuatan Amerika saat itu masih dibayang-bayangi trauma Perang Vietnam, yang harus diperbaiki baik di dalam negeri maupun di mata dunia.
Tahun berikutnya, 1986, Hollywood merilis film Top Gun, sebuah film ikonik yang digarap dengan dukungan penuh militer AS. Angkatan Udara ikut menulis naskahnya, menyediakan jet tempur asli, serta menciptakan gambaran ideal seorang prajurit Amerika dalam sosok Tom Cruise. Dalam film itu, tokoh Maverick—yang diperankan Cruise—terbang mendekati jet musuh dengan keberanian luar biasa. Ia justru tertawa di hadapan ancaman, bukan takut.
Film tersebut tak menyebutkan secara jelas siapa musuhnya, namun bentuk jet tempur “MiG” menunjukkan bahwa ia berasal dari Blok Timur. Adegan-adegan pertempuran udara yang memukau membuat banyak pemuda Amerika tergoda untuk bergabung dengan militer. Top Gun menjadi salah satu propaganda militer tersukses dalam sejarah perfilman.
Empat tahun setelah film tersebut dirilis, dunia menyaksikan kekuatan nyata Amerika dalam Operasi Badai Gurun di Irak. Dunia yang sebelumnya hanya mengenal kekuatan Amerika lewat layar lebar, kini melihat langsung kedahsyatan senjata dan taktiknya.
Pada tahun 2022, sekuel berjudul Top Gun: Maverick dirilis kembali. Namun, kali ini dunia sudah berbeda. Para pilot dalam film dilatih untuk menyerang fasilitas nuklir tersembunyi di wilayah berbukit khas Timur Tengah. Musuh kembali tidak disebutkan, tetapi narasi dan visualnya mengarahkan pikiran penonton pada Iran.
Dan hari ini, dalam kenyataan, Amerika benar-benar menjalankan misi serupa—bukan di Iran, tapi di Yaman. Di wilayah pegunungan yang sulit dijangkau, kelompok Houthi menyimpan senjata dan fasilitas militer, yang diyakini mendapatkan dukungan dari Iran. Jika Amerika gagal mengatasi kelompok ini, maka mustahil baginya untuk menundukkan Iran yang jauh lebih kompleks.
Yaman kini menjadi semacam simulasi medan perang bagi Amerika. Pada Oktober lalu, pesawat B-2 Amerika menjatuhkan lima bom di lokasi-lokasi strategis Houthi. Dalam beberapa hari terakhir, enam pesawat B-2 lainnya telah dikerahkan ke Pangkalan Diego Garcia untuk persiapan lebih lanjut.
Target utama Amerika kemungkinan bukan Houthi, melainkan Iran. Tapi bila Houthi tidak bisa dikalahkan, maka pesan ancaman terhadap Iran pun kehilangan makna.
Iran sendiri bukan musuh yang mudah. Wilayahnya luas dan didominasi pegunungan, seperti Pegunungan Zagros yang menjulang hingga 5.000 meter. Dalam sejarah, gunung-gunung ini menjadi benteng pertahanan Persia dari serangan Asyur, Makedonia, dan bahkan umat Islam.
Pegunungan tempat persembunyian Houthi tidak kalah ganas dari Zagros, dan militer Amerika memahami itu. Sementara itu, Donald Trump, dalam upayanya membangun citra di media sosial, menyebarkan foto ledakan di tengah kerumunan warga sipil di Yaman, dengan klaim telah menghancurkan “otak Iran” di sana.
Namun, sebelum menyerang Iran, Amerika harus lebih dulu menyelesaikan “masalah kecil” di Yaman. Dan ironisnya, Amerika justru mempermainkan isu Houthi selama bertahun-tahun tanpa ada penyelesaian berarti. Pada awal 2021, pemerintahan Biden bahkan mencabut label “teroris” dari kelompok Houthi—yang sebelumnya diberlakukan oleh Trump di akhir masa jabatannya.
Trump kini kembali, dan hanya dua hari setelah pelantikannya, ia menetapkan kembali label tersebut dan memulai serangan terhadap Houthi pada pertengahan Maret.
Labelisasi ini menunjukkan bahwa kebijakan terhadap Houthi lebih bersifat politis daripada strategis. Sementara itu, Houthi—yang memulai pemberontakan pada tahun 2004—telah menggulingkan pemerintahan, menguasai negara, dan memaksa Amerika menghadapi mereka secara langsung.
Amerika tampak tidak memiliki strategi yang jelas. Tujuan serangan pun dipertanyakan. JD Vance, wakil dari Trump, bahkan menyebut bahwa serangan terhadap Houthi hanya menguntungkan Eropa karena melancarkan jalur pelayaran mereka.
Lalu, apa sebenarnya yang diinginkan Amerika? Mungkin sesederhana ini: Yaman dijadikan ladang pelatihan sebelum menghadapi Iran.
Trump ingin mengembalikan kejayaan Amerika, sebagaimana Maverick dalam film. Namun Houthi bukanlah target mudah. Medan Yaman adalah lawan tersendiri—medan adalah tentara seperti yang disebut dalam The Art of War.
Bahkan dalam bocoran diskusi internal Signal, sejumlah pejabat mempertanyakan keputusan Trump, dengan salah satu dari mereka bertanya: “Apakah presiden benar-benar tahu apa yang diperintahkan?”
Pada Januari 2024, media Times of Israel melaporkan bahwa Amerika mengklaim telah menghancurkan sepertiga kemampuan militer Houthi. Tapi hingga kini, Houthi masih berdiri kokoh. Pemimpin mereka belum tersentuh, dan mereka menunjukkan kedisiplinan serta organisasi yang lebih baik dibanding kelompok sekutu Iran lainnya.
Setelah satu bulan serangan, Amerika belum menunjukkan hasil signifikan. Radar laut dan beberapa senjata telah dihancurkan, namun tidak menyentuh jantung kekuatan Houthi.
Kelompok Houthi telah bertahan dari tekanan militer selama lebih dari dua dekade. Kini, dengan laporan bahwa Amerika mulai kekurangan amunisi, Iran berharap agar medan Yaman dapat menguras kekuatan dan reputasi Amerika—sebelum perang besar benar-benar dimulai.
*^*
Tulisan ini diterjemahkan dari artikel opini berjudul asli “هل تبتلع جبال اليمن سمعة أميركا؟” (Hal Taptali‘ Jibāl al-Yaman Sum‘at Amrīkā?) karya Dr. Marwan Al-Ghafouri, yang dimuat di situs Al Jazeera Arabic. Artikel ini menyoroti bagaimana perlawanan Houthi di medan pegunungan Yaman dapat menjadi ujian berat bagi kekuatan dan reputasi militer Amerika Serikat.
(Samirmusa/arrahmah.id)