(Arrahmah.com) – Lanjutan dari penjelasan Syaikh Abdullah Azzam terkait pilar-pilar masyarakat Islam yang hendak diwujudkan oleh para Mujahidin dan kaum Muslimin.
Larangan Mencela.
“Dan janganlah kalian mencela diri (saudara) kalian sendiri“.(QS. Al Hujurat: 11)
Kata Al Lumaz (mencela) dan Al Humaz (mengumpat) banyak disebut oleh Rabbul ‘Izzati dalam kitab-Nya. Al Lumaz ialah mencela seseorang dengan selain lesan, dengan isyarat atau dengan tangan atau dengan yang lainnya. Atau mencela seseorang di depan matanya, sementara Al Humaz mencela seseorang yang tidak ada atau di luar kehadirannya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela”. (QS. Al Humazah : 1)
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya”. (QS. Al Qalam : 10-13)
“Wa laa talmizuu anfusakum”………Ta’bir Rabbani (ungkapan Ilahi) yang tidak mungkin manusia mampu mengubahnya. Karena, jika engkau mencela saudaramu dan mencacatnya, maka pada hakikatnya engkau mencela dirimu sendiri. Sebab orang beriman itu satu sama lain adalah seperti bangunan.
Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam bersabda :
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam kecintaan, kasih sayang dan kelemah-lembutan diantara mereka itu bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggota menderita maka seluruh badanpun ikut merasakan panas dan tidak dapat tidur”. (HR. Al Bukhari, Shahih Al Jami’ Ash Shaghir 5849)
Umat Islam itu adalah satu tubuh, yang bekerja aktif secara keseluruhan. Yang satu adalah matanya, yang kedua adalah telinganya, yang ketiga adalah jantungnya, yang keempat adalah otaknya, yang kelima adalah kaki dan tangan. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang tidak lengkap atau tidak berfungsi, maka hal itu akan mengurangi hasil produksi, pemberian usaha dan pengorbanannya. Maka pada saat engkau mencela salah seorang diantara kamu (kaum muslimin), sebenarnya engkau telah mencela dirimu sendiri.
Sesungguhnya orang-orang yang berpikiran dangkal tidak melihat Islam kecuali dari skala masyarakatnya yang kecil, kecuali dari sudut kelompok mereka yang sedikit. Dan pemahaman seperti itu, demi Allah, betul-betul berbahaya bagi Islam dan berbahaya pula bagi manusia. Berbahaya bagi manusia yang menganggap bahwa jari-jari kakinya jauh dari jari-jari tangannya. Apa engkau menganggap bahwa engkau beserta kelompokmu atau engkau beserta organisasimu atau engkau beserta partaimu mewakili Islam dan umat Islam ?? Sesungguhnya engkau mewakili sebagian kecil dari kepala semut.
Lalu jika engkau ambil pisau yang tajam atau pedang yang tajam kemudian engkau potong jari-jari kakimu karena engkau menganggap bahwa jari-jari kaki jauh dari jari-jari tangan, maka sesungguhnya engkau telah menjauhkan salah saru peran dari peran yang bekerja secara aktif pada tubuhmu. Padahal jari-jari itu bermanfaat bagimu di waktu senang dan susah, dalam masa kelapangan dan kesempitan. Engkau membutuhkannya. Jika engkau memotong jari-jari kakimu, maka kuman dan rasa sakit mulai menyerang tubuhmu dari bagian tubuh yang merupakan tempat yang dijaga oleh saudaramu, karena kamu adalah satu tubuh. Lalu kuman-kuman itu masuk ke dalam darahmu sehingga menjalar ke seluruh tubuh dan akhirnya merusak dan membinasakan.
Seorang muslim dan umat muslim adalah satu kesatuan. Maka pantaskah bagimu memandang mereka dengan pandangan sinis dan merendahkan? Atau engkau gunakan lesanmu untuk mencela, mengumpat dan memfitnah saudaramu sendiri? Sesungguhnya engkau wahai si miskin, telah memotong anggota tubuhmu sendiri.
“Barangsiapa yang menyangka bahwa Allah sekali-kali tiada menolongnya (Muhammad) di dunia dan akhirat, maka hendaklah ia merentangkan tali ke langit, kemudian hendaklah ia melaluinya, kemudian hendaklah ia pikirkan apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya.
Dan demikianlah Kami telah menurunkan Al-Qur’an yang merupakan ayat-ayat yang nyata; dan bahwasanya Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki”. (QS. Al Hajj : 15-16)
Dalam Musnad Ahmad disebutkan hadits sebagai berikut :
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lesannya dan iman belum masuk ke dalam hatinya!Janganlah kalian menggunjing kaum muslimin, dan janganlah kalian mencari–cari aurat mereka. Karena sesungguhnya, barangsiapa yang mencari-cari aurat saudaranya sesama muslim, maka Allah akan mencari-cari auratnya, dan barangsiapa yang Allah mencari-cari auratnya, Allah akan menelanjangi auratnya walaupun di dalam rumahnya sendiri”. (Shahih Al Jami’ Ash Shaghir 7584)
Mencari-cari aurat kaum muslimin dengan cara al Lumaz (mencela) dan al Humaz (mengumpat) merupakan tanda kemunafikan bukan tanda keimanan.
“Bukanlah orang yang beriman itu yang suka mencela atau sering melaknat atau kotor dan keji mulutnya atau jelek akhlaknya atau suka berbicara kotor”. (Hadits shahih, Shahih Al Jami’ Ash Shaghir 5381)
Oleh karena itu, ketika orang-orang Yahudi datang menemui Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam, dan mengucapkan salam: “As-Saamu’alaika ya Abal Qasim” (artinya : “Semoga kebinasaan menimpa dirimu wahai Abal Qasim”), dan A’isyah mendengar ucapan tersebut maka ia segera menjawab ucapan mereka : “Dan semoga kebinasaan, celaan, dan laknat menimpa kalian”. Maka berkatalah beliau saw kepada A’isyah : “Wahai A’isyah, sesunguhnya Allah sangat benci dengan kata-kata keji dan kotor. Tidakkah engkau mendengar jawabanku tadi? Sungguh tadi aku katakan kepada mereka : “Wa’alaikum” (Bagimu atas apa yang kalian ucapkan). Mereka mengatakan : “As-Saamu’alaika”, maka aku menjawab : “Wa’alaikum”. (Shahih Al Jami’ Ash Shaghir 1877)
Beliau tidak menyetujui jika A’isyah menjawab ucapan mereka dengan kata-kata yang keji pula. Sabdanya : “Sesungguhnya Allah sangat benci dengan kata-kata keji dan kotor”.
Aib itu ada dua macam. Boleh jadi aib tersebut memang benar ada pada diri saudaramu saat engkau mencelanya di depan matanya, dan boleh jadi aib tersebut tidak ada pada dirinya, maka celakalah engkau dan celakalah engkau. Dengarkanlah apa yang diucapkan Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam, dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ath Thabrani :
“Barangsiapa membicarakan sesuatu yang tidak benar atas diri seseorang, untuk mencemarkan kehormatannya dengan perkataan itu, maka Allah akan menahannya di neraka jahanam sampai dia dapat mendatangkan / membuktikan kebenaran apa yang dia katakan mengenainya”. (Diriwayatkan Tirmidzi dengan isnad jayyid/baik, sebagaimana disebutkan dalam At Targhib wat Tarhib 3/515)
Sehingga dia dapat membuktikan apa yang dikatakan mengenainya, dan sekali-kali dia tidak akan dapat membuktikannya, bagaimana dapat kalau dia sendiri berdusta ?
Wahai saudaraku yang tercinta, berhati-hatilah dengan lesanmu.
//Berhati-hatilah dengan lesanmu wahai insan.
Jangan sampai mematuk dirimu, karena ia adalah ular.
Berapa banyak orang mati di kuburan gara-gara lidahnya.
Adalah para ksatria pemberani takut menemuinya//
Luka karena lidah itu lebih menyakitkan daripada luka karena tusukan lembing. Karena luka akibat tusukan lembing dapat sembuh sebab luka itu di kulit. Adapun luka karena lidah tak dapat sembuh, sebab luka itu meremukan hati. Sungguh sulit sekali hati yang telah remuk dapat pulih kembali.
Dengarlah isi hadits riwayat Bukhari dan Bilal bin Al Harits ra, dia berkata; Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya ada seseorang yang berbicara dengan suatu perkataan yang diridlai Allah ‘Azza wa Jalla dan tak sekalipun ia menyangka perkataannya itu akan membawa akibat sedemikian jauhnya, yakni Allah menetapkan baginya dengan perkataannya itu keridlaan sampai hari kiamat. Dan ada seseorang yang berbicara dengan suatu perkataan yang dimurkai Alah ‘Azza wa Jalla dan tak sekalipun ia menyangka perkataannya itu akan membawa akibat sedemikian jauhnya, yakni menetapkan baginya dengan perkataannya itu kemurkaan-Nya sampai hari kiamat”. (HR. At Tirmidzi, Shahih Al Jami’ Ash Shaghir 1619).
Alqamah berkata : “Hadits Bilal bin Al Harits telah mencegahku dari beberapa banyak perkataan yang hendak aku ucapkan”
Hadits itu ada dalam riwayat Bukhari dan Ahmad. Maknanya hadits tersebut shahih tidak perlu diragukan lagi dan tidak perlu didebat lagi.
Serial Tarbiyah Jihadiyah, Syaikh Abdullah Azzam Rahimahullah
Source: Tarbiyah Jihadiyah 1, pusataka al alaq,Hal.73-81