JAKARTA (Arrahmah.com) – War On Terrorism (Islam) yang dikumandangkan Amerika Serikat dengan melakukan pre-emptive strike ke negeri-negeri muslim Afghanistan dan Iraq dengan menggunakan persenjataan berat dan ringan telah mencabik-cabik dan menghancurkan kedua negeri tersebut serta menimbulkan ribuan korban jiwa baik dari pihak kaum muslimin ataupun tentara AS dan sekutunya.
Akan tetapi, serangan senjata yang mereka lakukan dirasa tidak cukup untuk memberangus gerakan kaum Jihadis yang memberikan perlawanan diseluruh dunia dan disemua lini kehidupan. Mereka merasa perlu untuk menyerang sisi paling dalam pada gerakan jihad yaitu menyerang keyakinan para mujahidin.
Serangan tersebut mereka lakukan dengan menyebarkan pemahaman-pemahaman liberal dan sekuler, yang ternyata belum mampu masuk ke dalam dapur ideologi para mujahidin. Maka, merekapun mencoba membangun dekonstruksi pemikiran Islam, melalui pemikiran para ulama sulthaniyah(penguasa) yang ditenggarai mengcopy paste faham sekte Murjiah dalam hal praktik iman dan kufur.
Faham murjiah yang disokong oleh Penguasa Thoghut dinasti Saud, memang cukup menyibukkan para tholabul ilmi yang berhati lurus, dan mampu membutakan sebagian kaum muslimin dari kekufuran yang dilakukan para penguasa di negeri-negeri mayoritas muslim yang kekufurannya seterang matahari disinag bolong. Sehingga tidak jarang para ulama mujahid menyisihkan waktu untuk melawan faham murji’atul ashr’(murjiah kekinian) dan syubhat-syubhatnya yang menambal kekufuran penguasa Thoghut nan lalim.
Lebih mengejukan lagi, di negeri kita Indonesia bukan hanya faham murjiah yang disokong oleh para antek AS dalam perang melawan Teror ini. Tetapi ada metode baru yaitu mendorong para mantan jihadis yang membelot dari perjuangannya untuk mendekonstruksi apa yang selama ini mereka perjuangkan.
Sebut saja Nasir Abbas mantan Ketua Mantiqi Jama’ah Islamiyah yang sudah mengeluarkan beberapa buah buku dan sebuah Komik deradikalisasi, Ali Imron adik dari Trio syuhada Mukhlas Rahimahullah yang juga pelaku Bom Bali I dengan sebuah buku berjudul “Ali Imron Sang Pengebom”, dan Khoirul Ghazali yang baru-baru ini meluncurkan buku “Mereka Bukan Thoghut”.
Para mantan Kombatan ini, sengaja digunakan lantaran dianggap pernah dan memahami betul, apa yang selama ini mereka jalani, sehingga ketika membuat bantahan terhadap pemahaman yang ditinggalkannya, diharapkan masyarakat akan terpukau dan percaya dengan fikiran mereka.
Benarkah demikian? Apakah mereka benar-benar berada diatas Al Haq? Kita akan coba mengkaji pemahaman Khoirul Ghazali yang baru-baru ini mencoba menjadi ahli tafsir atau mufasirin baru dalam memaknai thogut.
Metode Tafsir
Sebelum beranjak lebih dahulu ada baiknya kita memahami bagaimana metode penafsiran Al Qur’an yang diterima oleh umat Islam, dan siapa-siapa saja yang berhak memberikan penafsiran terhadap Al-Qur’an tersebut. Sebab tidak semua pihak mempunyai otoritas untuk menafsirkan Al-Qur’an agar umat Islam dapat benar-benar mencapai hakikat kebenaran didalam Al-Qur’an, yang pada kenyataannya jika penafsiran diberikan oleh orang-orang yang tidak memiliki otoritas hanya menimbulkan kerusakan dimuka bumi.
Untuk itu, para ulama telah membuat metode penafsiran yang bertujuan untuk menjaga kemurnian ajaran Islam. Dan ajaran Islam yang luhur dan suci itu tidak bernasib sama dengan ajaran-ajaran Nabi terdahulu seperti Yahudi dan Kristen. Sebagaimana kita ketahui, ajaran Nabi Isa rusak karena penafsiran Paulus yang seenaknya terhadap Injil. Ia yang tidak pernah berguru kepada Nabi Isa telah melakukan penafsiran yang berbeda dengan para murid Nabi Isa. Misalkan ia membuat tafsiran bahwa orang-orang Kristen yang bukan berasal dari latar belakang Yahudi tidak diwajibkan mengikuti tradisi dan pantangan Yahudi seperti sunat dan memakan makanan yang diharamkan.
Para ulama membuat metode penafsiran itu juga semata-mata untuk menjaga tradisi yang telah dipegang teguh oleh para sahabat Rasulullah yang sangat hati-hati dalam menafsirkan isi Al Qur’an. Mereka tidak berani menafsirkan Al Qur’an dengan akal murni. Abu Bakar Ash-Shiddieq berkata, ”Langit mana yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan kuinjak, andaikata aku menafsirkan Al Qur’an dengan akalku?” Artinya, para ulama Salaf sepakat bahwa jika menafsirkan Al Qur’an hanya dengan akal, walaupun tafsirnya mungkin benar, tetap sebuah kesalahan! Sebab itu, mereka menetapkan manhaj (metode) menafsirkan Al Qur’an demi menghindari kesalahan tersebut.
Berdasar alasan tersebut kemudian para ulama salafus shalih membuat metode tafsir demi menjaga kemurnian ajaran Islam dari tangan-tangan jahil yang tidak berilmu sebagaimana Paulus. Metode tersebut meliputi:
Pertama, untuk menafsirkan sebuah ayat harus terlebih dulu dicari tafsirnya dengan ayat yang lain. Cara penafsiran ini disebut juga tafsir ayat bil ayat dan merupakan metode tertinggi tafsir Al Qur’an.
Kedua, bila tidak ada ayat yang menafsirkan ayat tersebut, maka harus dicari sunnah (hadits) Nabi SAW karena ia merupakan penjelasan terhadap makna Al Qur’an sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT: ”Dan ingatlah, ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): ‘Hendaklah kamu (Muhammad) menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya’, lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.” (QS 3:187).
Ketiga, bila tidak juga ditemukan sunnah yang menerangkan ayat tersebut, maka langkah selanjutnya dicarikan perkataan dari sahabat, misalnya dari tim pencatat wahyu yang memang diakui Nabi SAW sebagai hablul ummah (penyambung ummat) yaitu Abdullah bin Abbas (Tafsir Ibn Abbas), juga sahabat yang lain seperti Abdullah bin Mas’ud dan lain-lain. Para sahabat adalah orang yang mengetahui betul teks dan konteks ayat diturunkan. Mereka juga generasi pertama penghafal Al Qur’an yang tsubut (percaya). Mengingkari peranan para sahabat sama saja memotong mata rantai tafsir Al Qur’an.
Keempat, bila tidak ada perkataan sahabat mengenai tafsir sebuah ayat, maka kita melacaknya dari perkataan para tabi’in, seperti Hasan Basri, Ibnu Qatadah, Mujahid, dan lain-lain. Mereka adalah para pengikut sahabat yang setia sehingga kepercayaannya terjamin dan pantas diikuti oleh generasi kemudian.
Kelima, setelah perkataan generasi tabi’in pun tidak ada, baru dicarikan pendapat para imam, seperti Syafi’i, Maliki, Hanbali, Hanafi, dll.
Terakhir, bila semua sandaran di atas juga tidak ditemukan, maka baru ayat tersebut ditafsirkan secara lughah (bahasa). Jadi menafsirkan Al Qur’an secara bahasa (leksikal) itu merupakan tingkat penafsiran terendah. Di luar di atas, metode tafsir yang berlaku berarti tafsir birra’yi (dengan akal semata).
Syarat Menjadi Mufassirin
Karena itu, para ulama sepakat bahwa tidak sembarang orang boleh menafsirkan Al Qur’an. Untuk menjadi mufassirin harus memenuhi beberapa syarat, misalnya, menurut Imam Thabari (Tafsir At-Thabari) ada tiga:
- Orang itu mempunyai akidah yang sehat (benar);
- Memahami perkataan para sahabat tentang tafsir Al Qur’an,
- Mengetahui perkembangan bahasa arab.
Sedangkan Imam Suyuti berpendapat, syarat seorang penafsir Al Qur’an setidak-tidaknya adalah: Paham makna mufrodat lughah, ilmu nahwu, ilmu sorof, i’rob, ma’ani, badi’, nasikh mansukh, asbabunnuzul, penafsiran para ulama terdahulu, dan mengetahui mana-mana yang disepakati dan yang tidak, dan sebagainya.
Karenanya Imam Adz-Dzahabi berpendapat bahwa menafsirkan Al Qur’an tanpa menggunakan metode bil-ma’tsur seperti enam hal di atas termasuk dosa besar. Bahkan bisa menyeret pelakunya kepada kekufuran. Pendapatnya ini didasarkan pada firman Allah SWT: ”Katakanlah: ‘Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak (asasi) manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’.” (QS. 7:33).
Syarat tersebut dimaksudkan untuk menghindari cara penafsiran Al Qur’an yang ngawur dan ngelantur yang akan menyesatkan akidah umat Islam. Padahal, kekeliruan dalam memahami aqidah akan berakibat fatal.
Bagaimana dengan Khairul Ghazali? Pada bedah buku “Mereka Bukan Thoghut” Khairul Ghazali jelas melakukan kesalahan yang amat fatal dia menafsirkan thoghut dengan membatasi pengertian etimologi atau bahasa yang akhirnya menyeret pada kebingungan membedakan antara Ghuluw(sikap berlebih-lebihan) dengan Thoghut(berlebih-lebihan dalam memposisikan Hak hamba menjadi posisi Ilah).
Menurut Khairul, secara etimologi thoghut yang berarti thogho adalah perbuatan yang melampaui batas. Salah satu penjelasan tentang thaghut terdapat dalam surat Al A’laq ayat 6-7. “Kalla, innal insana layathghaa arra `aahustaghna“. Ketahuilah bahwa manusia itu benar-benar akan melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup.
“Jadi kita ini semua berpeluang menjadi thaghut. Kenapa kita sibuk menthaghutkan orang lain. Maka ketika marah dan hilang akan sejatinya kita juga seorang thaghut,” tukas Khairul yang menulis buku ini dari balik jeruji besi. (eramuslim.com)
Lantas bagaimana ulama menafsirkan Thoghut? Ibnu Katsir berkata: “Dan firman Allah:
“Maka barang siapa yang kufur terhadap thoghut dan beriman kepada Allah maka dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat. Tidak akan putus tali itu” (Al-Baqoroh: 256)
Maksudnya barangsiapa yang meninggalkan tandingan-tandingan, berhala-berhala dan segala yang diserukan oleh syaitan untuk diibadahi selain Allah, lalu mentauhidkan Allah dengan beribadah hanya kepadanya dan bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang diibadahi secara benar kecuali Allah ‘maka dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat’ maksudnya ia telah kokoh urusannya dan istiqomah pada jalan yang paling baik dan pada jalan yang lurus.”
Kemudian Ibnu Katsir menukil dari Umar ibnul Khothob bahwa thoghut itu adalah syetan. Dan Ibnu Katsir berkata: “Yang dimaksud dengan thoghut dalam firman Allah adalah syetan, arti ini sangat kuat, karena nencakup segala kejelekan orang-orang jahiliyah yang berupa beribadah kepada berhala, berhukum kepadanya dan miminta pertolongan kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir I/311). Dan pada I/512 Ibnu Katsir berkata: “Perkataan Umar itu juga dikatakan oleh Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Mujahid, ‘Atho’, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Adl-dlohak dan As-Saddi.Dan Ibnu Katsir menukil dari Jabir rodliyAllahu ‘anhu, bahwa thoghut itu adalah: Para dukun yang disinggahi syetan.
Dan dia juga menukil dari Mujahid bahwa thoghut itu artinya ; Syetan dalam bentuk manusia yang di datangi untuk memutuskan perkara, dan dia yang menguasai urusan mereka.
Dan dia menukil dari Imam Malik bahwa thoghut itu artinya adalah; segala sesuatu yang diibadahi selain Allah swt.
Dan dalam menafsirkan firman Allah:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengkufuri thaghut itu. (QS. 4:60)
Apabila kita renungkan keadaan manusia bersama thoghut ini kita akan melihat mereka kebanyakan berpaling dari berhukum kepada Allah dan RosulNya lalu berhukum kepada thoghut, dan berpaling dari mentaati Allah dan mengikuti rosulNya lalu mentaatiIbnu Katsir berkata: “Ayat ini lebih umum dari pada itu semua, sesungguhnya ayat itu merupakan celaan bagi setiap orang yang menyeleweng dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta berhukum kepada selain keduanya. Dan inilah yang dimaksud dengan thoghut di sini.” (Tafsir Ibnu Katsir I/619).
Ibnul Qoyyim berkata: “Thoghut adalah segala sesuatu yang mana seorang hamba itu melampaui batas padanya, baik berupa sesuatu yang diibadahi atau diikuti atau ditaati. Maka thoghut adalah segala sesuatu yang dijadikan pemutus perkara oleh suatu kaum, selain Allah dan rosulNya, atau mereka ibadahi selain Allah, atau mereka ikuti tanpa berdasarkan petunjuk dari Allah, atau mereka taati pada perkara yang mereka tidak tahu bahwa itu ketaatan kepada Allah. Inilah thoghut didunia ini, apabila engkau renungkan keadaan manusia bersama thoghut ini engkau akan melihat mereka kebanyakan berpaling dari berhukum kepada Allah dan RosulNya lalu berhukum kepada thoghut, dan berpaling dari mentaati Allah dan mengikuti rosulNya lalu mentaati dan mengikuti thoghut.” (A’lamul Muwaqqi’in I/50)
Melihat beberapa definisi Thoghut yang diungkapkan para sahabat dan ulama, jelas anggapan Ghazali meleset, pengertian Thogut sudah memiliki definisi baku dan jelas dan tidak ditafsirkan bebas apalagi serampangan oleh para mujahidin yang merujuk kepada ulama salafus shalih.
Definisi diatas juga sudah menepis anggapan sebagian pihak yang mengarah thoghut hanya sebatas pengertian syetan dan benda-benda mati tak bernyawa. Akan tetapi, Thogut dapat berupa penguasa yang Zalim akbar dan kufur.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan: “Thoghut itu pengertiannya umum; maka setiap apa yang diibadahi selain Allah dan dia rela dengan peribadahan itu, baik berupa sesuatu yang disembah atau diikuti atau ditaati selain ketaatan kepada Allah dan rosulNya adalah thoghut. Thoghut itu banyak dan kepalanya ada lima:
Pertama; Syetan yang menyeru untuk beribadah kepada selain Allah, dalilnya adalah:
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu”, (QS. 36:60)
Kedua; Seorang penguasa yang dzolim yang merubah hukum-hukum Allah. Dalilnya adalah:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. 4:60)
Ketiga; Orang yang memutuskan perkara dengan selain apa yang diturunkan Allah. Dalilnya adalah:
Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. (QS. 5:44)
Keempat; Orang yang mengaku mengetahui hal-hal yang ghoib selain Allah. Dalilnya adalah :
(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS. 72: 26 – 27)
Dan Allah berfirman:
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melaimkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. 6:59)
Kelima; Orang yang diibadahi selain Allah dan dia rela dengan ibadah itu. Dalilnya adalah:
Dan barangsiapa diantara mereka mengatakan:”Sesungguhnya aku adalah ilah selain daripada Allah”, maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahanam, demikian Kami memberi balasan kepada orang-oramg zhalim. (QS. 21:29)
(Dinukil dari Risalah Ma’na Ath-Thoghut, tulisan Muhammad bin Abdul Wahhab, yang terdapat dalam Majmu’atut Tauhid cet. Maktabah Ar-Riyadl Al-Haditsh, hal. 260.)
Adapun Syeikh Muhammad bin Hamid Al-Faqiy mengatakan tentang definisi Thoghut: “Yang dapat disimpulkan dari perkataan ulama’ salaf, bahwasanya thoghut itu adalah segala sesuatu yang menyelewengkan dan menghalangi seorang hamba untuk beribadah kepada Allah, dan memurnikan agama dan ketaatan hanya kepada Allah dan rosulNya saja. Sama saja apakah thoghut itu berupa jin atau berupa manusia atau pohon atau batu atau yang lainnya. Dan tidak diragukan lagi masuk dalam pengertian ini; memutuskan hukum dengan undang-undang di luar Islam dan syari’atnya, dan undang-undang yang lainnya yang dibuat oleh manusia untuk menghukumi pada permasalah darah, seks dan harta, untuk menyingkirkan syari’at Allah seperti melaksanakan hukum hudud, pangharaman riba, zina, khomer dan lainnya yang dihalalkan dan dijaga oleh undang-undang tersebut. Dan undang-undang itu sendiri adalah thoghut, dan orang-orang yang membuat dan menyerukannya adalah thoghut. Dan hal-hal yang serupa dengan itu seperti buku-buku yang dibuat berdasarkan akal manusia untuk memalingkan dari kebenaran yang dibawa oleh rosululloh shollAllahu ‘alaihi wa sallam, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, semuanya itu adalah thoghut.” (Catatan kaki hal. 287 dalam kitab Fathul Majid, karangan Abdur Rohman bin Hasan Alu Asy-Syaikh, cet. Darul Fikri 1399 H.)
Adapun Syaikh Sulaiman bin Samhan An-Najdi berkata: “Thoghut itu tiga macam: thoghut dalam hukum, thoghut dalam ibadah dan thoghut dalam ketaatan dan pengikutan.” (Ad-Duror As-Sunniyah VIII/272)ah:
Sehingga tidak benar perkataan Khairul Ghazali yang menuduh para muwahidin sebagai tukang menthoghut-thoghutkan orang lain,menthoghut-thoghutkan PNS dan ulama yang dekat dengan penguasa atau penafsiran thoghut selama ini ialah bahasa agitatif yang mencuci otak orang untuk melakukan tindak terorisme.
Adanya pihak yang terkena vonis thoghut lantaran karena memang mereka sudah sangat identik dengan definisi-definisi shahih diatas, kaum muslimin hanya dituntut untuk merespon hal tersebut dengan sikap al wala’ dan al baro’.
Melalui usaha merubah orang-orang yang akidahnya melenceng untuk kembali kepada Islam dengan dakwah dan Jihad fisabilillah.
Mungkin Khairul Ghazali dan pihak-pihak yang mendukungnya lupa, Thoghut selain dalam Ibadah ada juga thoghut dalam hal Hukum yaitu sebagaimana diterangkan dalam firman Allah azza wa jallaa:
Mereka hendak berhukum kepada thaghut, (QS. 4:60)
Dan setiap orang yang dimintai untuk memutuskan hukum selain Allah baik berupa undang-undang positif atau hakim yang menjalankan hukum selain hukum yang telah diturunkan Allah, sama saja apakah ia seorang penguasa atau hakim atau yang lainnya. Di antara fatwa fatwa ulama’ jaman ini adalah yang terdapat dalam fatwa al-lajnah ad-da’imah lil buhuts al-‘ilmiyah wal ifta’ di Saudi, sebagai jawaban orang yang menanyakan makna thoghut yang terdapat dalam firman Allah:
Mereka hendak berhukum kepada thaghut, (QS. 4:60)
Maka dijawab:
“Yang dimaksud dengan thoghut pada ayat tersebut adalah segala sesuatu yang memalingkan manusia dari al-qur’an dan as-sunnah kepada berhukum kepada dirinya baik itu berupa system atau undang-undang positif atau adat istiadat yang diwariskan dari nenek moyang atau pemimpin-pemimpin suku untuk memutuskan perkara antara mereka dengan hal-hal tersebut atau dengan pendapat pemimpin jama’ah (kelompok) atau dukun. Dari situ jelaslah bahwa system yang dibuat untuk berhukum kepadanya yang bertantangan dengan syari’at Allah masuk ke dalam pengertian thoghut.” (Fatwa no.8008) Dan dalam menjawab pertanyaan; Kapan seseorang itu disebut sebagai thoghut, maka dijawab: “Apabila dia menyeru kepada kesyirikan atau mengajak untuk beribadah kepada dirinya atau mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib atau memutuskan perkara dengan selain hukum Allah dengan sengaja atau yang lainnya.” Diambil dari fatwa no. 5966. yang berfatwa adalah: Abdulloh bin Qu’ud, Abdulloh bin Ghodyan, Abdur Rozzaaq ‘Afifi dan Abdul Aziz bin Bazz. (Fatawa al-Lajnah Ad-Da’imah I/542-543, yang dikumpulkan oleh Ahmad Abdur Rozzaq Ad-Duwaiys, cet. Darul ‘Ashimah, Riyadl 1411 H.)
Para Thoghut Hukum inilah yang sekarang paling banyak membuat kerusakan dimuka bumi, yang melindungi dan menyuburkan ekonomi ribawi, perzinahan,berloyalitas kepada musuh-musuh Allah, menarik pajak kepada kaum muslimin, dan melindungi kesyirikan lainnya. Sehingga, sebagian kaum muslimin yang diberi petunjuk oleh Allah, bergerak memerangi thoghut.
Perang Melawan terror mungkin tidak berakhir disini, tetapi kita sebagai orang-orang yang mengimani Allah dan Rasul-nya, tetap istiqomah menghadapi ghozwul fikri(perang pemikiran) yang dilancarkan oleh Amerika Serikat dan antek-anteknya dalam rangka memadamkan cahaya Allah Subhanahu wa ta’ala.
Wallahu’alam bishshawab
(bilal/arrahmah.com)