(Arrahmah.com) – Satu simbol pernyataan tauhidullah adalah Lâ ilâha illâ Allâh. Lâ ilâha illâ Allâh adalah kalimat agung yang diserukan semua para rasul. Rasa dan keyakinan ketauhidan itu ada dalam keimanan dan keikhlasan dalam beribadat. Tauhidullah itu juga merupakan misi yang diemban oleh semua para nabi dan rasul, sampai Rasulullah terakhir (Fath al- Majid, 126).
Ibn al-Qayyim menyampaikan pembuktian tauhid itu melalui tiga maqâmât: Pertama, al-hubb, yaitu rasa kecintaan yang mengharapkan taqarrub kepada Allah SWT QS Al-Baqarah: 165; wa al-ladzîna âmanû asyaddu hubban li Allah (orang-orang yang beriman itu adalah lebih cinta kepada Allah dengan ketulusannya).
Kedua, al-tawassul, yaitu bukti komunikasi dengan Allah melalui amal shalih. Ibn Mas’ud berkata bahwa yang menunjukkan adanya wasilah adalah al-Islam sebagai wujud ketaatan. Ketiga, al-rajâ yaitu rasa khawf (takut), sebagaimana QS Al-Isra: 57,
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah). Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sungguh, azab Tuhanmu itu sesuatu yang (harus) ditakuti.”
Ketiga maqâmât itu menunjukan adanya hakikat tauhid yang berarti hakikat agama Islam (Fath al- Majid, 120). Jika maqâmât ketiganya itu sudah ada pada diri seseorang, maka setiap simbol nama Allah berarti sudah masuk dalam posisi subtansialitasnya.
Dimensi subtansialitas nama Allah itu, jika merapat dengan diri seseorang, bahkan bukan hanya nama Dzat yang disebutkan, atau al-asmâ al-husna-Nya, atau melalui penemuan ayat-ayat Tuhan saja yang ada di alam raya ini, disertai ketulusan dan keimanan seseorang tersebut, akan sangat bermakna dan berarti dalam kehidupannya.
Jika nama dan ayat-ayat itu dibacakan karena kekagumannya, maka secara reflektif akan menuntut keteguhan pengabdian dan ketaatan hanya kepada-Nya, disertai pintu getaran di hatinya (wajilat qulûbuhum) akan terbuka oleh sebab keimanannya bertambah (QS Al-Anfal: 2).
Jika keagamaan itu masih berstandar pengakuan keinginan kelompoknya, sekalipun nama Allah disebutkan, maka pengakuannya itu masih berstandar formal. Sebagaimana teguran Nabi SAW pada saat kedatangan orang-orang Arab yang menyatakan “kami beriman”, tetapi Nabi SAW mengatakan “kamu sekalian belum beriman, baru Islam”.
Artinya, standar keagamaan mereka itu belum sampai esensinya atau belum diterima sanubarinya. Esensi keimanan, jika tertancap di bagian hati paling dalam sanubari seseorang, maka diri orang itu akan memiliki keakraban baik dengan sesamanya (QS Al-Hujurat: 14).
Oleh: H Ayat Dimyati, Dosen Tetap UIN Gunungdjati Bandung
Sumber: Majalah SM Edisi 4 Tahun 2017
(*/Arrahmah.com)