BAMAKO (Arrahmah.com) – Pada Selasa (19/10/2021) pemerintah transisi Mali meminta Dewan Tinggi Islam untuk membuka pembicaraan damai dengan para pemimpin Jama’a Nusratul Islam wal Muslimin (JNIM), yang berafiliasi dengan Al-Qaeda, untuk mengakhiri satu dekade konflik.
“Ini adalah permintaan yang populer, bukan masalah menunda-nunda. Mayoritas penduduk Mali memintanya, bahkan sebelum adanya transisi,” kata Menteri Agama Mamadou Kone kepada wartawan, sebagaimana dilansir Anadolu.
Kone pekan lalu telah bertemu dengan Dewan Tinggi Islam untuk memberitahu mereka tentang keinginan pemerintah untuk bernegosiasi dengan semua kelompok radikal di Mali, termasuk kelompok pimpinan Iyad Ag Ghali dan Amadou Koufa.
Ag Ghali merupakan pimpinan JNIM, sedangkan Amadou Koufa merupakan pemimpin JNIM paling aktif di Mali Tengah. Keduanya telah menjadi target pemboman dalam operasi militer Prancis.
Pihak berwenang sebelumnya telah menyetujui gagasan pembicaraan dengan mendukung inisiatif perdamaian lokal dengan militan.
Para analis menilai bahwa langkah terbaru yang diambil oleh pemerintahan transisi merupakan langkah paling konkret untuk bisa melakukan negosiasi dengan para militan, meskipun tidak sejalan dengan sekutu utama Mali, yaitu Prancis.
Prancis telah mengirim pasukannya ke Mali sejak tahun 2013, saat kerusuhan pertama meletus di utara.
Presiden Emmanuel Macron mengatakan bahwa pihaknya tidak akan melakukan operasi gabungan dengan negara-negara yang melakukan negosiasi dengan militan Islam.
Moufa Haidara, anggota Dewan yang bertanggung jawab atas negosiasi, menegaskan bahwa kelompoknya telah ditugaskan untuk melakukan negosiasi dengan misi “menemukan kompromi antara orang-orang Mali, dan mengakhiri perang di seluruh negeri”.
Haidara menyatakan bahwa sumber untuk melakukan pembukaan pembicaraan sudah ada.
Badan Muslim tersebut, sebelumnya juga pernah memediasi pembicaraan di Niono Circle Mali tengah, yang menghasilkan kesepakatan damai antara JNIM dan pemburu lokal pada bulan Maret.
Namun, kedua belah pihak melanggar kesepakatan damai itu pada bulan Juli, sehingga menyebabkan eskalasi kekerasan.
Mali telah memerangi kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda dan kelompok Daesh/ISIS sejak 2012, ketika kerusuhan terjadi di utara negara tersebut.
Konflik yang terus berlanjut, telah menewaskan ribuan orang, baik rakyat sipil maupun tentara. Bahkan konflik itu kini telah menyebar ke negara tetangga seperti Niger dan Burkina Faso. (rafa/arrahmah.com)