JAKARTA (Arrahmah.com) – Selasa (30/11) pagi, Amir dan pengurus Majelis Mujahidin (MM) lainnya mendatangi sekretariat Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jalan Proklamasi, Jakarta, untuk bertemu dengan Pimpinan Pusat MUI. Amir Majelis Mujahidin Ustadz Muhammad Thalib meminta MUI membahas temuaan MM ihwal banyaknya kekeliruan dan kesalahan fatal terjemahan harfiyah versi Departemen Agama RI sejak penerbitan awal hingga sekarang.
Amir MM Ustadz Muhammad Thalib, didampingi Ustadz Abu Jibriel, Ustadz Irfan S Awwas, Ustadz Muhammad Shabbarin Syakur, dan pengurus MM lainnya, diterima oleh Ketua MUI KH Ma’ruf Amin dan para pengurus MUI lainnya. Diantaranya, Ichwan Syam, Syukri Ghazali, Natsir Zubaidi, Umar Syihab, Anwar Abbas dan lain-lain. Rupanya Pimpinan Gontor KH. Syukri Ghazali yang juga merupakan salah satu ketua MUI, menyadari hal yang sama terkait kekeliruan terjemahan Al Qur’an versi Depag.
MM menilai, maraknya berbagai aliran sesat yang mengatasnamakan agama, baik yang moderat maupun radikal, tidak dinafikan merupakan pengaruh serta dampak negatif dari penerjemahan Al Qur’an berbahasa Indonesia secara harfiyah, yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah dan syar’iyah.
Seperti diketahui, Al Qur’an dan terjemahnya versi Depag RI dilakukan secara harfiyah (leterliyk). Padahal, terjemahan Al Qur’an secara harfiyah, menurut Fatwa Ulama Jam’iyah Al-Azhar Mesir, Kerajaan Saudi Arabia, dan Negara-negara Timur Tengah, yang dikeluarkan tahun 1936 dan diperbarui lagi tahun 1960, hukumnya haram. Dinyatakan haram, karena bobot kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara syar’iyah maupun ilmiyah, sehingga dapat menyesatkan serta mengambangkan aqidah kaum Muslimin.
Dalam audiensi dengan MUI, MM menyampaikan beberapa persoalan yang menjadi domain MUI berkaitan dengan adanya fatwa resmi beberapa negara Timur Tengah tentang penerjemahan Al Qur’an ke bahasa ‘Ajam (non Arab) dan kekeliruan terjemahan Al Qur’an versi Depag (Kemenag) RI yang beberapa kali mengalami revisi (edisi terbaru adalah Al Qur’an dan Terjemahannya cetakan 2010).
Setelah melakukan penelitian dan kajian seksama terhadap Al Qur’an dan Terjemahnya versi Depag RI, dari masa ke masa mulai penerbitan awal hingga sekarang, MM menemukan banyak kekeliruan dan penyimpangan yang sangat fatal dan berbahaya, baik dari segi makna lafadh secara harfiyah, makna lafadh dalam susunan kalimat, makna majazy atau haqiqi, juga tinjauan tanasubul ayah, asbabun nuzul, balaghah, penjelasan ayat dengan ayat, penjelasan hadits, penjelasan sahabat, sejarah dan tata bahasa Arab (kaidah yang direkomendasikan oleh Abu Hayyan). Termasuk yang dikemukakan oleh Imam Dzahabi, bahwa seorang mutarjim Al Qur’an ke bahasa lain harus memperhatikan perbedaan struktur bahasa Arab dengan bahasa terjemahannya.
“MUI sebagai lembaga fatwa harus memiliki sikap tegas menanggapi fatwa seputar terjemah Al Qur’an secara harfiyyah dalam bahasa Indonesia yang sudah lama beredar di Indonesia , bahkan dicetak oleh percetakan Arab Saudi. Diantara yang sudah beredar adalah terjemahan yang dilakukan oleh tim Depag RI yang dilakukan sejak 1968 kemudian direvisi oleh Kemenag RI (2010). Dan ternyata tetap mempertahankan terjemahan Al Qur’an secara harfiyyah,” ujar Sekjen Majelis Mujahidin Ustadz Muhammad Shabbarin Syakur menambahkan.
MM mendesak para ulama di Indonesia , khususnya MUI untuk membahas tarjamatul Qur’an secara syar’iyyah dan ‘ilmiyyah. Dalam kaitan itu, MM dapat berpartisipasi menyampaikan pokok-pokok pikiran berkenaan dengan tarjamatul Qur’an ke dalam bahasa Indonesia . MM percaya bahwa MUI tidak akan menganggap sepele persoalan ini, dan bersedia melakukan kajian hingga tuntas, kemudian mengumumkan kepada masyarakat Indonesia dan kaum Muslimin khususnya. Tak dipungkiri, persoalan ini memerlukan pembahasan yang mendalam, waktu yang tidak pendek dan tentunya mengundang pihak-pihak yang kapabel guna mendapatkan kebenaran yang meyakinkan dan shahih.
Atas laporan MM, Ketua MUI KH M’aruf Amin berjanji akan mempelajari kekeliruan Al Qur’an dan Terjamahnya versi Depag RI . Bahkan MUI akan menjadi mediator untuk menyampaikan persoalan ini ke Kementerian Departemen Agama.
(Adhes Satria/arrahmah.com)