JAKARTA (Arrahmah.id) – Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Rycko Amelza Dahniel mengusulkan agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia, agar tempat ibadah tidak menjadi sarang radikalisme.
“Bukan hanya masjid tapi semua tempat peribadatan. Termasuk mengawasi setiap agenda ibadah yang digelar suatu tempat ibadah. Selain itu, juga mengawasi tokoh agama yang menyampaikan dakwah atau khotbah. Supaya tempat-tempat ibadah tidak dijadikan alat untuk menyebarkan ajaran-ajaran kekerasan,” kata Rycko dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Senin 4 September 2023.
“Kita perlu belajar kepada negara-negara tetangga kita, Singapura, Malaysia. Negara-negara Timur Tengah, negara-negara di Afrika pun mereka sudah memiliki mekanisme kontrol terhadap tempat ibadah,” imbuhnya.
Selama ini, propaganda deradikalisasi BNPT gagal, lebih banyak mudharat daripada maslahat. Kegagalan itu disebabkan kesalahan dalam mengidentifikasi radikalisme. BNPT terlampau gegabah merumuskan sikap anti pemerintah sebagai salah satu kriteria radikal. Padahal, hingga saat ini tidak atau belum ada lembaga negara mana pun yang secara sah dapat menentukan siapa yang radikal, dan apa yang bisa dilakukan kepadanya. Bahkan BNPT pun tidak memiliki legitimasi untuk menentukan kriteria radikal maupun ekstrem dan siapa saja yang harus diwaspadai.
Dalam UU 5/2018 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai payung hukum terkait terorisme memang berulang kali menyebut dan menggunakan diksi deradikalisasi. Masalahnya, dalam UU tersebut tidak menjelaskan definisi radikalisme.
Radikalisme tidaklah identik dengan terorisme. Menganggap radikalisme hanya pada pemahaman keagamaan, adalah bentuk kesesatan berfikir. Akar radikalisme mencakup berbagai aspek, tidak terbatas pada agama tertentu dan dapat ditemukan dalam berbagai bidang lainnya, seperti ekonomi, budaya, dan politik; termasuk ketidakadilan sosial dan hukum.
Dan menjadikan negara-negara seperti Malaysia, Arab Saudi, dan Singapura sebagai referensi untuk mengatasi radikalisme, jelas tidak relevan untuk situasi Indonesia, karena perbedaan sistem politik dan tata negara. Gagasan Ketua BNPT untuk mengontrol tempat ibadah dan penceramah sebagai langkah deradikalisasi, referensinya bukan ke Timur Tengah, melainkan pola Islamofobia yang digunakan negara komunis China untuk menindas umat Islam. Sikap seperti ini adalah paranoid nir-Pancasila, sikap seorang Pancasilais munafik.
Memperhatikan hal-hal di atas, maka Majelis Mujahidin menyampaikan pernyataan sikap agar BNPT tidak kehilangan jati diri dan membebek ke negara lain dalam menyelesaikan masalah dalam negeri sendiri.
Menimbang:
- Deklarasi universal hak-hak asasi manusia untuk keadilan dan kemanusiaan yang dinyatakan pada 18 Agustus 1945 yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea pertama.
- Kedaulatan rakyat Indonesia adalah kedaulatan rakyat berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat)
- Penegasan konstitusi UUD NRI 1945, Bab XI (Agama), pasal 29 ayat (1-2) menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Mengingat:
- Negara Indonesia adalah yang Negara Berketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No.19/PUU-VI/2008 tentang Pengujian UU Peradilan Agama terhadap UUD, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa: “Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing”.
- Menyelesaikan berbagai persoalan negara semestinya ‘base on values’ mengelaborasi nilai-nilai falsafah dasar Pembukaan Konstitusi Negara UUD 1945. Bukan menggunakan cara pandang bangsa dan negara lain yang memiliki landasan dan falsafah berbeda.
- Di Indonesia, hubungan negara dengan agama bukan relasi horizontal, bahwa agama terkooptasi oleh negara, melainkan relasi vertikal, negara dikelola dan dibangun berlandaskan nilai-nilai keagamaan.
Memperhatikan:
- Alinea ketiga Pembukaan UUD yang menyatakan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia.
- Pasal 9 UUD mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya, dan semua pejabat aparatur negara sipil maupun militer berjanji dan bersumpah menurut agamanya masing-masing.
- Pasal 28J UUD menyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang Undang (UU) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
- Pasal 29 ayat (1) UUD menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Secara formal diktum setiap perundang-undangan dan keputusan pengadilan di Indonesia kalimat “Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa” dan “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi pokok kalimat pertama yang ditulis dan diucapkan.
- UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 ayat (1) menyatakan Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Apabila tidak ditulis maka putusan Hakim batal demi hukum menurut UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, pasal 197 ayat (2)
- Negara Indonesia yang diwakili oleh Pemerintah, Presiden dan Aparat Negara masih sering membuat aturan dan kebijakan yang mengabaikan kaidah-kaidah dan aturan agama. Bahkan sering melakukan tindakan yang mendiskreditkan agama dan lambang keagamaan serta tempat ibadah umat beragama berdasarkan pandangan sekuler atau menjadi proxy sindikat kebijakan negara asing.
Memutuskan
Menyerukan kepada para pemimpin, mahasiswa, kaum terdidik, aparat dan pejabat negara, baik sipil maupun militer serta seluruh rakyat Indonesia:
- Menolak keinginan Ketua BNPT untuk mengontrol tempat ibadah dan penceramah agama.
- Penyelesaian masalah kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengikuti arus pasar global dan memakai parameter di luar jiwa dan ruh konstitusi Pembukaan UUD 1945 akan mengakibatkan kerawanan infiltrasi dan akuisisi terhadap kepentingan hajat rakyat Indonesia oleh kekuatan dan kepentingan asing.
- Kepemimpinan Nasional harus berkiblat kepada konstitusi Negara Pembukaan UUD 1945, menjadikan agama sebagai landasan pokok dalam mengelola negara, bukan justru mendiskriditkan dan menjadikan agama sebagai masalah yang perlu dicurigai melalui para penceramah dan fasilitas peribadatan agama-agama.
- Di tengah konstelasi sosial politik global sekarang ini, Indonesia perlu kembali kepada jati dirinya, sebagaimana yang diserukan Bung Karno 63 tahun lalu di PBB “To Build The World A New” tanpa kapitalisme sekuler dan komunisme, menawarkan sebuah prinsip hidup berbangsa dan bernegara yang universal sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.
Jakarta, 12 September 2023
Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Ketua,
Shobbarin Syakur, B.Sc.
Sekjen,
Ahmad Isrofiel Mardlatillah, M.A.
(ameera/arrahmah.id)