BAMAKO (Arrahmah.com) – Pemerintah Mali telah memberi duta besar Prancis 72 jam untuk meninggalkan negara itu setelah komentar “bermusuhan dan keterlaluan” yang dibuat oleh otoritas Prancis mengenai junta negara itu. Pesan itu disiarkan di televisi pemerintah pada Senin malam (31/1/2022).
Utusan Prancis di Bamako, Joelle Meyer, didesak untuk meninggalkan negara itu dalam waktu tiga hari, beberapa jam setelah menteri luar negeri Prancis dan pejabat pemerintah lainnya “berulang kali” berbicara menentang otoritas nasional dengan cara yang “bertentangan dengan perkembangan hubungan persahabatan antar bangsa.”
Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian sebelumnya mengatakan pemerintah militer Mali yang berkuasa “di luar kendali” ketika ketegangan meningkat antara kedua negara atas pengerahan pasukan anti-terorisme yang dipimpin Prancis.
Pejabat junta Mali “mengutuk keras” komentar tersebut. Mereka juga sebelumnya memperingatkan Denmark untuk segera menarik lebih dari 100 personel militer yang memasuki negara itu sebagai bagian dari pasukan anti-terorisme, menganggap kehadiran mereka ilegal meskipun ada klaim dari Kopenhagen bahwa mereka ada di sana atas “undangan yang jelas”.
Namun, pihak berwenang menyatakan harapan untuk mengejar kerja sama dengan negara-negara lain, termasuk Prancis, dengan “saling menghormati dan berdasarkan prinsip dasar non-intervensi.”
Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly mengatakan pada Sabtu bahwa Prancis tidak “siap untuk membayar harga yang tidak terbatas untuk tetap berada di Mali.” Namun, dia mengklaim bahwa 15 negara Eropa lainnya yang terlibat dalam operasi anti-terorisme di wilayah Sahel telah memutuskan untuk mempertahankan misi tersebut, sehingga kondisi baru harus ditentukan. (Althaf/arrahmah.com)