(Arrahmah.com) – Mungkin tema ini sudah basi, tapi untuk memetakan langkah musuh-musuh islam saya rasa sekali lagi tidak ada salahnya kita membicarakan masalah ini. Saya berpikir tidak ada yang aneh ketika beberapa bulan lalu salah satu televisi nasional secara tendensius menyebutkan Rohis sebagai tempat pembibitan benih-benih teroris. media selalu begitu, saya pikir.
Ini bukanlah sebuah pernyataan yang general sehingga anda bisa menyimpulkan bahwa setiap media bertindak subjektif. Tapi faktanya media majority, media besar yang memiliki pengaruh memang selalu begitu. Media menjadi alat makar terdepan dalam menyerang islam.
Media sangat sensitif ketika melakukan pemberitaan,terutama yang berkaitan dengan islam ideologis dan segala aspek yang berkaitan dengannya. Proyek deradikalisasi BNPT yang telah berjalan lebih dari setahun,stigmatisasi media terhadap kaum muslimin, islamophobia beserta kaburnya makna ‘terorisme’ memiliki kemungkinan menyuburkan semangat media sekuler dalam memberitakan islam secara diskriminatif.
Maka segala aspek yang berkaitan dengan islam ideologis, dari yang terbesar sampai yang terkecil tak luput dari bidikan media. Ironisnya, Rohis yang merupakan tempat pengkaderan para aktivis dakwah bahkan sampai diberitakan miring sebagai tempat pengkaderan para ‘teroris’. Sontak pemberitaan tendensius ini mendapat tanggapan yang cukup luas dari banyak elemen masyarakat yang bersinggungan dengan Rohis itu sendiri.
Wacana sekaligus logika sesat pikir bahwa Rohis merupakan sarang teroris sangat berbahaya bagi perkembangan dakwah islam. Saya kira media tersebut memahami apa yang mereka lakukan.
Rohis, bagaimanapun merupakan pijakan awal bagi para kader aktivis dakwah untuk mendapatkan pembekalan sehingga pada akhirnya dengan izin Allah lahir para aktivis yang benar-benar serius terhadap dakwah islam. Di Rohislah para pemuda mendapatkan bimbingan dan pembekalan tentang moral, kerohanian dan islam, meski tak semua anggota rohis berminat menjadi aktivis dakwah. Perlu diketahui bahwa dewasa ini, liberalisme telah menjadi musuh utama bagi umat islam dengan segala bahaya pemikirannya. Rohis sebagai salah satu basis pendidikan islam jelas melawan liberalisme.
Liberalisme sendiri muncul bukan dari kalangan awwam dan kalangan nonakademisi. Masyarakat awam dan kalangan non akademisi layaknya hanya muncul sebagai pengusung, bukan penggagas. Ide-ide liberalisme muncul karena kesesatan berpikir para cendekiawan. Liberalisme tumbuh dan subur dikalangan akademisi, terutama mahasiswa.
Sementara itu, para cendekiawan muslim amat sedikit yang perduli untuk memerangi paham liberalisme ini. Siapakah sosok pembela dari kaum muslimin yang wajib melawan ide-ide liberalisme digaris terdepan? Tak lain adalah akademisi muslim, dari kalangan Rohis maupun aktivis dakwah yang berstatus mahasiswa.
Karena itu media sekuler sebagai media pengusung paham liberalisme, sudah tentu paham dan ingin memotong jalur perlawanan paling awal terhadap paham yang diusungnya.
Media tersebut mewakili suara media-media sekuler lainnya. Yang saya amati, ketika gerakan #Indonesia Tanpa JIL semakin meluas, meraih berbagai universitas, LDF dan LDK serta sampai pula ke tingkat SMA beserta Rohisnya, gerakan dan ide liberalisme sudah tentu semakin kecil ruang geraknya.
Maka media tersebut memahami fakta ketika muncul resistensi dari para akademisi, maka semakin kecil kemungkinan paham mereka akan berkembang. Ideologi dan paham sudah tentu dilawan dengan ideologi dan paham tandingan. Bukan dengan fisik dan kekerasan. Ketakutan sadarnya ummat akan ide Deradikalisasi selama ini ternyata lebih dekat ke ide Deislamisi, bahwa ide Global War on Terrorism ternyata adalah kedok dari ide perang terhadap islam.
Ketakutan akan munculnya kesadaran umat bahwa selama ini mereka termakan oleh pengarahan kerangka berpikir oleh media, sehingga mayoritas ummat yang dahulunya menyebut Jihad identik dengan terorisme, teroris pasti islam, dan kekerasan selalu muncul dari islam akan menyadari hakikat yang sebenarnya. Ketakutan akan sadarnya umat dari ide bahwa OPM di Papua, gerakan separatis di Maluku, dan berbagai macam kejahatan lain tidak pernah disebut sebagai aksi teror dan pelakunya bukanlah seorang teroris selama mereka bukan muslim juga mengakibatkan kemungkinan kemungkinan media tersebut melakukan pemberitaan yang mencolok meski tak secara langsung mewakili keinginannya. Strategi inilah yang akhirnya dilakukan mengingat peran mereka di media juga semakin sempit menyebarkan ideologi liberalisme.
Hanya saja sayangnya, apa yang mereka lakukan tidak tepat. Menyebut Rohis sebagai sarang kaderisasi teroris merupakan tindak kebodohan yang nyata meski pada faktanya, pemberitaan ini disandarkan pada penelitian salah seorang profesor.
Pada akhirnya, sudah sepantasnya para mahasiswa, cendekiawan muslim dan para akademisi islam menyadari hakikat yang terjadi. Media sekuler dalam sejarahnya tak pernah berhenti melakukan penyerangan terhadap akidah islam dan aspek berpikir kaum muslimin. Terus suarakan kebenaran, katakan yang haq itu adalah haq dan bathil itu bathil, jangan pernah mundur sebagai pejuang kebenaran dan mujahid pena, lawan mereka dengan tulisan-tulisan kalian meski darah yang akan menjadi tintanya ! Wallahua’lam bis showwab
“jika kami mengatakan kebenaran pasti kami akan mati,
dan jika kami tidak mengatakan kebenaran pasti kamipun akan mati.
Maka kami akan tetap mati dengan mengatakan kebenaran
meskipun taring-taring anjing mencabik daging kami
meskipun paruh-paruh burung nasar mematuki kepala kami.
Hidup kami hanya untuk Allah, kami mati karena membela agama-Nya”
(syaikh abu dujanah ash shamy)
*ditulis oleh : Afandi Satya. K
Mahasiswa Sastra Arab 2011
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia