DAMASKUS (Arrahmah.com) – Kaum Muslim seluruh dunia biasanya merayakan Idul Adha dengan bersuk acita, menikmati makanan yang enak serta menyantap daging kurban. Akan tetapi di belahan yang lain, rakyat Suriah yang sangat kelaparan disuruh makan anjing, kucing dan keledai untuk bertahan hidup di negara yang dilanda perang tersebut.
Seorang Imam di kamp pengungsi Yarmouk ibukota Damaskus menfatwakan bahwa anjing, kucing dan keledai bisa dimakan “dalam keadaan darurat dan toko-toko makanan tidak cukup untuk memberi makan penduduk di bawah pengepungan.” Fatwa tersebut dikeluarkan saat shalat Jumat lalu di kamp Yarmouk yang telah dikepung selama berbulan-bulan oleh pasukan pemerintah Suriah.
Ummat Muslim yang mampu secara finansial diwajibkan untuk mengorbankan satu domba atau kambing atau bergabung dengan enam orang lainnya untuk mengorbankan unta atau sapi sebagai suatu tindakan ibadah selama empat hari perayaan Idul Adha. Idul Adha merupakan ritual memperingati bagaimana keikhlasan Nabi Ibrahim untuk mengorbankan putranya Ismail untuk Allah sebagai tindakan ketaatan dan kepatuhan. IdulAdha adalah momen dimana Ummat Muslim seharusnya bersuka cita.
Akan tetapi kenyataan menyedihkan terlihat di kamp pengungsian di provinsi Idlib, Suriah utara. Idul Fitri dan Idul Adha dianggap seorang “tamu asing” yang datang ke daerah miskin.
“Sebelum krisis seperti ini kami bisa pergi ke toko dan membeli barang-barang, kami sangat senang,” kata Suad Zein salah satu warga di pengungsian. “Idul Fitri adalah liburan yang indah. Tetapi sekarang saya bahkan tidak bisa membelikan anakku celana, atau sepatu, atau bahkan sepotong roti.”
Suad Zein memiliki delapan anak, dia tidak dapat menafkahi mereka semua. Mereka hidup dalam keputusasaan.
“Kami tidak punya apa-apa untuk merayakan Idul Adha. Dulu kami merayakan dengan makanan, minuman dan kue. Sekarang kami tidak punya apa-apa,” kata warga Suriah yang lain dengan putus asa.
Kasus buruk serupa juga terjadi di kamp-kamp pengungsi di luar Suriah. Di kota pesisir Libanon, Sidon, rasa putus asa sangat terasa di antara pengungsi miskin Suriah. Mereka tidak bisa merayakan lebaran seperti halnya Ummat Islam yang lain.
“Saya tidak ingin meninggalkan rumah,” Fatima bercerita sambil terisak. Fatima (32), ibu dari empat orang yang meninggalkan Aleppo setelah anggota keluarga tewas dan bisnis suaminya hancur oleh perang tahun lalu. Fatima sekarang tinggal di sebuah sekolah yang penuh sesak dengan keluarga Suriah lainnya di kamp pengungsi Ein volatil al- Helweih, pemukiman terbesar Libanon yang dibuat untuk pengungsi Palestina lebih dari 60 tahun yang lalu.
“Saya sangat bersimpati terhadap rakyat Palestina karena mereka hidup dalam kondisi yang buruk, dan saya tahu bahwa kita membuat situasi semakin buruk,” katanya dengan sedih.
Dalam keadaan putus asa dan sangat membutuhkan uang, Fatima terpaksa menjual dua selimut keluarganya seharga 15 dolar.
“Anak-anak saya tidak memiliki sepatu dan aku tidak dapat membelinya. Guru-guru mereka mengatakan bahwa mereka harus datang dengan sepatu yang layak. Anakku secara psikologis telah terkoyak. Dia duduk sendirian di sekolah sementara anak-anak lain bermain bersama . Dia tidak seperti ini sebelumnya. Fatima berharap bahwa ummat Muslim di seluruh dunia bisa melihat bagaimana kesedihan yang menimpa mereka. (M1/haninmazaya/arrahmah.com)